Lexington, Manhattan, New York City
Senin, 20 November 2017
--
Aku tidak pernah menyadari bahwa ketika aku terbangun pagi ini tiba-tiba semuanya berubah.
Semuanya bermula dari pintu ruanganku yang tidak lagi terkunci. Nick meninggalkan kunci itu di atas meja bersama dengan santapan pagi yang tersisa untukku. Kemudian, langit yang berubah cerah. Segalanya semakin baik ketika aku tidak harus berhadapan dengan Nate pagi ini.
Ini adalah hari pertamaku sejak kali terkahir aku berada di stasiun. Aku tidak bisa ingat, mungkin tiga atau empat hari yang lalu – rasanya sudah lama sekali. Aku merasakan darahku berdesir cepat, segalanya semakin membaik. Aku tidak sabar untuk bertemu orang-orang, aku tidak sabar untuk bertemu dokter Katherine – aku sudah membayangkan bagaimana tampilannya hari ini. Dia akan mengenakan jaket merah yang sama dan kemeja putih di baliknya. Aku suka saat melihatnya memakai sepatu berhak tinggi warna merah seperti yang kulihat dalam setiap fotonya pagi ini. Aku membayangkan dia akan mengenakan kaca mata hitam untuk menutupi memar di bawah matanya akibat pukulan seseorang. Aku ingin bertanya siapa seseorang yang berbuat seperti itu padanya. Aku ingin bertanya dimana dia menyimpan cincin pernikahannya dan apa dia memiliki seorang bayi?
Perasaanku melambung tinggi. Aku sudah tidak sabar untuk itu semua. Aku bisa membayangkan rasanya berjalan di atas jembatan panjang Brooklyn dan menatap sungai yang mengalir di bawahnya. Aku bisa membayangkan embusan angin di bawah langit cerah Brooklyn yang menyapu wajahku. Suara tawa anak-anak yang berlarian di sekitar sana telah mengisi kepalaku. Aku ingat rasanya menggenggam lempengan besi dingin yang membentuk rangka jembatan itu. Aku ingin bersandar di sana – aku harap aku bertemu dokter Katherine.
Mataku mengerjap berkali-kali saat membayangkannya berjalan di kejauhan. Langkah kakinya yang mantap menyusuri jembatan itu. Sapuan lembut angin menggoyangkan rambutnya. Matanya yang jernih menatap ke sekeliling. Dia tidak menggunakan kaca mata hitam seperti yang ada dalam bayanganku - bahkan, di wajahnya tidak ada memar. Dia tampil secantik dan seanggun biasanya.
Mantel hitam sepanjang lutut yang dikenakannya berkibar ketika tertiup angin. Aku menatap jins berwarna cerah di balik mantel itu juga kaus berlengan panjang warna pucat yang senada dengan warna jinsnya. Sepasang sepatu kets berwarna putih membalut kaki kecilnya, membuatnya tampil seperti wanita yang lebih muda dari usianya. Dia berjalan menyusuri jembatan dengan kedua tangan yang mengayun pelan. Langkahnya cepat dan percaya diri. Aku melihat tas hitam yang menggantung di satu bahunya, juga syal berwarna biru yang melingkari lehernya.
Ini Dokter Katherine sebagaimana yang kulihat, dan aku tidak sedang membayangkannya. Dia sedang berjalan ke arahku, matanya menatapku. Aku mengerjakan kedua mataku sekali lagi, mengusir bayangan yang kabur dan melihatnya semakin jelas. Aku mengangkat kameraku - memotretnya, sekali, duakali..
Kulihat sepasang mata itu menatapku dari layar kamera. Dia semakin dekat. Aku menekan tombol di kameraku sekali lagi. Semakin dekat, aku bergerak mundur. Aku menurunkan kameraku tepat ketika kusadari kalau dia sudah berdiri di hadapanku. Matanya yang jernih menatapku hangat. Mata itu lebih besar dan warnanya lebih gelap dari yang kubayangkan. Tulang hidungnya lebih mancung, rahangnya kecil dan ada guratan melintang di atas alis kirinya yang tidak pernah kusadari.
"Permisi.."
Dia berbicara dengan suara yang lembut dan hangat - suara milik seseorang yang terlahir di negara bagian North Carolina. Dia adalah wanita di foto itu – wanita yang selalu kupandangi setiap aku terbangun di pagi hari, wanita yang kubayangkan sebelum aku pergi tertidur. Aku menginginkan kehidupan yang berputar di sekelilingnya. Aku ingin menjadi dirinya.
"Permisi!"
Ia melambaikan satu tangannya di depan wajahku. Aku nyaris tersentak saat tangannya menggenggam bahuku.
"Permisi.. bisakah kita bicara?"
Selama sesaat kami saling bertatapan, kemudian aku mengangguk. Dia membawaku menjauhi orang-orang, kami bergerak bersama-sama dan berhenti di tiang besi yang membentuk rangka jembatan. Kusaksikan rambutnya yang panjang bergerak tertiup angin. Dia lebih tinggi dariku, tubuhnya lebih ramping dan dia jelas lebih cantik. Semua pria akan memandanginya. Tapi aku masih penasaran, dimana dia meletakkan cincin pernikahannya?
Aku melihat jari-jari itu kosong. Kuku-kukunya tampak mengilap dan aku bisa mencium aroma parfumnya yang menyenangkan – perpaduan wangi lavender dan mangnolia.
"Apa aku mengenalmu?" Dia bertanya, suaranya terdengar ringan dan halus. "Aku rasa aku pernah melihatmu.."
Aku hampir mengatakan kalau aku mengunjungi kliniknya dan kami sempat berpapasan beberapa hari yang lalu, tapi kuputuskan untuk menjawab.
"Kita bertemu di taman beberapakali."
"Ya, dan aku melihatmu membawa kamera ini," dia menunjuk ke arah kamera yang menggantung di leherku. "Dan kau menggunakannya untuk mengambil gambarku. Tolong koreksi jika aku keliru."
"Aku.. aku.. aku hanya.."
Dia tersenyum, tubuhku tiba-tiba terasa kaku. Aku merasa malu, sisi lain aku merasa sedikit lega setelah mengetahui dia tidak marah padaku. Kebanyakan orang akan mendekatiku dan mengatakan padaku untuk berhenti mengambil gambar wajah mereka di kameraku. Dokter Katherine tidak bersikap sama – atau mungkin itu hanya masalah waktu sebelum dia memintaku untuk berhenti mengambil gambarnya.
"Kau melakukannya." Dia menyelesaikan kata-kata itu untukku. Dia tampaknya memahami ketakutan yang kurasakan karena sekarang dia menggenggam satu tanganku yang bergetar. Sang dokter meremasnya dengan lembut. Aku bisa merasakan sapuan kulitnya yang lembut di atas kulitku. Jari-jarinya yang kecil dan rapuh juga kukunya yang tajam. Aku membayangkan bagaimana seseorang dapat menyakiti wanita selembut ini. Orang itu pastilah monster.
"Aku minta maaf.." kutundukkan wajahku. "Aku tidak berniat jahat atau bermaksud menyakitimu. Aku hanya.. aku ingin.." aku kebingungan. Sang dokter tidak berbicara hingga aku menatapnya.
"Apa kau sibuk hari ini?"
Aku menggeleng. "Tidak."
"Mungkin kita bisa mengobrol sebentar. Ada kedai kopi di dekat sini. Kau mau ikut bersamaku?"
Itu semakin baik, aku merasakan hatiku melambung tinggi. Hawa panas menjalar di seputar wajahku.
"Ya, aku ingin."
"Jadi, siapa namamu?"
"Aku Sara."
"Hanya Sara?"
"Sara Adams dan kau Katherine. Dokter Katherine Bernice."
Dia tampak terkejut saat mendengarnya. Aku bisa merasakan perubahan emosi di wajahnya, tapi dia berhasil menutupnya dengan senyuman.
"Baik, Sara. Kau bisa memanggilku Kate."
Kate – bukan Anne atau dokter, dan kami akan pergi ke kedai kopi untuk mengobrol layaknya sepasang teman yang akrab. Aku merasa seperti seseorang mengirimiku hadiah thanksgiving lebih awal.
Kami duduk di sudut paling kiri di kedai itu. Belasan orang meramaikan tempat yang sama, Kate – Dokter Kate, telah memilih tempat yang paling nyaman sehingga aku tidak merasa khawatir ketika ada begitu banyak orang yang berkeliaran di sekitar kami. Aku menatap kerumunan orang di sana untuk sesaat sebelum menatap wajahnya, masih tidak percaya kalau aku berhadapan dengannya.
“Jadi, kau tinggal di Brooklyn?”
“Tidak, aku menaiki kereta dari Lexington menuju City Hall dan berhenti di tempat ini. Aku suka berjalan di taman, aku suka suasana di jembatan Brooklyn.”
Kate mengernyitkan dahinya, dengan sabar menungguku berbicara.
“Apa kau bekerja?”
Aku menggeleng, kedua alisku bertaut. Aku menunggu hingga ia mengajukan pertanyaan berikutnya. Semua orang menghindariku karena menganggapku aneh, Kate tidak begitu – atau mungkin itu hanya masalah waktu sebelum dia benar-benar menjauhiku.
"Jadi apa yang biasa kau lakukan di jembatan itu? Aku rasa.. aku pernah melihatmu sebelumnya."
"Ya, kita bertemu dua kali di taman," kataku. Jari-jariku bergetar di atas pangkuan, aku bisa merasakan perhatiannya tertuju kesana. Kate tampaknya memahami kegelisakanku karena sekarang dia mengganggam lenganku dengan hangat. Cengkramanya membuatku merasa lebih baik.
"Aku suka tempat ini. Aku menaiki kereta dan berhenti di sini setiap pagi. Aku suka melihat orang-orang di taman. Aku pikir.. aku suka melihatmu."
Kate tersenyum. "Jadi kau tidak bekerja dan kau suka melihat orang-orang. Dan kau menggunakan alat ini," dia menunjuk ke arah kameraku. ".. untuk merekam semua gambar orang-orang di sekitarmu. Tolong koreksi jika aku salah."
"Itu.. itu.. aku hanya.. aku hanya berusaha mengingat wajah mereka."
Saat Kate mengernyitkan dahinya, kupikir aku tidak akan membuatnya mengerti hingga aku menjelaskan yang sebenarnya.
"Mereka menyebutnya skizofrenia. Aku memiliki masalah dengan pikiranku. Aku suka berkhayal dan.. aku lupa. Aku melupakan segalanya. Setiap hari aku menaiki kereta menuju City Hall, aku berhenti di taman dan melihat semua kehidupan bergerak di sekitarku, aku bicara dengan seseorang kemudian.. aku melupakannya. Aku terbangun keesokan harinya dan aku tidak bisa mengingat apa-apa. Jadi aku menggunakan kamera ini, aku memfoto setiap orang, dan mencatat setiap kejadian yang kualami untuk kuingat keesokan harinya. Orang-orang menjauhiku karena ini, mereka menganggapku aneh – beberapa berpikir aku gila. Aku tidak tahu.. aku kebingungan. Aku kebingungan setiap saat."
Hening. Aku bisa merasakan cengkraman Kate pada lenganku mengendur. Dia kemudian menarik tangannya dan mencondongkan tubuh ke depan. Matanya menatapku dengan tajam.
"Apa kau memiliki keluarga yang bersamamu?"
"Ya, aku bersama Nick, adikku. Dia bekerja untuk kepolisian Manhattan. Tapi kami tidak tinggal serumah."
"Jadi kau benar-benar sendirian?"
"Aku tidak tahu, aku rasa.. ya."
"Apa kau ingat penyebab semua ini?"
"Nick bilang itu karena benturan keras di kepalaku. Aku sedang bermain sepeda dan sebuah truk menabrakku, aku terpental. Tidak ada luka serius di luar, tapi benturan di kepalaku menyebabkan aku hilang ingatan.. dan.. aku tidak tahu bagaimana penyakit ini memakan otakku. Psikiaterku mengatakan luka benturan itu cukup serius. Hasil vonisnya juga menunjukkan ada pergeseran di bagian dalam tengkorakku. Jadi aku menjalani terapi setiap minggu, minum obat, aku tidak tahu apa tujuan semua itu, aku masih melupakan segalanya."
"Jadi kau melihat suatu kejadian kemudian kau mencatatnya untuk kau ingat di hari berikutnya. Tapi bagaimana kau bisa meyakini dirimu kalau itu bukan bagian dari dulusimu?"
Aku tertegun.
"Apa yang benar-benar membuatmu tertarik pada kehidupan orang-orang, Sara?"
"Aku.. aku melihat.. hal-hal yang indah di sekeliling mereka. Aku melihat kehidupan yang tidak bisa aku miliki dan aku berharap, aku bisa menjadi mereka. Aku ingin memiliki kehidupan seperti itu, aku ingin terbangun dan mengingat semuanya, aku ingin tidur tanpa perasaan gelisah jika aku terbangun keesokan harinya dan aku melupakan apa yang terjadi denganku hari ini. Itu sangat mengganggu. Aku tertarik dan aku ingin memiliki kehidupan seperti itu. Berjalan bersama teman, pergi ke taman bersama suami dan putrimu, pergi ke klub malam dan bersenang-senang.. aku tidak bisa memiliki itu."
"Kau melihat dunia dengan cara yang kau inginkan, tapi kau tidak bisa membedakan apa yang mungkin dibentuk oleh pikiranmu. Bagaimana jika melihat sesuatu yang benar-benar terjadi, atau mungkin itu hanya apa yang kau inginkan terjadi? Bagaimana kau menyikapi hal itu? Apa kau bisa membuktikan satu hal yang nyata dari pikiranmu? Akankah kau memberitahuku apa hal yang nyata dari pikiranmu?"
Tiba-tiba suasana menjadi sangat hening. Percakapan orang-orang di sekitar kami seakan terdengar jauh. Aku duduk dengan gelisah di atas kursiku, mataku menatap ke sekitar. Aku menyaksikan pintu masuk mengayun terbuka tiap kali pengunjung masuk dan meninggalkan kedai. Aku melihat tiga orang mengantre di depan kasir, sementara itu seorang pelayan laki-laki sedang mengantar pesanan ke meja nomor sepuluh. Aku menyaksikan sejumlah orang mengisi tiap-tiap bangku yang kosong, tiba-tiba ruangan itu menjadi sesak.
Getaran pada tubuhku semakin terasa hingga tatapanku jatuh pada Kate. Selama sesaat, dunia menjadi buram di sekelilingku. Yang kulihat hanya wajahnya. Aku menatapnya – dia menatapku. Tidak ada kebencian, tidak ada amarah atau rasa kesal, dia menatapku dengan tulus layaknya seorang teman. Apa hal yang nyata dari pikiranku? Saat itulah aku tahu jawaban dari pertanyaannya.
Aku tersenyum, heran merasakan bagaimana sudut bibirku dapat terangkat dan kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
"Kau," kataku. "Kau nyata."
***
Aku bertemu dengannya, Tom dan kami berbicara.. Maksudku, benar-benar bicara.
Aku berdiri di depan papan merah dan menempel foto terakhir Kate yang kucetak. Kini sepasang mata biru itu menatapku. Aku bisa melihat guratan tipis di dahinya, dan aku masih mengingat bagaimana dia tersenyum. Aku ingat percakapan yang berlangsung selama satu jam itu. Aku mengingat setiap detail jalur yang kami lalui bersama, aku mengingat setiap kata-katanya.
Pertemuan kami berakhir di sana. Kate harus pergi bekerja di klinik. Aku mengikutinya sampai di pintu depan klinik itu. Aku menatap ke dalam dan aku menghabiskan hariku dengan duduk di bangku panjang dan mulai menulis, aku tidak ingin melupakan momen itu. Aku menunggu hingga sore ketika matahari telah bergerak ke arah barat, aku kembali ke stasiun.
Aku menaiki kereta sekitar pukul tujuh. Orang-orang masih memadati setiap gerbong, tapi aku duduk di sana, menatap ke luar dan satu-satunya hal yang menguasai pikiranku hanyalah Kate. Aku mengingat wajahnya. Keretaku bergerak cepat melintasi deretan perumahan bergaya victoria dan tiga puluh menit berikutnya, aku sampai di Lexington.
Aku berjalan dengan cepat melintasi jalur yang mengarah ke penginapanku. Aku menaiki lift menuju lantai tiga dan berhenti di depan kamar nomor enam belas. Hal pertama yang kulakukan adalah menyambar anggur di kulkas kemudian aku bergerak menuju komputerku. Aku mencetak semua gambar Kate yang ditangkap kameraku dan menggantungnya di samping lukisan wanita di apartemen lantai sebelas.
Selama sesaat aku tertegun. Aku menatap wajah mereka – mereka jelas orang yang sama. Sesuatu menggelitik perutku. Aku mengangkat botol anggur ke bibirku dan menyesapnya dari sana. Aku masih mengingat apa yang dikatakan Kate dan pemikiran itu muncul begitu saja. Bagaimana jika apa yang kulihat dari wanita di apartemen lantai sebelas tidaklah nyata? Bagaimana jika aku hanya membayangkannya berada di sana kemudian aku melukisnya sebagai wajah yang ingin kulihat berdiri disana? Benarkah aku berhalusinasi atas ini semua? Lalu bagaimana dengan Kate? Aku tidak sekadar berhalusinasi tentangnya, semua foto wajahnya di atas papan merah itu adalah bukti nyata.
Aku jatuh di atas karpet merah. Botol anggur yang sudah kosong itu berguling dari tanganku ke atas lantai kayu. Aku memejamkan mata saat suara itu terdengar.
"Astaga, pemalas.. apa yang kau lakukan?"
Benakku dibanjiri oleh kelegaan. Aku merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar suaranya. "Tom.. aku sangat merindukanmu."
"Oke, aku tahu. Apa kau mabuk lagi?"
"Tidak," aku berbohong padanya. Aku selalu berbohong. "Tom.. aku bertemu dengannya, dan kami berbicara."
Aku mendengar suara tawanya keras dan nyaring. Aku bisa membayangkan kedua matanya yang hitam menyipit setiap kali ia tertawa.
"Anne Baxter?"
"Tidak, namanya Katherine Bernice. Dia seorang psikiater, dia muda dan cantik."
"Oke, aku mendengarmu. Bagaimana wanita itu?"
"Dia.. sangat baik. Aku tidak pernah bertemu orang sebaiknya, Tom.. Dia mau mendengarkanku. Dia percaya pada kata-kataku. Aku tidak berbohong, dia orang yang sangat baik.”
“Aku percaya padamu sayang, apa lagi?”
Aku tertegun, mataku menatap botol kosong yang tergeletak di atas lantai. Aku menggigit bibirku kemudian berkata, “apa kau percaya padaku, Tom?”
“Ya, tentu saja.”
“Aku mencintaimu, Tom.. Aku sangat-sangat mencintaimu.”
“Aku tahu, sayang. Aku tahu..”
“Tidakkah kau berniat mengatakan hal yang sama?”
“Bukankah aku mengatakannya setiap saat?”
“Aku tidak tahu, aku rasa aku lupa.”
“Lalu mengapa aku harus mengatakan sesuatu yang pada akhirnya akan kau lupakan?”
“Aku hanya ingin mendengarnya sekarang. Itu akan membuatku merasa lebih baik.”
Suasana tiba-tiba menjadi terasa hambar saat Tom bertanya, “Apa maksudmu?”
“Tidakkah kau pernah memikirkan seseorang, maksudku.. wanita lain? Dokter Katherine, dia cantik, cerdas dan memiliki segalanya. Dia normal, aku pikir kau memiliki kehidupan yang sama seperti itu. Kau bisa saja mendapatkan wanita lain, bukan wanita yang suka berkhayal dan pelupa. Kau bisa saja..”
“Cukup! Apa kau mabuk? Kau bicara melantur.”
“Tidak, tidak, aku hanya.. aku hanya ingin tahu..”
“Kita sudah membicarakan hal ini, ingat? Sudah selesai. Aku sudah cukup mendengarnya.”
“Tolong, Tom.. aku hanya ingin mendengarnya sekarang.. apa kau pernah,-?”
Tidak ada jawaban. Hening. Kedua mataku berair, aku bisa merasakannya di atas wajahku. Tanganku bergetar dan aku menggigit bibirku terlalu keras hingga berdarah.
“Tom??”
Tidak ada jawaban.
“Tom, maafkan aku.. Apa kau mendengarku? Tolong.. Tom?”
Hingga detik itu, aku tidak mendengar suaranya lagi dan tiba-tiba tangisku pecah. Aku menyeret tubuhku ke atas kasur, berbaring tengkurap di atas sana. Sebagain wajahku terbenam di atas kasur, aku menatap papan merah di dinding, Kate balik menatapku. Aku merasa duniaku ditarik menjauh dan sebelum aku tertidur, wajah terakhir yang kuingat adalah Kate.
--
Beirtahu saya tanggapan kalian..