Bab 22

788 Words
Lexington, Manhattan, New York City Jumat, 24 November 2017    -- Sara.. Sara, bangun! Sara.. kumohon bangunlah! Kau mendengarku? Sara? Suara itu terdengar berat dan jauh. Segalanya terlihat seperti sebuah titik cahaya kecil. Aku masuk ke dalamnya, jauh dan semakin jauh. Cahaya itu kian membesar, sinarnya menyilaukan mata. Aku melangkah lebih jauh, aku mencari-cari dimana sumber suara itu berasal. Aku tidak punya tujuan, aku hanya mencoba mengikuti suara itu - suara Tom. Aku ketakutan, nyaliku ciut, dunia memudar di sekitarku. Aku tidak bisa melihat apapun selain setitik cahaya putih di kejauhan. Tubuhku bergetar, nafasku memburu. Aku berlari menghampiri cahaya itu, aku ingin keluar dari tempat itu. Namun, rasanya aku sudah berlari sejauh seratus meter, cahaya itu masih berada jauh di sana. Aku tidak akan bisa menjangkaunya - aku nyaris putus asa. Kemudian, suara itu muncul, suara yang lebih lembut dan terdengar feminin. Entah bagaimana, aku merasa kalau aku telah mendengar suara yang sama. Aku tidak bisa mengingatnya. Siapa di sana? Tom? Nicole? Nate? Nick? Siapa yang memanggilku. Tom? Sara, ini aku. Aku merasa lega setelah mendengar suara Tom. Dia mencoba berbicara denganku dari tempat yang sangat jauh. Tom.. aku sangat ketakutan. Tempat apa ini? Jangan khawatir, kau bisa keluar dari sini. Ikuti suaraku, Sara! Kau mendengarku? Aku tidak tahu dimana jalah keluarnya! Aku mulai berteriak histeris. Suaraku menggema, aku seperti orang gila yang kebingungan. Tom, bantu aku! Dimana kau?! Tenangkan dirimu! Dengarkan aku! Kau harus mengikuti suaraku.. ikuti suaraku..    -- Ikuti suaraku.. Aku terbangun dan semuanya terlihat berbayang. Mataku mengerjap beberapa kali, sebuah titik pucat yang menggantung di langit menggangguku. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat kemudian membukanya lagi. Aku melakukannya berkali-kali hingga cahaya lampu di langit-langit terlihat semakin jelas. Kepalaku berdenyut-denyut tak keruan. Pandanganku menyapu ke sekitar. Aroma obat-obatan tercium tajam. Ketika aku menggerakan tanganku, aku bisa merasakan  permukaan halus kasur di bawah tubuhku. Sebuah alat infus menusuk punggung tanganku sedang tabungnya menggantung di atas tiang besi. Dinding dan pintunya bercat putih, jendela gelap itu ditutup oleh tirai berwarna putih dan ada sebuah sofa tunggu di sudut ruangan. Aku bisa melihat seserang duduk di sana - seorang wanita berambut pirang. Siapa dia? Dia berjalan mendekatiku, dia tersenyum padaku dan sesaat aku merasa kelegaan membanjiriku. Wanita ini asing, tapi aku merasa akrab. “Kau sadar,” katanya. “Jika kau merasa sakit, aku akan memanggil dokter.” Si wanita cantik. Tubuh rampingnya terbalut oleh kemeja berwarna biru pucat yang tampak kusut. Rambut pirangnya tergerai memanjang di belakang bahu. Wajahnya tampak kelelahan. Apa yang dilakukannya di sini? Apa yang kulakukan disini? Bagaimana aku bisa berakhir di tempat ini? Rumah sakit? “Maaf,” aku memaksakan bibirku untuk bicara. “Siapa kau?” Wanita itu memandangiku sesaat. Dia tidak terkejut seolah dia telah menebak hal ini akan terjadi. Ia kemudian meletakkan tangannya yang hangat di atas lenganku. Aku bisa merasakan cengkramannya yang kuat dan bersahabat, aku segera tahu dia tidak berniat buruk. “Aku Kate.” Kate. Rasanya aku pernah mendengar nama itu. Dimana? Kapan? Bagaimana dia bisa mengenalku? Mengapa dia ada di sini? Pintu di geser terbuka. Aku melihatnya bergerak masuk ke dalam ruangan. Tubuhnya yang tinggi dan besar tampak mendominasi. Kate berbalik, mereka bertukar pandang hingga Nick mengangguk. Nick hanya menatapku sekilas, Kate kemudian mengikutinya dan mereka berjalan keluar dari pintu yang sama. Melalui kaca jendela, aku melihat Nick berbicara dengan wanita asing itu. Kate mengangguk beberapa kali, ia terlihat seolah sedang berusaha menjelaskan sesuatu - aku harap aku bisa mendengarnya. Percapakan mereka berakhir lima menit kemudian. Setelah itu, kemunculan Nick di ambang pintu tidak mengejutkanku. Si wanita - Kate, telah pergi. Aku merasakan kekecewaan yang muncul begitu saja. “Dimana dia?” Nick mengangkat wajahnya ketika mendengar pertanyaan itu. Ia tidak segera menjawab pertanyaannku. Nick bergerak mendekatiku kemudian bicara, “dia harus beristirahat. Dia menemanimu sepanjang malam ini dan aku memintanya untuk pulang. Dia bilang, dia akan mengunjungimu nanti.” "Namanya Kate?" Nick menatapku. "Ya. Dan kalian bertemu di jembatan Brooklyn tiga hari yang lalu. Tampaknya dia mengenalmu dengan baik." Aku mengangguk, meskipun aku tidak bisa mengingat apapun. Sekujur tubuhku terasa sakit, kepalaku terasa berdenyut-denyut. Aku tidak ingin memikirkan apapun saat ini. Kemarin malam aku hendak menyebrangi jalan, kemudian mobil nyaris menabrakku, untunglah aku segera menghindar, tapi bagian samping mobil itu menyerempetku hingga aku jatuh berguling di trotoar jalan. Ada luka yang membekas di sepanjang kakiku, kepalaku terbentur tiang besi, selebihnya tidak ada masalah serius. Aku pingsan selama hampir semalaman. Kate menemukanku di jalanan, dia langsung menghubungi ambulans yang membawaku ke unit gawat darurat. Dokter menyuntikkan obat bius ketubuhku dan aku bisa merasakan efeknya sekarang. Aku hanya ingin berbaring tidur dan memikirkan segalanya. Nick bertanya apa aku mabuk semalam - aku tidak tahu. Aku kebingungan. Dia akhirnya menyerah dan membiarkanku tidur.   -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD