Part 7- Pernyataan Cinta?

2001 Words
Andai kamu lelah, maka beristirahatlah sejenak. Lalu lanjutkan kembali hidupmu. Jangan pernah memutuskan untuk berhenti di saat Tuhan telah memberimu kesempatan untuk menjalani hidup lebih lama. Kesempatan yang mungkin tak semua orang bisa mendapatkannya. *** “ Surprise!” Gaby dan Ivana berteriak heboh ketika Meta muncul dari balik pintu rumahnya. Mereka berdua lalu langsung masuk begitu saja ke rumah Meta bahkan sebelum dipersilahkan oleh si empunya rumah. “ Lo berdua ngapain?” Meta terheran-heran dengan kedatangan sahabatnya yang mendadak ini. Padahal katanya mereka berdua akan melaksanakan ujian. Tapi kenapa malah ke sini? “ Bukannya ujian?” “ Emang ujian kok, tadi pagi,” jawab Ivana dengan santai. Kini ia sudah duduk di sofa milik Meta sementara Gaby meletakkan satu kotak pizza yang dibelinya beserta beberapa cemilan lain. “ Terus kita mampir ke sini soalnya laper.” “ Rumah gue bukan kantin betewe.” Meta menghampiri kedua sahabatnya itu. “ Justru itu!” Gaby menjentikkan jarinya. “ Jadi kita bawa makanan. Soalnya tau rumah lo ini kan selalu minim makanan. Eh... ada donat?” Matanya malah salah fokus ke kotak donat yang berada di dekat nakas samping sofa. Kedua mata Ivana juga menatap kotak donat berwarna kuning itu. “ Enak ya hidup lo sekarang. Nggak pusing kuliah, kerjaannya makan terus. Gofud terossss.” Meta tertawa. “ Nggak juga. Mana doyan makan gue lagi begini. Ngeledek ya lo?” “ Kalo jadi lo, gue puas-puasin tidur sama makan deh. Mumpung nggak harus mikirin tugas dan t***k bengeknya.” “ Maunya sih gitu.” “ Tapi serius lo udah nggak apa-apa?” tanya Gaby mencoba memastikan. Meski sekarang Meta terlihat baik-baik saja, tapi rasanya apa yang telah sahabatnya lalui tidaklah semudah itu dilupakan. Meta mengedikkan bahunya. “ Gue pasrah aja pokoknya dan berusaha jalanin hidup. Mau gimana lagi?” Ia tersenyum getir. “ Tapi lo nggak... “ Ivana membuat kode dengan tangan membentuk setengah lingkaran pada perutnya. Wajahnya terlihat ragu, sebenarnya tidak enak juga bertanya. Tapi ia benar-benar penasaran. Kali ini Meta menggelengkan kepalanya. “ Untungnya... enggak.” “ Masih ada untungnya ya?” Gaby berdecak-decak. “ Baguslah. Ah, lagian kampus aja yang lebay. Terlalu membesarkan masalah. Mahasiswanya lagi kena musibah kok makin ditimpa tangga. Seharusnya mereka bisa mendampingi lo dan mendukung lo. Bukan malah nambahin masalah.” Ivana masih tak terima dengan apa yang telah kampusnya lakukan pada sahabatnya. “ Berasa pada suci kali mahasiswinya. Jaman sekarang, yang masih perawan bisa dihitung kali.” “ Mungkin pihak kampus tau, gue nggak sekuat itu untuk melanjutkan kuliah. Ada benernya juga sih. Walau gue nggak mau memperdulikan tatapan di luar sana, tetap aja gue merasa... gue nggak seharusnya ada di sana.” Gaby dan Ivana langsung memeluk Meta dan menenangkan sahabatnya itu. “ Terus rencana lo apa?” “ Gue baru kirim beberapa lamaran kerja sih.” “ Lo mau kerja?” tanya Ivana tak percaya. Meta mengangguk. “ Walaupun ngandelin ijazah SMA aja. Ya semoga aja dapet. Gue udah males lanjut kuliah lagi, berita gue udah nyebar kemana-mana. Ini aja syukur-syukur kalo ada tempat yang mau memperkerjakan gue.” Ia tersenyum getir memikirkan bisa saja perusahaan-perusahaan di luar sana juga mengetahui soal beritanya dan mempertimbangkan berkali-kali untuk memberikan pekerjaan padanya. “ Rejeki nggak akan kemana kok.” Gaby menepuk-nepuk pundak Meta. “ Ya udah sekarang mending kita makan pizza deh. Lo nggak punya cola atau apa gitu yang seger-seger?” tanya Ivana yang tak mau terus larut dalam kesedihan. Walau ia yang merasa paling kehilangan ketika Meta tak lagi kuliah bersama mereka. Sampai setiap ada kelas, ia tetap mencari dua kursi kosong seperti biasa untuk kedua sahabatnya. Melihat hanya satu kursi yang terisi, hatinya terus terenyuh. Merasa kehilangan, merasa ada yang kurang. “ Ada jus jeruk sih. Gue ambil dulu ya.” Meta beranjak dari tempatnya dan menuju dapur. Saat membuka lemari pendingin, matanya melihat beberapa s**u kotak yang ada di sana. Biasanya ia tak pernah menyetok s**u di rumahnya karena memang jarang mengkonsumsinya. Namun entah kenapa, kini ia merasa suka dengan s**u cokelat. Wanita itu segera menggelengkan kepalanya. Mencoba untuk memperingatkan dirinya sendiri. Jangan sampai Meta jatuh begitu saja pada seseorang yang memberikannya s**u ini. Tidak. Dia hanya mengasihanimu, Meta. Jangan berharap apapun. Tidak ada alasan untuknya bersamamu. Setelah ini dia pasti akan melupakanmu, menganggapmu angin lalu. Karena memang kalian bukanlah apa-apa. Cuma di kasih s**u, nggak usah baper! Berkali-kali Meta meyakinkan dirinya sendiri. Bagi wanita yang tak pernah jatuh cinta sepertinya, perasaan yang kini ia rasakan jelas terasa asing. Semoga saja ini hanya perasaan untuk berterima kasih, setidaknya ada satu orang lagi yang peduli padanya selain orang tuanya dan juga kedua sahabatnya. *** “ Puas lo?” Dirga merebut begitu saja ponsel yang sedang Selina gunakan. Ia tahu jelas siapa dalang di balik berita-berita soal Meta yang tersebar di luar sana. “ Seneng lo udah menjatuhkan orang lain?” “ Apaan sih?” Selina berusaha merebut kembali ponselnya tapi tidak berhasil. “ Lo nggak merasa bersalah sama sekali sama Meta?” tanya Dirga lagi. Selina memutar bola matanya dengan malas. “ Jadi semua ini gara-gara Meta? Kenapa emangnya? Gue hanya sedikit menyebar info. Mana gue tau kalau semuanya jadi melebar. Lagian emang pantes dia dikeluarin dari kampus.” Ia benar-benar tidak merasa bersalah sama sekali. Dirga berdecak-decak heran. “ Kalian sama-sama cewek, lo harusnya tau luka yang Meta rasain. Tapi lo justru menambah masalahnya.” “ Kenapa sih? Lo belain Meta? Lo suka sama dia?” tanya Selina dengan tajam. “ Kawinin aja kalo gitu si Meta biar beritanya redup. Nggak usah setengah-setengah kalo mau belain orang!” balasnya sengit. “ Bukan masalah suka dan nggak suka, tapi masalah kepedulian. Lo punya rasa empati nggak sih?” Selina melipat kedua tangannya di depan d**a, sadar kini mereka berdua tengah menjadi bahan tontonan anak-anak di kampus. “ Kalo mau protes, ke pimpinan kampus sana. Mereka yang ngeluarin Meta, bukan gue.” “ Tapi kalo seandainya lo nggak ember, semua nggak akan kayak gini. Semua orang berhak melanjutkan pendidikannya, sekalipun mereka p*****r!” Dirga menunjuk tepat di wajah Selina, seolah menunjukkan siapa p*****r yang sebenarnya. “ Meta nggak pernah cari masalah sama lo, tapi sepertinya kehadiran dia mengganggu lo ya?” Tak terima dengan sikap Dirga, nafas Selina jadi memburu. Ditepisnya tangan pria itu dan ia langsung berdiri menantang. “ Ya, dia memang sangat mengganggu! Cewek sok polos, cewek sok cantik dan sok pintar. Tapi ternyata busuk.” Tangan Dirga siap untuk menampar wajah Selina tapi tangan itu melayang begitu saja di depan wajah Selina yang matanya terpejam. “ Untung lo cewek.” Ia mengepalkan tangannya lalu beranjak pergi dari sana. “ Cewek kayak gitu aja lo sukain. Sementara gue nggak pernah lo lirik sedikitpun. Gue benci sama Meta! Lo tau karena apa? Karena lo malah suka sama p*****r itu dibanding gue!” Selina berteriak dengan nafas tersenggal. Tak disangkanya pria seramah Dirga malah mempermalukannya di depan umum seperti ini, hanya karena Meta! Beberapa orang mulai berbisik setelah kepergian Dirga. Bisikan-bisikan yang sebenarnya sudah tak berguna lagi. “ Iya ya. Harusnya Meta masih bisa kuliah.” “ Kasihan padahal udah semester lima.” “ Tanggung banget.” “ Padahal syarat jadi mahasiswa nggak ada tuh harus perawan.” “ Iya loh. Temen sekelas gue malah ada yang lagi hamil.” “ Berlebihan banget tindakan kampus kita.” Mendengar semua omongan di sekitarnya membuat Selina semakin kesal. Meski sudah tidak ada di kampus ini pun, Meta tetap membuatnya muak. *** “ Loh, kak?” Meta terkejut begitu melihat Farzan berdiri di samping mobil yang terparkir di depan gerbang rumahnya. “ Lo ngapain di sini?” “ Katanya lo ada interview kerja, kan?” tanya Farzan yang sebelumnya memang sempat bertukar pesan dengan Meta dan dia mengatakan hari ini akan melakukan interview kerja di salah satu perusahaan. Meta mengangguk. “ Terus?” “ Gue mau nganterin lo.” “ Kenapa?” “ Biar cepet aja. Gue tau kok tempatnya.” Farzan mengedikkan bahunya. Tak mau berdebat lagi, Meta akhirnya setuju jika Farzan mengantarnya. Ia kemudian masuk ke dalam mobil Farzan lalu mobil itu melaju, menembus padatnya ibukota di hari senin pagi. “ Loker apa emangnya?” tanya Farzan penasaran. “ Walk in interview gitu sih. Ada lowongan admin. Nggak tau lolos apa enggak. Udah ikut beberapa interview tapi masih nggak ada kelanjutan lagi setelahnya. Susah sih lulusan SMA doang.” Meta jadi curhat. “ Semoga kali ini diterima,” balas Farzan seadanya. Meta mengangguk. “ Semoga aja. Gue bosen jadi pengangguran.” Sebenarnya ia tidak ingin begini, terus menerima perlakuan baik dari Farzan. Namun pria ini seringkali muncul secara tiba-tiba. Entah hanya beberapa kotak s**u yang dia tinggalkan di depan rumah, dan hari ini dia justru muncul untuk mengantarnya. Padahal ia tidak meminta. Apa hatinya kuat untuk terus menerima semua sikap Farzan ini? Begitu sampai di sebuah gedung sesuai alamat yang Meta tuju, pria itu ternyata mengantar sampai Meta ke lantai tempat dimana Walk in Interview dilaksanakan. Walaupun Meta bilang ia bisa pergi sendiri tapi Farzan memaksa. “ Biasanya nggak akan lama sih acara kayak gini. Gue tunggu aja kali ya?” tanya Farzan pada lebih pada dirinya sendiri. “ Eh, jangan. Gue bisa pulang sendiri kok. Pasti lama.” “ Nggak apa-apa, gue nggak ada kerjaan soalnya. Nanti kabarin aja kalo udah selesai ya,” ucap Farzan yang kemudian berlalu, tentu tanpa menunggu persetujuan dari Meta. Meta menghela nafas. Kenapa sikap Farzan begitu aneh? Sayangnya hari itu lagi-lagi bukanlah keberuntungan Meta. Sejak proses seleksi tahap kedua, namanya langsung gugur. Ia tak bisa ikut seleksi selanjutnya. Padahal ia sangat berharap bisa diterima. Ia pun kemudian berjalan dengan lunglai keluar dari gedung itu. Farzan ternyata menunggu di coffe shop yang ada di bagian lobby. Pria itu melihat Meta yang baru keluar dari lift. Tangannya pun melambai tapi sepertinya Meta tak melihatnya. Akhirnya ia beranjak dari sana, membawakan satu cup kopi yang baru dipesannya dan mengejar Meta. “ Lo nggak liat... “ seketika ia menghentikan ucapannya saat melihat wajah Meta yang penuh air mata. “ Lo kenapa?” Meta menatap Farzan yang berdiri di depannya. “ Gue gagal lagi.” Ia tertunduk, menatap sepatu hitamnya dengan hampa. Ia baru tau mencari pekerjaan ternyata sesulit ini, ditambah orang-orang yang menganggapnya sebelah mata karena pendidikannya. Ia mengusap air matanya dengan kasar. “ Harusnya gue sadar diri, orang seperti gue... “ Belum selesai Meta berbicara, Farzan menarik tangan wanita itu untuk keluar dari gedung. Mereka berdua kemudian berjalan menuju area parkir dan masuk ke dalam mobil. “ Sekarang lo boleh nangis.” Meta terdiam sejenak, hingga kemudian isakannya keluar begitu saja. Tangisannya semakin kuat, seolah ia tengah mengeluarkan semua rasa sesak di dalam dadanya. “ Gue benci sama hidup gue. Kenapa gue berakhir seperti ini? Dosa apa yang udah gue lakukan sampai gue harus melalui hari-hari yang berat kayak gini? Gue cuma mau kerja, gue cuma mau buktiin kalo gue bisa melanjutkan hidup gue. Tapi kenapa sesulit ini.” Setelah tangis Meta mereda, Farzan menepuk-nepuk puncak kepalanya dengan begitu lembut. “ Semua ini proses agar lo bisa jadi lebih kuat lagi. Dan gue akan menemani lo melalui semua proses ini.” Kepala Meta terangkat, menatap manik mata Farzan yang menatapnya dalam-dalam. “ Kenapa? Kenapa lo baik sama gue?” Seketika tenggorokan Farzan tercekat. “ Gue udah bilang. Jangan kasihani gue, gue ngerasa jadi orang yang paling buruk di dunia ini. Gue bisa melanjutkan hidup gue sendiri tanpa belas kasihan lo.” Meta memalingkan wajahnya. “ Apa gue harus punya alasan untuk ada di samping lo?” Pertanyaan Farzan terdengar bodoh. “ Jangan membuang waktu lo hanya buat cewek nggak berguna kayak gue.” “ Kalau gue bilang gue mau menghabiskan waktu sama lo, apa lo keberatan?” “ Maksud lo?” Kali ini Meta memberanikan diri menatap Farzan lagi. “ Gue... gue mau ada di samping lo. Gue mau menemani proses lo... karena gue suka sama lo.” Kebohongan pertama itu akhirnya meluncur juga dari mulut Farzan. “ Lo gila. Dari sekian banyak cewek di kampus yang suka sama lo, tapi lo malah suka sama gue?” Farzan mengulum senyum. “ Kenapa emangnya? Gue boleh kan suka sama Ratu Ospek?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD