Jatuh Cinta

1300 Words
Dimana-mana yang namanya cemburu itu tak enak ya? Matanya tak pernah lepas dari lelaki dan gadis itu. Tapi ia hanya mampu menahan sakit-nya di hati. Begini lah nasib cinta diam-diam yang dipeliharanya. Tak bisa berbuat apapun. Apalagi setiap matanya tak sengaja menangkap pandangan Wirdan yang tertuju pada gadis anggun itu. Kadang lelaki itu hanya diam menatap punggung gadis berjilbab lebar itu menjauh. Tapi matanya tak pernah lepas mengikuti kemana langkah gadis itu pergi. Kadang lelaki itu menahan senyum dibibirnya dikala matanya menatap gadis anggun itu mengajar anak-anak jalanan. Senyum menawan yang jarang diperlihatkan. Bahkan senyum Wirdan untuknya pun berbeda dengan senyum Wirdan untuk gadis itu—ia merasa seperti itu. Dan itu.... sungguh membuatnya sakit sekali. Kini ia benar-benar sadar. Wirdan tak meliriknya karena sudah ada gadis lain. Gadis yang jauh lebih baik darinya. Lebih baik berkali-kali lipat. Cantik, cerdas dan soleha. Laki-laki mana yang tak mengejar gadis seperti itu? Ia sadar diri. Ia sungguh tak pantas. Lelaki seperti itu memang pantasnya mendapatkan perempuan yang seperti itu. Bukan sepertinya. Ia hanya gadis biasa. Tak punya prestasi apa-apa. Soleha? Entah lah. Ia tak bisa menilai dirinya sendiri. Dan... ketika sadar, ia jauh sekali jika dibandingkan gadis itu, ia ter-puruk. Merasa kecil. Merasa rendah. Apa yang ia punya selama ini tak cukup untuk tampil sempurna di depan Wirdan. Dan....sekali lagi, ia masih keliru. Nyatanya, niat hati untuk meraih cinta-Nya belum sepenuhnya. Mungkin niat itu ada, tapi kejatuhan ini makin memperburuk tingkat kepercayaan dirinya. Ia jatuh terlalu dalam. Jatuh dalam cinta. Bukan makna jatuh cinta seperti yang dialami orang lain yang justru membuat bahagia. Ia malah merasakan sisi jatuh cinta yang benar-benar jatuh cinta. Jatuh merasakan sakit akibat cinta. Tapi Mira tak sadar kalau ia merasakan perasaan itu tak hanya sendiri. Sahabatnya yang sedari tadi diam di sampingnya, hanya bisa termenung. Walau diam-diam matanya melirik lelaki yang sedang di-gandeng pacarnya. Sahabatnya sendiri. Naya. Bedanya, Delia sudah biasa menghadapinya. Menghadapi rasa sakit setiap mata tak sengaja melihat. Menghindar pun percuma karena mereka tampak di depan mata. Dan ia...memilih untuk menyembunyikan semua-nya. Itu lebih baik dan tak ada yang perlu tahu. Cukup ia dan Tuhannya. Cukup ia dan Allah saja. Ia sudah sering kali terjatuh. Jatuh pada lelaki yang ia kenal sejak kecil itu. Tinggal dan hidup di lingkungan yang sama di Solo, membuat janji untuk hidup bersama di masa depan sebelum lelaki itu pindah ke Palembang di tahun awal sekolah menengah atas. Kemudian bertemu kembali di tahun awal kuliah. Tahun awal ia berjilbab. Tahun awal ia mulai kembali pada-Nya. Tahun awal lelaki itu berpaling darinya. Ia kira, lelaki itu akan tetap memegang janjinya. Tapi ternyata? Jauh dari angannya. Jauh dari harapannya. Lelaki itu berubah. Lelaki itu pergi dan memilih sahabat barunya untuk dipacari. Namun justru itu yang menyadarkan Delia. Meski ia harus menyimpan rasa. Meski ia harus menahan sakitnya. Tapi Allah sungguh menyayanginya. Kenapa? Karena Allah tak mau ia terjerumus dalam kesesatan. Lelaki itu pergi dan memilih wanita lain. Artinya, akan ada lelaki lain yang datang dan memilihnya untuk menjadi yang halal. Bukan lelaki yang menawarkan hubungan semu yang dipenuhi kesesatan oleh setan seperti itu. Dan sejak saat itu, ia sadar. Meski perasaan ini tak dapat dibuangnya, ia terus meyakini diri. Kelak, akan ada lelaki yang bisa membuatnya berpaling. Akan ada lelaki yang jauh lebih baik dari Firman. Yah, Firman. Dia lelaki yang merugi.   Jika Mira dan Delia sibuk menahan sakit hatinya akibat jatuh ke dalam cinta, maka Khayra sibuk menyembuhkan hatinya karena jatuh akibat cinta. Tak bisa ia pungkiri, jika hatinya masih terasa sakit ketika matanya menatap sosok lelaki yang sering mondar mandir di sekitar fakultasnya. Entah itu mengantar atau menjemput sang kekasih yang kata-nya satu fakultas dengannya. Karena ia baru melihat lelaki itu akhir-akhir ini. Sakit yang perlahan-laham meng-gumpal menjadi dendam tak berkesudahan. Karena keikhlasan belum me-nyerang penuh hatinya. Tapi, tak perlu kalian tahu nama dan siapa lelaki itu. Cukuplah kisahnya. Kisah yang mengajarkannya tentang makna cinta yang sebenarnya. Cinta yang suci yang berlandaskan cinta Illahi. Bukan cinta yang dilandasi nafsu b****i. Cinta nafsu yang menyesatkan inilah yang mengajarkannya dan mengembalikannya ke jalan yang sebenarnya. Jalan menuju kebaikan. Jalan menuju jannah-Nya. Biarkan masa lalu ini meng-ajarkannya. Untuk menerima meski sulit. Untuk bangkit meski tak mampu. Namun percayalah, ketika hati tergerak kepada-Nya. Ingin kembali pada-Nya. Ingin dicintai oleh-Nya. Semuanya akan mudah. Termasuk mudahnya jilbab ini masuk ke dalam raganya. Termasuk mudahnya ia melapangkan hati dalam menerima semuanya. Meski sulit, ia tak mau menyerah. Kebencian ini dan dendam ini pada akhirnya akan menghilang jua. Kalau saja Naya sadar, ia pasti akan menemukan kejanggalan setiap Firman ikut berkumpul bersamanya dan tiga sahabatnya. Lelaki itu akan kaku dan lebih banyak diam. Walau mata tak urung melirik ke arah Delia yang nampak biasa padahal hati....tak biasa. Bersalah? Ya, anggap itulah jawaban atas matanya yang selalu terpaku setiap Delia melintas di sekitar-nya. “Kalian mau ikut gak? Mumpung Firman bawa mobil, biar pulangnya gak capek berdiri di kereta,” ajak Naya yang bicara dengan santai. Mira yang sedang bengong sambil menatap ke arah Wirdan yang sedang bercakap-cakap dengan Aisyah, tak menjawab. Sementara Delia sudah menyenggol-nyenggol lengannya agar gadis itu segera sadar. Hingga Mira mengaduh lalu mendelik kesal ke arah Delia yang melirik senewen. “Mau ikut Firman atau naik kereta?” Delia bertanya sebal. Mira yang baru saja akan menyetujui permintaan itu tergagap. Ia menggeleng dengan cepat. Ia tak mempermasalahkan hati Delia yang masih belum bisa move on itu. Ia hanya tak bisa melewatkan pulang bersama Wirdan meski ia tahu akan sakit juga pada akhirnya. Karena ia hanya bisa menatap dari jauh. “Naik kereta aja,” jawabnya yang dibalas gelengan milik Naya. Naya tak habis pikir tentang jalan pikiran Mira yang lebih memilih naik kereta dari pada pulang bersamanya. Ditawari yang enak kok malah nolak? Tapi ia tak ambil pusing dam memilih menyeret pacarnya untuk segera pergi atau mereka akan terjebak macet di jalanan nanti. Sementara Delia menghela nafas lega. Lega karena bisa terhindar dari interaksi lebih lama dengan Firman. Meski sudah biasa, tapi sakitnya masih sama. Walau ia terlihat kuat dan tegar. Tapi sebenarnya, ia hanya menghindar. Saat dua orang itu menjauh, Anggun muncul dari depan mereka. Menebar senyum ramah seperti biasa dan selalu dibalas garis lurus dibibir Mira. Itu bukan senyum. Dan... ia juga tak berniat memberikan senyumnya pada gadis itu. Malah Delia yang membalas senyum ramah gadis itu walau nampak terpaksa karena ulah sahabatnya ini. Tak bisakah sedikit saja gadis itu beramah tamah pada Anggun? “Duluan ya, Mir, Del!” Gadis itu berpamitan. Mira hanya berdeham lalu memalingkan muka. Delia mengangguk sebelum mengalihkan pandangannya pada Mira. Ia mendengus melihat wajah yang tak kalah masamnya itu. “Senyum dikit kek sama orang. Biar kata cemburu,” cibir Delia yang dibalas putaran bola mata jengah milik Mira. Gadis itu berjalan mengikuti langkah-langkah teman-temannya menuju Stasiun Jakarta Kota.  “Mending gitu dari pada munafik,” celetuknya yang tanpa sadar menyindir Delia. Delia diam seketika. Ada amarah yang mulai berkobar dalam hatinya. Tapi kemudian ia sadar. Mira tak bermaksud menyindirnya. Gadis itu hanya tak bisa menjadi munafik sepertinya. Berpura-pura tegar padahal sakit. Berpura-pura ramah padahal benci. Tapi apa dayanya? Ia tak bisa melakukan hal yang sama seperti hal yang Mira lakukan. Karena Naya adalah sahabatnya. Ia tak mau menyakiti sahabatnya hanya untuk perasaan semu kepada lelaki sebelum waktunya. Biarlah perasaan ini ia simpan tanpa perlu diumbar kemana-mana. Toh tak ada untungnya. Tapi, ketika kakinya mencapai tangga stasiun, ia mendadak tersengat. Teringat apa yang ia katakan tadi. Ia menghentikan langkahnya lalu menepuk dahinya dengan pelan. Meringis tak enak menatap wajah sendu milik Delia yang berjalan di belakangnya. “Aku gak maksud, Del. Beneran!” ucapnya sambil menatap dengan tatapan memohon pada Delia agar memaafkan kekhilafannya. Gadis itu malah terkekeh. Lalu merangkulnya dengan erat. Kekehan yang tulus walau sempat 'sedikit' sakit hati. “Gak apa-apa. Manusiawi kok. Lagi pula kalo gak jatuh namanya bukan cinta, Mir.” Mira mengangkat sebelah alisnya. Membentuk tanya pada Delia yang kini menahan senyum dibibirnya. Senyum misterius yang membuat Mira gemas dan ingin menggetuk kepala gadis itu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD