2 : KEGUNDAHAN HATI EMELY

1285 Words
Pintu kamar Emely diketuk dari luar, ia bisa menebak bahwa ibunya lah yang tengah berada di luar sana. “Eme, ibu boleh masuk?” Benar saja, tak lama kemudian suara Erlin pun terdengar. “Silakan, Bu.” Setelah mendapat izin dari putrinya pun Erlin baru berani masuk ke kamar Emely. Dilihatnya sang anak yang tengah duduk dipinggiran ranjang sembari meremat ujung sprei, tampak sekali jika ada sisa-sisa raut kesal diwajah manis itu. “Eme marah sama ibu, hm?” Erlin menggunakan nada super lembut untuk menghadapi anaknya. Emely memang sudah dimanjakan sejak kecil, apapun keinginannya pasti Jamien akan menurutinya, maka tidak heran jika anak itu mudah sekali merajuk. Gadis itu menggeser duduknya guna memberikan Erlin ruang untuk duduk, kepalanya tertunduk lesuh. Bagaimana pun juga ia tak bisa marah pada ibunya, didunia ini ia sangat menyayangi keluarganya. “Tidak,” gumamnya sambil menggelengkan kepala. Erlin meraih tangan Emely lalu mengusapnya dengan perlahan. “Tidak selamanya kau bisa menghindar dari takdir. Evner adalah pasangan jiwa yang sudah ditakdirkan untukmu, perlahan-lahan Emely harus membuka hati untuknya.” Mendengar penuturan ibunya membuat gadis itu mengangkat kepala lalu menoleh pada Erlin. “Rasanya sulit, aku tidak menyukainya.” Emely menghela napas pelan, sampai detik ini ia belum bisa tuk mencintai Evner. Padahal keduanya merupakan pasangan jiwa, tapi entah kenapa Emely sulit sekali mencintai pria berdarah Demon murni itu. Erlin jadi teringat dengan kisah cintanya bersama suaminya, dulu ia juga susah membuka hati untuk Jamien karena perbuatan pria itu tak bisa ditolerir. Namun, pelan-pelan akhirnya ia bisa mencintai Jamien sepenuhnya bahkan hingga sekarang keduanya merupakan pasangan paling serasi. “Eme, apa kau benar-benar sudah mencobanya?” Erlin bertanya sekali lagi, kali ini dengan raut serius. Selama ini Emely tak pernah menganggap serius keberadaan Evner, ia terpaksa menerima pria itu karena tuntutan takdir. Belum pernah sekalipun mencoba untuk ikhlas menerima cinta dari Evner, apa ia salah? Ia menggeleng, tak berani menatap ibunya. “Bagaimana bisa kau menyimpulkan jika belum pernah mencoba?” “Aku bingung, sejak kecil sampai remaja ini ia selalu membuntutiku kemana pun. Mungkin karena sering bersama jadi aku merasa bosan,” balas Emely. “Evner berada disisimu karena ingin melindungimu. Mulai sekarang cobalah untuk bersikap dengan baik, buka hatimu untuknya secara perlahan. Apapun yang Evner lakukan untukmu adalah demi kebaikanmu.” Erlin menanggapi persoalan anaknya dengan bijak. Evner adalah pasangan yang baik untuk Emely, meski pria itu memang suka bertindak gegabah. Ia percaya dengan kuasa takdir. Sama sepertinya dulu yang sempat menolak keberadaan Jamien, Erlin yakin bahwa Emely pun pasti bisa bersama dengan Evner jika keduanya sama-sama saling menerima. “Bu, menurutmu apakah Evner adalah pria yang pantas untukku?” Kini Emely menatap Erlin dengan serius, ia ingin meminta pendapat dari ibunya. Biasanya feeling seorang ibu tidak pernah meleset, ia juga percaya apapun pilihan ibunya adalah yang terbaik untuknya. Erlin menganggukkan kepala. “Ya, ibu sangat yakin. Takdir telah membawa kalian untuk menjadi pasangan, jika suatu saat nanti Evner menyakitimu maka ibu dan ayahmu ini yang akan turun tangan sendiri.” “Baiklah, aku akan coba saran dari ibu.” Akhirnya Emely pun melunak. “Pilihan yang tepat, ibu mendukung kalian berdua.” Erlin senang mendengarnya, ia menangkup kedua pipi anak gadisnya lalu menciumnya dengan gemas. “Ibu, aku bukan bayi lagi.” “Sebesar apapun dirimu, ibu tetap menganggapmu anak kecil yang sering merengek meminta mainan.” Erlin tertawa pelan. Emely memajukan bibirnya. “Lebih baik ibu dan ayah membuatkan ku adik lagi, jadi ada anak kecil yang bisa kalian timang-timang.” “Orangtuamu ini sudah berumur, ibu ingin memiliki cucu saja.” “Boleh, minta cucu sama Justin saja.” “Adikmu itu suka sekali keluar rumah, entah kapan ia mau duduk manis di rumah dan mewarisi takhta ayahmu.” Justin Honorius adalah anak kedua dari Erlin dan Jamien, adik kandung Emely, usianya hanya terpaut satu tahun di bawah Emely. Pemuda itu lebih suka menjelajah di alam liar dibandingkan menjadi pangeran istana pewaris takhta, Jamien sendiri pusing dengan tingkah putranya itu. “Bu, minta Justin pulang. Enak saja dia berkeliaran di alam bebas,” pinta Emely. Jika dirinya tak bisa bebas keluar rumah, maka Justin pun harus sama. Prinsip seorang kakak! “Ayahmu sudah menyuruh orang untuk mencarinya, cepat atau lambat ia memang harus melanjutkan takhta Jamien.” Obrolan antara ibu dan anak itu terus berlanjut, hubungan antara Erlin dan Emely memang terbentuk sangat baik. Sebagai orangtua, Erlin ingin agar sang anak menjadikan dirinya sebagai tempat berbagi cerita, ia tak mau bila Emely menjaga jarak darinya seperti anak-anak lainnya. Biasanya anak akan sungkan bila bercerita banyak hal pada ibunya, tapi berbeda dengan Erlin dan Emely. Apa pun kesulitan Emely, Erlin ada untuk memecahkan masalahnya. Apa pun kebahagiaan Emely, ia akan berbagi pada sang ibu. Sedangkan di kastil demon, Evner uring-uringan karena masalahnya dengan Emely. Ia sangat mencintai Emely, ingin menjaga gadisnya dari marabahaya, kenapa justru Emely membencinya? “Lord Evner, kenapa Anda begitu kesal?” George tiba-tiba muncul, ia memperhatikan ekspresi masam tuannya lalu inisiatif untuk bertanya. Evner menatap kaki tangan kepercayaannya, George sudah sangat lama menjadi pengikut setianya. “Apa lagi jika bukan gadis nakal itu? Emely benar-benar keterlaluan, ia bersenang-senang dengan pria lain tanpa memikirkan perasaanku. Ketika aku ingin memberinya hukuman, Jamien menjadi tempatnya berlindung, arghh menyebalkan.” Evner meninju vas bunga yang ada tepat di samping singgasananya, kemarahannya belum sepenuhnya mereda. George tidak berani berkata lebih jika menyangkut calon nyonya mudanya. Ia menjadi saksi perjuangan Evner dalam memperjuangkan gadis itu sejak dalam kandungan Erlin hingga beranjak remaja ini, memang keterlaluan bila Emely menyia-nyiakan kasih sayang tulus Evner. “George, apa pendapatmu mengenai tingkah Emely?” George membungkukkan badannya agar lebih sopan. “Nona Emely masih muda, emosinya sangat labil. Anda harus ekstra bersabar untuk mendapatkan hatinya, lagipula tak lama lagi Nona berusia delapan belas tahun, saat itu juga Anda berhak mengklaim Nona Emely sepenuhnya.” Meskipun ia adalah kaki tangan Evner, George tetap realistis. Tidak ada cara lain selain bersabar sedikit lagi. Toh selama bertahun-tahun ini Evner bisa menjalani hidupnya tanpa seorang mate, hanya tinggal menunggu beberapa bulan lagi pasti bisa ia lalui dengan mudah. “Tiga bulan, aku akan bersabar sekali lagi.” Tiga bulan ke depan Emely genap berusia delapan belas tahun. Sesuai dengan perjanjian yang ia sepakati dengan Jamien, ayah mertuanya itu akan mengizinkan Evner untuk menikahi Emely ketika sang gadis berusia delapan belas tahun. “Benar, selain itu Anda jangan mengekang Nona Emely. Jika saya perhatikan, Nona adalah tipikal gadis yang sangat aktif, tidak mudah untuknya duduk diam di istana.” Perkataan George benar, Evner juga tahu itu. Jamien selalu memanjakan Emely, mengizinkan gadis itu berbuat sesukanya, apapun keinginannya pasti terpenuhi. Ini menjadi ujian berat tersendiri bagi Evner untuk meluluhkan sikap calon istrinya, mau tak mau Emely harus menurut padanya. “Ia terbiasa dibebaskan oleh Jamien.” bisiknya dengan suara pelan. "Ahh ya, ada yang ingin saya sampaikan mengenai gejolak bangsa kita belakangan ini." "Ada masalah apa?" "Akhir-akhir ini bangsa demon terbagi menjadi dua kubu, ada yang tidak puas dengan hasil kepemimpinan Anda." George melaporkan gejolak yang terjadi. "Bukankah wajar jika terjadi pergesekan karena tingkat kepuasan?" "Memang benar, tapi kubu ini sangat provokatif dan berniat menggulingkan Anda dari takhta. Terlebih lagi saya mendengar desas-desus kebangkitan Lord Dominic yang digadang-gadang menjadi pengganti Anda." Mendengar nama Dominic disebut membuat amarah Evner meletup-letup. "Jangan asal bicara, Dominic sudah musnah sejak ratusan tahun yang lalu!" "Mohon ampun, itulah yang beredar di kalangan bangsa demon. Saya takut jika Lord Dominic benar-benar bangkit, ia akan menjadi penghalang terbesar Anda." "Apa pun yang terjadi, Dominic tidak boleh bangkit!" tegas Evner. Dominic Archer adalah sepupu Evner, sekaligus musuh terbesarnya. Sejak dulu mereka berdua sering berebut keahlian, hingga pada saatnya Dominic tewas dalam pertempuran besar. Evner tidak menyangka bahwa Dominic bisa dibangkitkan lagi, ini sangat berbahaya bagi seluruh bangsanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD