Part 8- Menolak

2357 Words
Mungkin wanita manapun akan bahagia mendapat pernyataan cinta, terutama dari pria yang tampan dan cerdas serta memiliki perhatian yang besar... tapi tidak bagi Meta. Sejak kejadian naas yang merenggut harga dirinya, ia menganggap dirinya pun tak pantas dicintai oleh siapapun. Menganggap semua pria mungkin mendekatinya hanya karena kasihan atau bahkan hanya ingin memanfaatkannya. Semua yang Meta khawatirkan soal pria, membuatnya menjadi tak percaya diri. Menganggap dirinya tak lebih dari ‘barang bekas’. Siapa pula pria yang akan mencintai Meta dengan tulus? Cinta. Rasanya Meta ingin menertawakan dirinya. Bagaimana bisa perasaan sesuci itu diberikan untuk wanita sepertinya? Jadi setelah Farzan menyatakan perasaannya pada Meta dan bersedia menunggu jawaban darinya, bukan kebahagiaan yang Meta rasakan. Melainkan gadis itu menahan diri untuk tidak terlalu merasa cemas. Kedekatannya dengan Farzan sangatlah singkat dan begitu tiba-tiba. Pria itu tiba-tiba saja hadir di dalam hidupnya dan memberikan begitu banyak perhatian, perhatian yang harusnya bisa membuat dirinya terbuai. Rasanya semua seperti tidak mungkin terjadi. Tak seharusnya pria sesempurna Farzan mendampingi wanita seperti dirinya. Tidak ada untungnya. Meta hanya ingin menjalani kehidupannya dengan tenang, menyembuhkan psikisnya yang turut terluka atas kejadian malam itu. Ditambah masalah yang datang bertubi-tubi, membuat hidupnya nyaris diambang kehancuran. Ia hanya butuh menata kembali hidupnya, menata sendirian. Seharusnya sejak awal Meta menolak pernyataan dari Farzan, agar pria itu menjauh dan mengakhiri semua usahanya. Ia pikir mungkin Farzan hanya bercanda atau berusaha untuk menghiburnya, jadi ia tak menganggap serius. Namun di hari-hari berikutnya, Farzan terus berusaha untuk menemuinya. Entah membawakan makanan, cemilan atau sekedar menemaninya mengobrol di teras rumah. Karena memang Meta belum memiliki pekerjaan hingga saat ini. Belum ada panggilan kerja dari sekian banyak surat lamaran yang ia sebar. Dirinya tentu tau diri dengan segala kekurangannya, terlebih background pendidikannya yang jauh dari kriteria yang banyak dicari. Mungkin ia harus bisa lebih bersabar. Namun sepertinya tidak bagi Farzan. Pria itu kembali bertanya soal pernyataan cintanya, apakah diterima atau bagaimana. Kali ini pria itu membawa satu kotak martabak ketan kesukaan Meta dan mereka menikmatinya bersama di teras depan rumah gadis itu. Sekalipun tidak pernah Farzan masuk ke rumah Meta, pria itu seolah menjaga Meta dan melindunginya. Membuat Meta semakin bimbang. “ Maaf, gue bener-bener nggak bisa,” ucap Meta untuk yang pertama kalinya. Berharap setelah ini Farzan berhenti untuk mengganggu hidupnya atau membuat dirinya bergantung pada kehadiran pria ini. Ia ingin melanjutkan hidupnya tanpa gangguan dari siapapun, menjalani hidupnya yang membosankan seperti biasa. Melamar kerja lagi hingga bisa bekerja dan hidup layaknya manusia lain. Meskipun ia sendiri tak yakin akan sanggup melalui hari-harinya karena mimpi buruk itu terus menghantuinya setiap malam. Mimpi buruk tentang pria yang wajahnya tak bisa Meta kenali, menyentuhnya dengan brutal. Juga mimpi tentang kepergian sang ayah yang begitu mendadak di saat Meta belum pernah sekalipun mengucapkan kata terima kasih atas semua perjuangan pria itu secara diam-diam demi dirinya. Sesak. Itulah yang Meta rasakan setiap kali terbangun dari tidurnya. Terkadang ia menahan untuk tidak tidur hanya agar tidak melihat mimpi buruk itu lagi. Walau setelahnya pasti tubuhnya akan drop. Farzan terdiam sejenak, menatap jemarinya yang saling bertaut menandakan jika dirinya sedang gugup. “ Apa... lo nggak bisa memikirkannya lagi?” Meta menggelengkan kepalanya dengan yakin. “ Gue udah sangat yakin. Gue nggak bisa... gue nggak mau. Gue hanya ingin menyusun kembali kehidupan gue yang hancur, kak. Gue nggak mau memiliki harapan tinggi pada seseorang di saat gue sendiri nggak bisa mengandalkan diri gue sendiri. Gue nggak siap untuk hubungan apapun itu. Gue mau fokus sama hidup gue sendiri.” “ Meskipun gue akan selalu siap untuk mendampingi di semua momen hidup lo?” tanya Farzan lagi. “ Lo berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik. Lo pinter, ganteng... gue tau banyak yang suka sama lo.” “ Tapi gue maunya lo, Ta.” “ Tapi gue nggak mau.” Meta menatap Farzan penuh keyakinan, seolah dirinya tak butuh siapapun. “ Jangan paksa gue. Gue udah cukup menderita, jangan ditambah lagi beban untuk mencintai lo juga.” “ Gue nggak berharap lo mencintai gue dengan cepat, gue akan menunggu. Tapi gue ingin selalu ada buat lo. Menjadi seseorang yang peduli sama lo, menjadi teman lo, menjadi... pacar lo.” Meta tersenyum getir. Harusnya hatinya akan melambung tinggi mendengar pernyataan semanis ini dari pria seperti Farzan. “ Nggak. Bahkan buat berteman dengan lo aja rasanya sulit. Jangan membuang waktu lo buat gue.” Ia beranjak dari kursinya dan menghela nafas panjang. “ Gue mau istirahat.” “ Tapi, Ta... “ Farzan ikut beranjak, menatap Meta yang terlihat tak ingin balik menatapnya. Pria itu mendesah pelan. “ Gue nggak akan menyerah, Ta.” Ia pun berbalik dan pergi dari sana. Meta hanya menatap punggung pria itu yang semakin menjauh dan pergi dari hadapannya. Ia terduduk lemas di kursinya, menatap martabak yang baru dimakan beberapa potong. Gadis itu menopang kening dengan telapak tangannya. “ Mana bisa gue bahagia di saat psikis dan fisik gue udah dihancurkan seseorang yang nggak gue ketahui. Dia berhak mendapatkan perempuan yang sempurna. Bukan sampah kayak gue.” *** Selama beberapa hari, Farzan tak pernah lagi mengusik Meta. Tak secara langsung maupun melalui telepon. Pria itu seolah menghilang begitu saja. Membuat Meta merasa lega sekaligus kecewa karena ternyata memang tak ada pria yang akan benar-benar terus mendampinginya. Walau memang ia yang telah menolak Farzan, tetap saja gadis itu merasa kehilangan. Di sela kegalauannya, Meta mendapatkan panggilan interview di salah satu klinik kulit. Gadis itu jelas sangat excited untuk melalui tahap interview kesekian kalinya dari sekian banyak lamaran yang tak ada kabar kelanjutannya. Sayangnya di hari interview itu, Meta justru bangun kesiangan karena baru bisa tidur sekitar jam tiga pagi. Padahal ia sudah mencoba untuk tidur sejak pukul sepuluh malam tapi tak juga bisa lelap. Sehingga tentu saja pagi itu ia bangun kesiangan, membuatnya buru-buru bersiap untuk pergi ke lokasi interview yang jaraknya cukup jauh. “ Mati gue!” Meta menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, padahal interview akan dilaksanakan pukul sepuluh siang. Seharusnya ia bisa datang lebih cepat sebagai first impression-nya di calon tempat kerjanya nanti. Kalo baru interview saja sudah telat, bagaimana bisa ia diterima? Tiba-tiba saja sebuah motor yang sangat Meta kenali berhenti di depan gadis itu ketika dia sedang menunggu ojek langganannya. Pria di atas motor itu menurunkan kaca helmnya, menatap Meta seraya tersenyum kecil. “ Butuh tumpangan?” Rasanya banyak pertanyaan di dalam kepala Meta soal kenapa Farzan bisa ada di sini? Kenapa juga pria itu tau ia butuh tumpangan? Tapi semua itu ia kesampingkan demi bisa sampai setidaknya tepat waktu. Ia pun langsung naik ke motor Farzan. “ Ke Senayan City ya.” “ Oke. Tapi ada bayarannya,” ucap Farzan dengan senyum penuh arti. Meta berdecak pelan. Tak mau banyak berdebat yang hanya akan membuat waktunya semakin terbuang. “ Apaan?” “ Makan siang bareng gue.” “ Oke!” Meta langsung mengiyakan, tak apa hanya makan siang bersama. Yang penting ia bisa segera pergi. Farzan langsung melajukan motornya menuju lokasi yang Meta sebutkan. Hanya butuh waktu tiga puluh menit karena pria itu berhasil menemukan beberapa jalan yang lumayan bebas macet, apalagi di hari senin pagi. Setelah sampai, Meta hanya perlu menunjukkan surat panggilan interview ke salah satu security agar bisa masuk ke dalam mallnya. Sementara Farzan menunggu di luar, menatap gadis yang baru saja masuk melalui pintu khusus karyawan mall itu. “ Good luck, Ta.” *** Sepertinya hari itu adalah hari keberuntungan Meta, gadis itu berhasil lolos interview dan akan tanda tangan kontrak kerja lusa. Ia sangat bersyukur karena dari sekian banyak surat lamarannya, ada satu yang berhasil membuatnya mendapat pekerjaan. Meski hanya sebagai kasir, setidaknya dalam beberapa hari lagi ia bisa memiliki kesibukan baru. Tak perlu lagi sibuk mencari lowongan pekerjaan dan membuat lamaran kerja lagi dan lagi. Ia pun melangkah dengan riang ke luar dari mall itu. Namun ia melupakan seseorang, seseorang yang ternyata masih setia menunggunya di tempat tadi. Farzan. Pria itu melempar senyum manisnya ke arah Meta seolah menyadari ada kabar baik yang gadis itu bawa. “ Gimana hasilnya?” Meta tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, ditambah Farzan memiliki andil atas keberhasilannya hari ini. Tanpa Farzan, ia pasti sudah datang telat dan mungkin saja akan kalah dari tiga kandidat lain yang interview bersamanya tadi. “ Gue lolos. Lusa udah tanda tangan kerja.” “ Bagus dong.” Farzan turut bahagia. “ Jadi, kita makan siang sekarang?” “ Boleh. Tapi kan... “ Meta menatap pakaian yang dikenakannya hari ini. Layaknya para pencari kerja lain, ia mengenakan kemeja putih dan rok span pendek berwarna hitam. “ Nanti gue dikira pelayannya lagi.” “ Nasi Padang aja yuk! Mana ada tukang nasi Padang yang bajunya serapih elo?” balas Farzan yang akhirnya disetujui oleh Meta. Lagipula Meta juga benar-benar lapar, mengingat tadi pagi ia kesiangan dan tak sempat sarapan. Ditambah gugup menghadapi interview hari ini, jelas menguras banyak energinya. Terbayang satu porsi nasi Padang dengan ayam pop dan perkedel, pasti lezat! “ Oke.” Keduanya pun pergi menuju salah satu restoran Padang yang berada di dekat sana. Mereka langsung memesan makanan dan kebetulan memang restoran tak terlalu ramai karena jam makan siang sudah berakhir sejak satu jam yang lalu. Meta terlihat lahap menghabiskan satu porsi makanannya. Tanpa perlu menjaga imejnya, gadis itu makan lahap menggunakan tangannya. Ya namanya makan nasi Padang, nggak enak kalo nggak pake tangan langsung. Farzan tersenyum tipis melihat Meta yang menghabiskan makanan di piringnya. “ Pasti tadi nggak sempat sarapan ya?” Meta mengangguk malu. “ Kesiangan soalnya. Emh... thank you ya buat hari ini. Tapi kok lo tau gue hari ini butuh tumpangan?” tanyanya penasaran. “ Kebetulan banget.” “ Bukan kebetulan. Emang setiap hari gue memperhatikan lo kok.” “ Hah?” Farzan menyandarkan punggungnya ke kursi. “ Gue kan bilang nggak akan menyerah. Tapi gue juga nggak mau ganggu lo. Jadi gue hanya perhatiin rumah lo aja setiap pagi. Sampe lampu kamar lo mati soalnya gue tau itu berarti lo udah bangun.” Meta menaikkan sebelah alisnya. Bagaimana Farzan tau? “ Gue tau karena gue udah perhatiin lo beberapa hari ini. Bukan bermaksud menguntit loh.” Farzan mengibaskan tangannya. “ Jangan salah paham ya. Gue hanya ingin memastikan lo baik-baik aja.” Meta memicingkan matanya, kemudian akhirnya mengangguk. “ Emang lo nggak kuliah?” “ Kuliah kok tapi jadwal gue kebanyakan siang.” “ Oh.” Meta tak bertanya lebih lanjut. “ Pokoknya makasih banget buat hari ini. Lo datang tepat waktu.” Ia tersenyum lagi. “ Dan... untuk selanjutnya, lo masih butuh tumpangan terus, kan?” “ Maksud lo?” “ Nggak apa-apa deh nggak jadi pacar, jadi tukang ojek lo juga gue mau.” “ Nanti lo minta bayaran apa lagi?” Meta menatap curiga. Farzan malah tertawa. “ Untuk sekarang sih enggak, cuma ya siapa tau suatu saat nanti lo khilaf terus nerima tukang ojek lo ini jadi pacar.” Mau tak mau Meta pun jadi ikut tertawa. “ Kita lihat aja, sampai kapan lo bertahan jadi tukang ojek gue.” “ Dan gue juga nggak sabar mau lihat sampai kapan lo bertahan untuk nggak nerima gue.” Farzan mengulum senyum. Saat itu Meta sadar, ia harus menguatkan hatinya dan membangun benteng setinggi mungkin. Pokoknya ia tidak boleh jatuh cinta, tidak sampai ia bisa memastikan dirinya baik-baik saja dan mampu menjalani hubungan yang mungkin akan mengacaukan psikisnya. Lagipula, pria pasti mudah bosan dan mungkin saja perlahan kelak Farzan akan pergi. Ketika pria itu sadar, dirinya hanyalah gadis kotor yang tak pantas untuknya. Untuk saat ini, Meta memang memberikan kesempatan Farzan untuk menyelinap sedikit ke dalam hidupnya. Ya, hanya sedikit. Agar kelak ketika pria itu pergi, hanya sedikit pula luka yang dia tinggalkan. *** “ Lo kenapa tiba-tiba pindah ke mata kuliah siang sih?” tanya Arya ketika akhirnya satu kelas dengan Farzan lagi. “ Udah gitu susah banget diajak nongkrong sekarang. Punya pacar lo ya?” tembak Robi langsung. “ Wah! Nggak setia kawan lo. Kita-kita masih jomblo, lo udah dapet pacar baru? Cantikan mana sama Sandra?” tanya Daffa dengan antusias. “ Tolong nggak usah bawa-bawa nama mantan ya,” ucap Farzan yang terlihat enggan. “ Gue sibuk yang lain, bukan pacaran.” “ Serius lo?” “ By the way, si Meta beneran dikeluarin ya?” Arya mengalihkan pembicaraan, kebetulan ia sudah dengar banyak berita soal Meta. “ Ya menurut lo aja. Emangnya kalo nggak dikeluarin, dia masih punya muka buat kuliah di sini? Di saat semua orang udah tau... ya, you know what I mean.” Daffa ikut berkomentar. “ Tapi kasian juga nggak sih?” Robi malah berkomentar berbeda. “ Dia kan berhak melanjutkan pendidikan juga. Dan lagipula itu kan musibah. Keterlaluan nggak sih peraturan kampus kita?” “ Bener juga.” Arya tampak setuju. “ Kalo kayak Meta aja dikeluarin, apa kabarnya yang emang suka ke club dan cek in. Anjir! Bisa abis mahasiswa kampus ini.” “ Harusnya dia diem aja nggak sih? Nggak perlu bikin laporan ke polisi yang akhirnya tuh laporan malah bocor, bikin nama dia dan kampus ini viral. Makanya dikeluarin. Ya, kalo mau cek in mending diem-diem.” Daffa berkomentar lagi. “ Terus menurut lo dia nggak boleh melaporkan kejadian yang bikin dia trauma itu?” Dirga membalas ucapan teman-temannya. “ Ya, tapi kalo dia nggak lapor, nggak akan ada laporan yang bocor dong? Harusnya dia masih kuliah.” “ Dan terus dihantui ketakutan atas siapa pelakunya?” Dirga terlihat tak suka dengan pendapat teman-temannya. “ No komen deh gue. Dan ngomong-ngomong soal pelakunya, dia ngerasa bersalah nggak ya?” Robi memilih mengalihkan pembicaraan dibanding membuat obrolan siang ini semakin membuatnya gerah. “ Paling dianggap cinta satu malam aja.” “ Nggak kebayang deh gue.” Robi bergidik ngeri. “ Ngebayangin bangun tidur udah polos dan abis dipegang-pegang pria nggak dikenal.” “ Pria mana emaang yang lo takutin?” balas Daffa. “ s****n! Bukan itu maksud gue ya. Ya gue lebih ngeri lagi kalo digrepe cowok.” Farzan hanya mendengarkan pembicaraan teman-temannya, tak berselera untuk ikut nimbrung. Matanya melirik ke ponsel yang Dirga pegang, kontak dengan nama Meta terpajang di sana seolah dia tengah mempertimbangkan untuk menghubungi gadis itu. Ia seketika mengerutkan keningnya. Sejak kapan Dirga punya kontaknya Meta? Untuk apa? Apa mereka pernah dekat sampai nomor Meta ada di ponsel sahabatnya ini?

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD