Bab 3

1437 Words
Nick berdiri di dapur dan memunggungiku. Seragam yang dikenakannya membalut ketat tubuhnya, memperlihatkan sepasang bahu yang lebar, lengan yang kokoh dan postur tubuh tinggi yang mengerikan. Nick berbalik dengan sepiring penuh pasta di tangannya. Wajahnya tampak suntuk seperti biasanya. Ia meraih soda dari lemari pendingin kemudian beranjak untuk menuangnya ke dalam dua gelas kosong. Ketika itu, aku hanya berdiri diam di dekat dinding, mataku tidak berhenti menatapnya. Nick berkerja untuk kepolisian lokal. Jam kerjanya yang tidak teratur membuat aku berpikir ia telah bekerja terlalu keras. Tapi Nick jarang mengeluh, sifatnya persis seperti ayah kami. Kehidupan Nick adalah hal yang terlalu pribadi. Dia jarang berbicara mengenai masalahnya padaku. Aku tidak pernah tahu apa dia sudah memiliki pacar diusianya yang sekarang, atau apa dia sudah merencanakan pernikahan dengan seorang wanita. Dia tidak akan mau berbicara tentang hal itu. Dia tidak selalu datang, hanya ketika dia memiliki jam-jam senggang. Terkadang, Nick hanya datang untuk menemaniku. Dia akan duduk di sofa selama berjam-jam sembari menyaksikan siaran televisi kemudian memastikan aku meminum semua obat-obatku. Nick tidak pernah tinggal semalaman di sana. Pernah sesekali dia menemaniku hingga larut, tapi ia tidak pernah benar-benar tinggal semalaman. Dia selalu mengatakan kalau pekerjaan menuntutnya untuk siaga di setiap waktu. Nick memiliki tempat tinggal yang nyaman di pusat kota. Sebuah rumah peninggalan orangtua kami. Aku bisa saja tinggal di sana bersamanya, tapi aku tidak ingin. Rumah itu selalu mengingatkanku tentang orangtuaku, dan setiap kali aku melakukannya, pikiranku semakin kacau. Penginapan ini, meski terlalu sempit dan berbau apak, cukup nyaman untuk kutinggali. Aku sudah terbiasa di sini. Nick juga sudah terbiasa hidup terpisah denganku, aku rasa kehadiranku justru menganggunya. Bagaimapun dia memiliki kehidupan normal, aku berutang banyak padanya dan aku tidak bermaksud mengganggu ketenangannya. Aku cukup nyaman disini. Aku senang dia tidak selalu datang setiap waktu, dengan begitu aku memiliki kesempatan untuk bicara dengan Tom: satu hal yang dibenci Nick. “Dengan siapa kau bicara?” suara Nick tegas dan berat. Aku mengingat ayah kami, mereka memiliki suara yang sama persis. Nick juga tampan seperti ayah kami. Rahangnya berbentuk persegi, ia memiliki rambut kecoklatan dengan sepasang mata yang tajam. Anehnya, Nick memiliki bulu mata yang lentik – itu adalah hal yang paling digemari gadis-gadis di sekolah tentangnya. Aku tidak ingat berapa banyak temanku yang mengaku kalau mereka menyukai Nick karena ketampanannya. “Maaf?” aku melangkah maju, tapi tidak melepas diri dari dinding kayu. “Aku mendengar kau berbicara pada seseorang. Siapa itu?” “Umm.. itu.. teman lamaku.” Nick mengangkat sebelah alisnya, menunggu hingga aku menjelaskan hingga akhir dan aku mulai memikirkan kebohongan lain. Entah mengapa aku selalu berbohong padanya. Aku selalu menggunakan alasan kalau aku tidak bermaksud mengecewakannya, pada nyatanya semua itu hanya omong kosong. Aku menyukai alkohol, aku masih mencintai Tom, dan aku benci melewati sesi terapi dengan Dokter Lou. Aku benci dengan semua obat-obat itu, aku semakin tidak betah di tempat penginapan yang kecil dan kotor ini. Rasanya melegakan jika kukatakan itu pada Nick sekarang. “Namanya Amy. Aku bertemu dengannya pagi ini di stasiun. Dia sudah menikah dan memiliki sorang bayi.” Kata-kataku anehnya terdengar cukup meyakinkan, dan Nick memilih untuk mengabaikannya. Dia menunjuk sepiring pasta yang diletakkannya di meja dapur kemudian memintaku untuk menghabisinya. Nick kemudian meraih kaleng soda dan berjalan ke tengah ruangan sementara aku sibuk dengan makananku. Aku tidak sadar kalau aku begitu lapar. Aku menghabiskan makananku dengan cepat. Lima belas menit kemudian, Nick berjalan mendekatiku dengan tiga botol obat kecil yang diambilnya pada lemari penyimpanan yang menggantung di dapur. Nick menuang air mineral ke dalam gelas kosong kemudian mendorongnya padaku. Ia mengeluarkan dua butir pil dari botol plastik kecil yang bertulisakan asenapine dan ziprasidone kemudian menyerahkannya padaku. “Minum obatmu!” pinta Nick dan aku melakukannya dengan cepat. Aku menelan dengan susah payah ketika Nick berjalan ke arah sofa. Bersandar dengan nyaman di atas sana, Nick mulai mengganti saluran televisi sembari menikmati soda. Pilihannya selalu jatuh pada saluran berita. Aku masih berdiri di tempatku, tegang dan khawatir jika dia menemukan botol alkohol yang kusembunyikan di dekat sana. Tapi Nick telah menyandarkan kepalanya dengan santai dan menikmati siaran seperti biasanya. “Bagaimana sesi terapinya?” Kepalaku pening, aku merasakan sensasi de javu saat mendengar pertanyaannya. Aku rasa ia telah mengajukan pertanyaan yang sama berkali-kali. “Lancar. Aku merasa semakin baik,” aku berbohong lagi. Aku selalu berbohong padanya. Tampaknya dia tidak begitu peduli. “Jadi kau masih berkeliaran di stasiun itu?” “Aku senang melakukannya. Aku merasa lebih baik saat melakukannya.” Nick menggindikkan bahu dengan tidak acuh. “Well, itu aneh Sara. Tidak ada orang yang begitu menikmati perjalanan mereka dengan kereta. Bagaimapun, aku senang jika itu membuatmu merasa lebih baik. Apa kau membutuhkan sesuatu? Maksudku, selain kamera dan buku-buku catatan itu?” Aku tergoda untuk mengatakan padanya kalau aku membutuhkan lebih banyak uang di rekeningku untuk membeli alkohol, tapi tidak kulakukan. “Tidak. Itu sudah cukup.” “Aku ingin mengatakan kalau aku ada tugas dinas selama dua hari. Aku tidak bisa mengunjungimu hingga tugas itu selesai. Apa kau bisa menjaga dirimu? Aku ingin kau tetap meminum obatmu. Aku tidak ingin kau melakukan hal-hal aneh di luar sana, dan tolong angkat telepon ketika aku menghubungimu. Apa aku bisa memercayaimu?” Aku tertegun selama beberapa saat, hingga ketika ia memutar wajahnya dan menegurku, aku segera mengiyakan. “Bagus.” Nick mengangkat kaleng sodanya ke bibir. “Tidak ada alkohol. Camkan itu!” Aku pergi ke kamarku sebelum Nick sempat menyadarinya. Ada beberapa hal yang perlu kulakukan, dan menyelesaikan lukisan menjadi prioritas utamaku saat ini. Suara berisik televisi terdengar dari ruanganku. Terkadang, itu terasa sangat mengganggu. Nick masih berbaring di sofa dengan nyaman ketika aku melongokkan wajah dari arah kamar. Anggur pinot-ku masih tersembunyi dengan aman di bawah meja. Sekilas, aku berharap Nick segera pergi dari sana sehingga aku bisa kembali pada anggurku – kembali pada Tom. Setelah berjam-jam berkutat di atas meja kerja, akhirnya aku menyelesaikan lukisan itu. Aku memejamkan mata sembari membayangkan wajah Bob dan Marie. Aku masih mengingat bagaimana mereka saling bertukar pandang. Sensasi panas menggelitik perutku. Aku berjalan mendekati papan merah dan menambatkan lukisanku di sana: tepat di samping foto Bob yang ditangkap oleh kameraku pada 11 Oktober. Kemudian, aku kembali pada buku-buku catatanku dan memulai kisahnya. Aku menulis setiap kejadian yang kualami hari ini: bahkan, aku tidak melupakan pria berjas hitam yang menatapku di kereta atau seorang pria asing yang berusaha membantuku di jalanan. Aku mengingat-ingat jalur yang kulalui di jembatan Brooklyn, mengingat wajah yang kutatap dan menatapku, mengingat semuanya. Aku tahu ketika aku terbangun keesokan harinya aku akan melupakan mereka. Mereka mengenaliku, tentu saja, dan hanya dengan cara ini aku mengenali mereka. Aku sedang duduk di sudut kamar dengan kedua lengan yang memeluk lutut ketika aku mendengar suara gemerisik langkah kaki Nick di luar. Alarm yang menyala di ruanganku menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Nick sedang mengenakan mantelnya ketika aku berjalan keluar. Ia membenahi posisi jam tangannya tanpa menatapku. "Aku harap kau mengingat kata-kataku," ujar Nick saat meraih kunci mobil yang ditinggalkannya di atas meja. Tatapanku kini tertuju pada pin kecil yang menyatu di seragamnya. Disana tertuliskan nama Nicholas Adams dengan huruf kapital. Sebelum aku sempat menahan diri, tatapanku lebih dulu turun ke pinggangnya, tepat dimana ia meletakkan sarung yang membungkus senjata api. Perkerjaan Nick terkadang membuatku merasa takut, tapi aku berusaha meredamnya. "Pastikan ponselmu aktif. Aku tidak ingin kau melakukan hal-hal bodoh itu lagi, Sara.." Hal-hal bodoh - lagi: seolah aku telah melakukanya berkali-kali, dan aku tahu dia mungkin benar. Aku tidak sadar apa yang kulakukan, aku tidak bisa mengingatnya. Nick mengingatnya. "Aku minta maaf.." anehnya aku merasa bahwa aku perlu mengatakan hal itu padanya hingga Nick mengangkat satu tangannya dan menghentikanku. "Berhenti meminta maaf, oke? Ayolah.. kau pasti bisa sembuh. Ingat yang dikatakan ibu? Semuanya akan baik-baik saja. Kau hanya perlu menjalani terapinya secara rutin dan jangan lupakan obatmu. Kau dengar aku?" Aku mengangguk. Nick sudah berjalan ke arah pintu dan bersiap memutar kenop. Ia menatapku sejenak kemudian, tanpa berkata-kata lagi, Nick menghilang di balik pintu. Aku berjalan cepat untuk mengunci pintu, aku mengembuskan nafas lega. Sekarang aku mendapat waktu untuk menikmati anggur-ku. Aku langsung menyambar botol itu dan meneguknya dengan cepat. Aku menghabisinya sembari bersandar di dinding. Aku melamun, merasa limbung dan kebingungan. Mataku sayup, aku rasa aku bisa tidur di lantai. Itu tidak masalah, lagipula Nate tidak akan menggedor pintuku malam ini hanya untuk memastikan aku tidak mabuk dan Nick tidak akan kembali ke sana hingga dua hari mendatang. Itu sebuah pertanda baik. Sambil memikirkan Tom, aku mulai tertidur. Rasanya obatku bereaksi terlalu cepat. Aku bisa merasakan efeknya mengocok seisi perutku. Dan sebelum aku menyadarinya aku benar-benar tertidur di lantai.  -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD