Aku menggeliatkan tubuh yang baru saja tersadar dari tidur nyenyak. Kututup mulut dengan sebelah tangan saat kantuk kembali menyerang dan mengakibatkan mulutku menganga lebar. Jam menunjukkan pukul empat sore, aku harus segera bersiap untuk pergi bekerja, menjadi pelayan bayi besar itu tentunya. Tapi sebelum itu, aku menghela napas dalam. Perasaan sialan ini, kian hari kian membumbung tinggi. Sumpah, aku ingin membenci dan menyumpahi pria tua itu, tapi nyatanya saat berhadapan langsung, hatiku bersorak tak dapat mengendalikan diri. Yang lebih membuatku merasa bodoh adalah perubahan sikap Tuan Max yang terasa menjauhi diriku. Semenjak kepulangan kami dari Rusia waktu itu, Tuan Max semakin bersikap acuh. Aku tak tahu apa yang membuatnya jadi berbeda. Apa karena dia telah mendapatkan kesuc