Bab 15

864 Words
Lexington, Manhattan, New York City Minggu, 19 November 2017    -- Silakan tekan tombol satu untuk mulai berbicara.. Aku mendengar bunyi bip dari ponselku, kemudian suara seseorang muncul di seberang. Suaranya ringan dan keras – seorang wanita. “Klinik psikiater, dengan siapa di sini?” “Um.. namaku Sara. Aku ingin.. bolehkah aku bicara dengan Dokter Katherine Bernice?” “Maaf, tapi apa kau sudah menjadwalkan pertemuannya?” “Tidak, aku hanya.. aku hanya ingin berbicara dengannya sebentar.” “Maaf, tapi kau harus menjadwalkan pertemuan lebih dulu. Masih ada jadwal yang kosong di hari kamis dan jumat, sekitar pukul sebelas siang.” “Bolehkah aku bertanya, apa dia tinggal bersama suaminya?” “Maaf?” “Aku rasa aku melihatnya kemarin.” “Maaf, tapi kami hanya melayani pasien yang ingin berobat. Jika kau ingin berbicara dengan dokter Katherine, kau bisa mengisi jadwal yang kosong pada hari kamis atau Jumat. Selamat siang.” Panggilan telepon itu diputus. Aku memeriksa ponselku, dengan bodohnya menggoyangkan ponsel itu sembari berharap wanita itu akan menghubungiku kembali. Nyatanya tidak. Aku mencoba menelepon balik, harapanku masih membumbung hingga nada dering telepon itu memberitahuku bahwa jaringan sedang sibuk. Aku mendesah, berdiri di depan papan merah itu sembari menatap deretan foto Katherine Bernice yang kutangkap dengan kameraku beberapa hari yang lalu. Pikiranku melayang. Selama berjam-jam aku hanya berdiri di kamarku, sesekali menatap keluar jendela, kemudian mengintip melalui lubang kunci. Aku merasa terkurung – Nick dan Nate sudah sepakat untuk mengurungku sejak mereka menemukanku mabuk di lorong. Malam itu - aku tidak ingat kapan persisnya dan apa yang terjadi, aku hanya mendapat potongan-potongan kecil dari ingatanku tentang Dokter Katherine Bernice. Malam ketika aku pulang dalam keadaan mabuk, Nate mengatakan kalau dia menemuimu tersungkur di lantai lorong. Seorang petugas kebersihan yang memberitahunya. Aku tidak bisa mengingat apapun hingga paginya aku terbangun dan terkurung di dalam kamar. Nick marah padaku – aku rasa aku mempermalukannya di depan pemilik tempat penginapan itu. Aku mendengar percakapan mereka dari balik pintu kamar. Seorang pria kurus berkulit pucat – si pemilik penginapan itu mengeluhkan tindakanku semalam. Aku bisa membayangkan wajah Nick yang memerah saat itu, dia tidak berbicara banyak, dia hanya meminta maaf sehingga sang pemilik tempat penginapan itu pergi dengan cepat. Sekarang terhitung sudah hari ketiga sejak Nick mengurungku di penginapan itu. Dia datang setiap malam dengan bungkusan makanan dan obat yang diresepkan dokter Lou. Dia menutup semua celah bagiku untuk dapat meneguk alkohol. Aku benar-benar merasa terkurung – aku kesepian. Setiap malam sejak Nick mengurungku, aku menjadi lebih sering berbicara dengan Tom. Aku membaca ulang semua catatanku, membersihkan kamarku, dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menyaksikan tayangan aktris favoritku – Anne Baxter. Paginya, aku menghabiskan sarapan yang ditinggalkan Nick di dapur. Kemudian, ketika matahari telah merangkak di atas langit, aku membalas semua pesan yang masuk ke e-mail ku. Untunglah akun media sosialku dipenuhi oleh sejumlah perbincangan beberapa anggota yang aktif. Sebanyak dua ribu pesan yang belum terbaca di sana kini telah kubabat habis dalam waktu semalaman. Sorenya, aku memandangi jejeran foto di atas papan merah juga lukisan wanita di apartemen nomor sebelas. Aku membuka catatan terakhirku beberapa saat sebelum aku mabuk. Aku melihat Dokter Katherine di dalam rumah kayunya, dia bersama seorang pria – pria itu memukulnya. Aku penasaran apa yang terjadi setelah itu, apa dokter Katherine baik-baik saja? Apa aku melaporkan tindakan itu ke polisi – ataukah pria itu sudah di penjara? Suara Tom kini mengisi setiap malamku. Kami sekadar berbicara, terkadang ia berusaha menghiburku dengan gurauannya yang terdengar hambar. Aku tidak peduli, aku menyukai Tom sebagaimana dirinya. Dulu, kami sering bermain catur dan Tom selalu memenangkan permainan itu. Ia entah bagaimana selalu berhasil melakukannya. Hari ini aku sudah merindukannya. Pagi tadi ketika aku terbangun, aku merasa begitu kacau. Lingkaran hitam di bawah mataku kian membesar dan aku yakin aku telah kehilangan beberapa kilo berat badanku. Nafsu makanku menurun sejak aku dibiarkan terkurung di sana. Aku merindukan suasana di stasiun, aku merindukan saat-saat duduk di kereta sembari menatap deretan rumah bergaya Victoria dan kehidupan yang bergerak di sekitarnya. Aku rindu berada di taman, aku merindukan patung yang selalu kulihat, aku merindukan Dokter Katherine, dan hal yang paling kurindukan dari semua itu adalah anggur pinot-ku. Lidahku terasa kering, tergorokanku mulai kesakitan. Aku tahu bagaimana rasanya membiasakan diri untuk tidak lagi meneguk alkohol disaat aku telah terbiasa melakukannya. Itu akan sangat sulit, itu membutuhkan proses yang lama. Malamnya aku tertidur dengan perasaan hampa. Suara wanita di telepon itu masih terngiang jelas dalam ingatanku. Jelas sekali kalau wanita itu menolak untuk menghubungiku dengan Dokter Katherine dan aku masih penasaran. Aku rasa, aku tidak akan bisa tidur tenang sebelum bicara dengan dokter. Sore tadi, aku menyaksikan sejumlah tayangan berita di televisi. Aku berharap akan menemukan kabar tentang sang dokter yang menuntut suaminya karena kekerasan rumah tangga. Aku merasa itu konyol, tapi aku tetap menunggu berita itu ditayangkan. Sejenak, aku sempat tergoda untuk mengisi jadwal konseling yang kosong pada hari Kamis dan Jumat. Tapi, bagaimana reaksi Nick jika mengetahuinya? Tindakan itu hanya akan membuat Nick mengurungku lebih lama, lagipula uang tabunganku tidak cukup untuk membayar biaya konselingnya. Nick baru akan mentransfer sejumlah uang sekitar satu minggu mendatang dan aku harus bertahan dengan uang kumiliki sekarang.  -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD