Goyah

1217 Words
Satu mata kuliah pertama terlewati. Mira tak kunjung muncul. Delia berulang kali bertanya pada Khayra, tapi gadis itu hanya mengendikan bahu. Ia masih peduli tapi ia masih kecewa. Ia masih marah. Ia marah karena semudah itu Mira melepasnya. Semudah itu! Tapi bagaimana pun, ia tak punya hak. Itu hidup Mira. Terserah ia ingin melakukan apapun. Namun yang namanya sahabat, tentu tak rela sahabatnya tersesat bukan? Hingga satu mata kuliah berikutnya usai, Mira tak kunjung muncul juga. Delia makin gelisah. Sementara Khayra menyembunyikan kegelisahan-nya. Keduanya kompak memberesi alat tulis dan buku. Kemudian keluar dari kelas. Tapi langkah Khayra terhenti saat melihat sosok Mira di kejauhan sana. Menoleh padanya. Matanya mengandung banyak penyesal-an, membuatnya iba hingga tubuh itu menubruknya. Memeluknya dengan erat. Kemudian menangis sejadi-jadinya. Ia tersenyum senang. Sahabatnya khilaf. Berulang kali Mira meminta maaf padanya karena membuatnya marah. Membuatnya kecewa. Gadis itu berjanji, tak kan mengulanginya lagi. Ia salah. Ia keliru dengan niatnya. Berjilbab itu bukan agar Wirdan melihat-nya. Berjilbab itu diniatkan karena Allah. Mencintai Allah dan semoga Allah mencintainya juga. Itu niat yang lebih benar. “Minta maafnya jangan padaku, Mir. Tapi pada-Nya. Berjanji pada-Nya, untuk tak melepasnya lagi,” bisiknya lemah. “Aku juga minta maaf soal tadi.” Sementara Delia malah menatap dengan bingung. Naya yang baru muncul di ambang pintu, ikut mengernyit bingung. Matanya bertanya pada Delia tapi gadis itu hanya mengendikan bahu. Ia juga tak tahu. Sahabat. Dia yang menerangi jalanmu. Menuju kepada-Nya. Bukan me-nyesatkanmu. Wajar jika ia marah, ia kecewa, ia terluka. Tapi satu hal yang harus kau tahu, ia tak kan pernah meninggalkanmu. Kecuali, ketika kau me-milih berpaling dari-Nya. Ia harus meninggalkanmu. Karena ia tak mau ke-hilangan-Nya. Dan bagi Khayra, sahabatnya adalah sahabat yang mencintainya karena mencintai Tuhannya. Karena mencintai Allah.   “Cinta itu membangkitkan semangat, Mir. Semangat menuju pada-Nya. Semangat ibadahnya. Semangat belajarnya. Tapi niatnya bukan untuk mendapatkan cintanya. Melainkan cinta Allah!” ucapnya di depan cermin sambil mengacung-acungkan tangan lalu terkekeh geli. Ia mulai ketularan Khayra yang senang mengaca sambil bicara. Tapi kata-kata sahabatnya itu memang luar biasa. Ia ingat kalimat yang beberapa hari yang lalu diucapkan Khayra saat keduanya mengaca bersama di depan cermin usai menangis-nangis haru. “Kamu itu berharga!” Benar. Ia wanita. Ia perhiasan. Ia sangat berharga. Ia bukan barang yang mudah disentuh, mudah ditawar, mudah dibeli, mudah disimpan lalu setelah bosan, setelah rusak, barang itu dibuang. Ia jauh lebih berharga dari itu. “Cinta kepada lelaki yang belum pada waktunya itu memang menyesatkan, Mir.” Lagi. Kalimat-kalimat ajaib Khayra terngiang-ngiang dikepalanya. Ia bertanya-tanya saat itu, kenapa bisa tersesat? Jawabannya karena nafsu. Nafsu yang diperbudak setan. Setan yang tak mau sendirian disiksa di neraka sana. Setan tak bertanggung jawab. Ia tak kan menanggung dosa yang manusia lakukan. Karena setiap manusia, akan memikul dosanya sendiri. Kini ia sadar. Ia tak kan menyangkal lagi. Sejatinya, cinta itu memang menjaga. Bukan menjerumuskan diri ke dalam kesesatan belaka. Kalau saja ia tak bertemu Khayra pagi kemarin, entah apa jadinya kini. Mungkin saja tak kan pernah terbuka hatinya. Dan benar saja kata orang, sahabatmu, lingkunganmu itu turut menentukan masa depanmu. Kalau kau bersahabat dengan mereka yang malas, mereka yang menyesatkan, lingkungan yang buruk. Kau juga akan ikut tersesat. Namun sebaliknya, jika kau bersahabat dengan mereka yang rajin, mereka yang lurus, lingkungan yang baik. Insya Allah, jalanmu akan lurus menuju pada-Nya. Setelah siap, ia tersenyum lebar. Kemudian berteriak di depan cermin. “Kamu itu berharga!” teriaknya sambil menunjuk-nunjuk wajahnya yang terpantul dicermin. Lalu terkekeh geli sambil geleng-geleng kepala. Ia mulai gila sejak bersahabat dengan Khayra. Kemudian ia beranjak pergi. Berjalan kaki setiap pagi dari kosannya menuju kampus yang tak seberapa jauh. Dalam hati ia bersyukur dan selalu bersyukur. Betapa bahagianya ia mempunyai sahabat yang bebal di jalan-Nya. Matanya memincing saat melihat baliho besar tak jauh dari gedung fakultasnya. Langkah kakinya berhenti seketika. Matanya menatap baliho itu dengan saksama. Anggun Atiqah, bacanya dalam hati. Lalu matanya menatap sederet tulisan disamping wajah cantik itu. Wajah yang terpampang dibaliho besar itu. Anggun Atiqah. Mahasiswi kedokteran semester lima itu baru saja pulang dari Singapura. Usai mengikuti pertukaran mahasiswa. Lalu dibawahnya, terdapat banyak baris prestasi-prestasi yang diraihnya beberapa tahun belakang. Subhanallah, bisik Mira dalam hati. Ia terpana. Kalau tadi pagi Mira hanya melihat wajah cantik itu dibaliho, kini ia melihatnya tepat di depan mata. Ia kaget, tentu saja. Sepanjang aktifnya ia di komunitas ini, baru kali ini ia menjumpai Anggun. Dan ternyata jauh lebih cantik dari pada gambar dibaliho pagi tadi. Ia mengagumi wanita itu. Karena tak hanya cantik, tapi prestasinya juga melejit. Gadis itu juga berjilbab. Dan ia.... anggun seperti namanya. Anggun Atiqah. Khayra bilang, Atiqah itu artinya cantik. Cocok sekali dengan sosoknya. Sosok yang mau tak mau sedikit mengusiknya. Ia iri bukan karena kecantikan gadis itu. Tapi karena prestasinya. Sedangkan ia? Ia mendesah. Merasa kecil. Ia tak punya prestasi apapun. Sifat iri itu wajar jika mengarah pada kebaikan. Hal itu tentu saja akan memotivasinya untuk tak mau kalah. Tapi untuk bersaing dengan gadis itu? Mira menggeleng. Ia tak sanggup. Ia tak mampu. Ibaratnya perjalanan ke Mekkah, Anggun sudah tiba disana sementara ia baru akan menyiapkan diri untuk berangkat kesana. Jauh sekali bukan? Tapi tak apa, hiburnya dalam hati. Mungkin ia punya jalan lain untuk bisa membanggakan orang tuanya nanti. Mungkin bukan lewat prestasi menilik otaknya yang pas-pasan ini. Lagi pula, masing-masing manusia punya jalan takdirnya sendiri-sendiri kan? Tapi wajahnya berubah keruh seketika. Saat matanya tak sengaja melihat Wirdan bercakap dengan gadis itu. Dua orang itu tertawa. Padahal, mereka mengobrol tak hanya berdua. Ada Aisyah dan Fahmi di sana. Itulah cinta. Cinta yang membutakan segalanya. Jika ada satu wanita saja ada di dekat lelaki yang dicintai, pasti sudah dicurigai. Kalau sudah begini, apa namanya? Naluri kah cemburu itu? Atau kah hanya hasutan setan belaka? Cinta boleh saja. Tapi ia tak boleh menuruti nafsu cemburunya. Cemburu? Oh. Kali ini ia mengangguk. Jadi ini namanya cemburu? Rasanya seperti hatimu ditusuk-tusuk duri. Perih tapi tak mengeluarkan darah. Hanya menimbulkan pilu tak berkesudahan. Pilu yang tak bisa disembuhkan. Pilu yang bernama kecemburuan.   Awalnya ia masih bisa mempertahankan diri, masih bisa bertahan akan kepedihan hati yang dirasakannya setiap matanya tak sengaja menatap dua orang itu. Meski harus berpura-pura tersenyum ketika mata mereka tak sengaja bersitatap dengannya. Meski harus berpura-pura tuli ketika teman-temannya sibuk meledek Wirdan dan gadis itu. Ia sadar sekali. Ia tak tahu apapun tentang lelaki itu. Karena ia malu untuk bertanya lebih banyak. Malu sekali. Sementara Khayra? Gadis itu bukannya tak mau membantu. Tapi Khayra takut, jika ia bercerita banyak tentang Wirdan, Mira malah akan menaruh harap pada lelaki itu. Kemudian berkhayal dalam angan-angan semu bersama Wirdan. Mira tak memungkiri. Hatinya sakit. Sungguh sakit. Tak perlu mendengar ledekan teman-temannya, cukuplah matanya yang menjadi saksi betapa akrabnya dua orang itu. Tatapan sangsi dari mata lalu turun ke hati. Mengobarkan api cemburu di dalam sana. Akhirnya membuatnya mulai membandingkan diri. Cantik boleh relatif. Tapi otaknya yang pas-pasan, baru mulai belajar mengenal agama lebih dalam, tampilan yang lebih muslimah baru beberapa minggu. Tak ada prestasi bagus yang pernah diraihnya. Ia sama sekali tak punya kelebihan dalam hal apapun. Sementara gadis itu? Kecerdasannya, kecantikannya dan kesolehannya berhasil membuat wanita mana saja ingin bermimpi menjadi sepertinya. Tak terkecuali dirinya. Tiba-tiba ia merasa sangat kecil. Pertahanan yang ia bangun beberapa hari ini goyah di pertemuan kedua hadirnya Anggun diantara mereka. Ia mulai sadar, kalau ia benar-benar jauh dari sosok idaman wanita soleha. Wanita yang mungkin diidamkan Wirdan. Wanita yang tak hanya menutup diri. Wanita yang tak hanya cantik parasnya tapi juga akhlaknya. Bonusnya, wanita yang cerdas dan melejit prestasinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD