Aku melangkah pelan memasuki ruangan yang terasa dingin dan minim cahaya itu. Kuamati sekeliling ruangan yang penuh dengan berbagai macam kenangan dari perempuan yang mungkin adalah calon istri Tuan Max. Wanita itu tampak cantik dengan senyum merekah yang ia pamerkan di setiap poto kebersamaan mereka. Hatiku lagi-lagi merasa tersentil saat pikiran kembali membanding-bandingkan diri. Oh, Silvana, tentu saja kamu bukan tandingan putrid perdana menteri itu. Aku terus melangkah hingga ujung kakiku bertemu dengan kulit Tuan Max yang terasa dingin. Dia sedikit tersentak, mendongakkan kepala sejenak lalu kembali tertunduk dalam. Dari jarak sedekat ini aku dapat mendengar dengan jelas rancauan Tuan Max yang menyebutkan kata maaf berulang-ulang kali. "Tuan," panggilku pelan, merasa iba dengan