Bab 23

2672 Words
Lexington, Manhattan, New York City Senin, 27 November 2017    -- Itu sudah dua hari berlalu sejak aku terbangun di rumah sakit dan menjalani proses rawat inap. Aku merasa semakin jenuh ketika hanya duduk di atas kasur dan menatap ke jendela dimana hanya ada pemandangan yang sama selama dua hari terakhir. Aku membuka buku catatan dan kameraku, yang kulakukan hanya membolak-balik catatan itu, membacanya kemudian melihat foto-foto terakhir yang ditangkap kameraku. Wajah Kate hadir dalam beberapa foto terakhir. Aku segera merasa akrab dengannya. Kate datang setiap pagi untuk menjengukku. Aku berbicara dengannya, dia menceritakan bagaimana hubungan kami berlangsung dan anehnya, aku memercayainya dengan mudah. Kami menjadi sering bertemu dua hari itu. Aku bertanya banyak hal pada Kate tentang bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Apa yang kulakukan. Kate tidak mengetahui banyak hal, kami hanya bertemu pada sore di hari Jumat kemudian kami berpisah. Kate mengatakan dia melihatku berdiri di depan rumahnya, aku tampak kebingungan dan aku berlari menghindarinya. Aku lupa. Aku tidak bisa mengingat siapa yang kulihat, apa yang terjadi, apa yang membuatku takut. Semua terjadi begitu cepat. Malamnya, Nick datang dan berjaga selama beberapa jam. Nate datang di hati berikutnya. Wanita itu yang menemaniku sepanjang siang. Cole, kekasihnya tampak tidak suka. Ia menunggu Nate di luar kemudian berpamitan tiga puluh menit setelah kedatangannya. Aku merasa terkurung di sana, aku tidak punya pilihan selain tidur, minum obat, makan apa yang disediakan untukku kemudian tidur lagi. Aku merasa bosan, aku merindukan suasana di stasiun, aku ingin berjalan di jembatan Brooklyn dan aku ingin mengunjungi beberapa tempat yang belum kutunjukan pada Kate. Kate tidak datang setiap waktu, terkadang ketika aku benar-benar kesepian, aku memikirkan tentangnya. Aku memikirkan betapa sempurnanya wanita itu. Kemudian aku tertidur dan membawa pemikiran itu bersamaku. Keesokan paginya, aku melihat Nick tertidur di sofa tunggu. Dia tidak melepas seragamnya dan wajahnya tampak kelelahan. Terkadang aku merasa sangat bersalah, aku terbangun di pagi hari dan merasa semakin buruk setiap harinya. Tidak ada hal yang dapat kulakukan untuk membantu. Aku menarik nafas sembari memejamkan mataku. Kujilati bibirku yang kering - aku harap aku mendapat anggur hari ini. Keesokan harinya, aku terbangun dan mendapat kabar baik dari dokter bahwa aku sudah diperbolehkan pulang. Lebih dari siapapun, Nick orang yang paling senang saat mendengar kabar itu. Sorenya, Nick mengantarku kembali ke penginapanku. Nate sudah hadir di sana dengan makan malam yang telah ia siapkan untuk kami. Nick tinggal sebentar untuk menikmati makan malam itu, sekitar pukul tujuh Nick kembali pergi untuk bertugas. Ia meninggalkan sejumlah uang dan obat-obatan di atas meja. Aku menyimpannya, aku pikir aku bisa mendapatkan anggurku malam ini.  -- Itu adalah hari ke dua puluh di bulan November. Udara malam hari menipis dan menyisakan panas yang membuatku tidak nyaman. Aku bergerak keluar menyusuri jalanan Lexington dan bergerak menuju stasiun. Aku duduk dan menatap kereta yang berjalan melambat di atas rel. Kereta itu berhenti di depanku, pintu-pintunya yang kosong terbuka, aku menghitung setidaknya tujuh penumpang turun di stasiun ini. Aku melangkah masuk dan memilih tempatku di kursi terdepan. Aku menatap ke jendela. Langit malam menggantung di atas sana. Saat itu pukul delapan, aku rasa aku tidak bisa menunggu hingga pagi. Keretaku tiba di city hall dua puluh menit kemudian. Aku turun bersama belasan penumpang lainnya. Langkah kakiku membawaku menuju pintu keluar. Lukanya masih terasa sakit, tapi aku tidak menghentikan langkahku. Aku tidak punya tujuan khusus, aku hanya ingin duduk dan menatap jalanan Brooklyn. Orang-orang berlalu lalang di depanku. Mereka menyebrangi jalanan ketika lampu pejalan kaki berganti menjadi hijau. Aku menyusuri bangunan-bangunan bertingkat, toko-toko yang menjual peralatan dan berhenti di depan toko minuman. Aku membeli anggur merlot di sana. Seorang petugas yang tampaknya mengenalku langsung menyapa. Aku berhenti sebentar untuk menatapnya. Ia wanita kurus bertubuh pendek. Rambut pirangnya digelung di belakang kepala dan dia mengenakan jeans juga kaus lengan pendek berwarna merah hari ini. Riasan wajahnya terlihat sedikit mencolok. Dia sedang membersihkan rak nomor tiga ketika kami bertemu. "Hari yang buruk, Sara?" Katanya. "Ini pertama kali aku melihatmu berkunjung di malam hari." "Umm.. aku hanya," aku mencari alasan yang tepat. Aku harap percakapan ini segera berakhir. Aku tidak nyaman berada di dekatnya lebih lama. Nafasnya berbau alkohol dan aroma nikotin yang tajam menguar dari tubuhnya. "Aku sedang mencari udara segar." Dia tertawa kemudian menepuk lenganku. "Udara segar? Baiklah, semoga kau mendapatkannya." Aku pergi dengan cepat, merasa enggan untuk menanggapinya. Aku membayar minumanku kemudian meninggalkan toko itu. Lima belas menit kemudian, aku duduk di bangku panjang dan menatap ke sebuah klinik dimana nama Dokter Katherine Bernice ahli psikologi, terpajang di atas papan putih itu. Aku menunggu.. tidak yakin tentang apa yang sedang kutunggu, kemudian seorang wanita keluar dari balik pintu. Dia mengenakan mantel berwarna hitam dan terusan jins berwarna biru langit. Sebuah syal merah melingkari lehernya dan kepalanya tertutup oleh rompi berwarna hitam. Aku menatapnya hingga dia berbalik menatapku. Langkahnya langsung terhenti. Dia melambai ke arahku, tersenyum, kemudian berjalan mendekat. Kurasakan tanganku bergetar. Aku hanya memandangi wajahnya di foto yang kugenggam. Aku mendapati wajah wanita ini memenuhi papan merah di kamarku. Namanya Dokter Katherine Bernice, dia seorang psikiater muda yang cantik dan kami telah berteman sangat akrab. Aku mendengar suaranya dari alat perekam yang dia berikan untukku. Kami mengunjungi perpustakaan, air mancur di pusat kota, duduk di taman dan mengobrol banyak di dekat danau. Aku menceritakan segala hal - kecuali Tom dan Nicole, tentu saja. Dia mengetahui segalanya. Benarkah kami berteman seakrab itu? Tidak ada yang kuingat, aku hanya memercayai catatanku. "Sara, ini aku Katherine. Aku Kate," dia mengingatkanku - lagi. Aku rasa aku telah mendengar kalimat yang sama keluar di bibirnya berkali-kali. Kate membawaku bergerak ke sudut jalan, dimana kami meninggalkan kebisingan lalu lintas di belakang kami. Kurasakan tatapannya menatapku, kemudian turun ke dalam tas hitamku yang terbuka. Dia melihat dua botol alkohol yang kusembunyikan di sana. Aku pikir dia akan pergi, tapi dia mengejutkanku karena wanita bernama Kate ini berkata, "aku akan mengantarmu pulang." Kate benar-benar mengantarku pulang malam itu. Kami menaiki kereta sekitar pukul sembilan dan tiba di Lexington dua puluh menit kemudian. Ia berbicara banyak di sepanjang jalan, dia mengatakan tentang terapi penyembuhan yang akan kami lakukan bersama-sama. Semua yang dikatakannya - tidak ada kebohongan, segalanya tertulis dalam buku catatanku: pongobatan itu, tempat yang kami kunjungi dan rencananya soal terapiku. Kate adalah temanku dan aku tidak meragukannya sedikitpun. Aku bertanya-tanya apa dia mengetahui kecenderunganku terhadap alkohol? Apa dia akan menjauhiku setelah mengetahuinya? Jika tidak, aku ingin memberitahunya sekarang. Aku ingin menceritakan padanya tentang Tom, tentang Nicole. Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, aku hanya merasa dia orang yang tepat. --  Kami tiba di tempat penginapanku sekitar pukul sepuluh. Kate dan aku berjalan menyusuri lorong di lantai tiga dan berhenti di kamar nomor enam belas. Ketika aku membuka pintu, tatapannya langsung menyapu ke bagian dalam kamarku. Kate menutup pintu di belakang kami kemudian melangkah maju ke tengah ruangan itu. Ia berjalan menyusuri lemari-lemari kayu, perapian, televisi kecil di tengah ruangan dan dapur. Aku memerhatikannya hingga dia berbalik dan mendapati botol-botol obatku masih tergeletak di atas meja. Kate membaca resep obat itu dengan cepat sebelum kembali padaku dan bertanya, “apa yang biasa kau lakukan di sini?” Sembari berjalan mendekatinya, aku menautkan jari-jariku di depan tubuh dan menjawab, “menonton televisi, membaca berita harian online, melukis, terkadang aku membaca catatan-catatanku, aku membalas pesan yang masuk ke e-mail. Entahlah, aku rasa aku telah melakukan semua kegiatan itu.” Kate mengangguk-anggukan kepalanya. Ia terus berjalan dengan satu tangan menyusuri lemari kayu dan rak-rak buku. Ia meraih sebuah komik dari atas rak itu dan membacanya. “Aku tidak ingat kau pernah mengatakan kalau kau tertarik pada kartun?” “Tidak, itu milik Nick.” Kate menunjuk ke arah jejeran majalah dan tumpukan buku tebal di atas lemari itu. “Semua ini?” “Ya. Terkadang saat dia berkunjung tidak ada yang dilakukannya, jadi dia meninggalkan beberapa bukunya di sini. Disana ada buku milik ayah kami. Dia sangat menyukai buku dan dia membangun perpustaan kecil di rumah kami saat kami masih tinggal di Virginia.” “Apa dia juga menyukai Geologi, atau tata surya sepertimu?” Kate tahu. Aku terpukau. Aku tidak pernah mengatakan hal-hal seperti ‘ketertarikanku’ pada seseorang dan ia mengetahuinya. Hubungan pertemanan kami pasti cukup dekat. “Ya, dia menyukai Geologi. Aku belajar ilmu itu pertama kali darinya.” Kate tersenyum, perhatiannya kemudian beralih kembali pada tumpukan buku-buku di rak. Kate sedang mencari-cari di dalam tumpukan itu ketika aku mendekatinya dan bertanya, “Mengapa?” Pergerakannya terhenti. Dia berbalik menatapku. “Maaf?” “Mengapa kau tertarik? Maksudku, orang-orang menjauhiku. Mengapa kau di sini, Kate? Apa kau tidak merasa aneh?” “Tidak.” “Aku tahu kau seorang pskiater.. kau..” “Aku tidak bicara dengan pasienku saat ini dan aku bukan Dokter Katherine seperti yang selalu disebut pasienku. Aku Kate, temanmu. Kau tahu, Sara? Kita telah berbicara banyak hal.  Kau menceritakan padaku tentang Nick, tentang teman di tempat penginapanmu, semua hal yang kau sukai, masa kecilmu dan keluargamu. Mungkin kita memerlukan pendekatan khusus sehingga kau tidak akan melupakanku ketika kau terbangun esok hari." Aku masih berdiri di tempatku ketika Kate berjalan menyusuri lantai kayu dan bergerak hingga ke depan pintu kamarku. Kate melongokkan wajah ke dalam dan dia berbalik ke arahku. Satu tangannya menujuk ke dalam. “Keberatan jika aku masuk?” Aku tidak menjawab, yang kulakukan hanyalah mengikuti Kate bergerak masuk ke dalam ruangan sempit itu. Bau alkohol yang tercium tajam dari ruangan itu membuatku terganggu. Seprai di atas kasur tampak kusut, dan aku meletakkan sebuah jaket hitam secara sembarang. Cahaya keemasan dari lampu tidur menerangi karpet merah di atas lantai. Sejumlah pakaian bertumpuk tidak beraturan di dalam lemari. Tumpukan kertas-kertas sampah dan sisa botol anggur masih tergetak di atas meja. Aku bergerak untuk menyingkirkannya, namun sebelum aku mencapai bak sampah, Kate lebih dulu menghentikanku. Ia meraih potongan surat kabar yang kusut itu dan membacanya. Kemudian, Kate berjalan menyusuri komputerku yang masih menyala dan berhenti tepat di depan papan merah itu. Dapat kusaksikan wajahnya yang memerah saat melihat sejumlah fotonya yang nyaris memenuhi sebagain tempat di papan itu. Jari-jarinya yang ramping menyusuri setiap lekuk wajah dalam foto yang kupajang hingga perhatiaanya tertuju pada lukisan wanita di apartemen lantai sebelas. Aku berjalan mendekatinya, dia tidak menatapku, tapi aku mendengarnya bertanya, “Apa ini?” Aku tertegun. Kutatap wajah wanita dalam lukisan itu. Aku bisa membayangkannya berdiri di di belakang pintu kamar nomor sebelas. Aku menatapnya dari balik jendela kamarku – dia berbalik menatapku. Kemudian seorang pria muncul di belakangnya. Si pria merangkul si wanita, si wanita berbalik dan memeluk kekasihnya, kemudian mereka menghilang di balik pintu. Seisi kepalaku berputar pada potongan ingatan itu. Aku melihat wajah Kate berdiri di belakang pintu apartemen, aku melihat Kate sebagai wanita itu dan aku melukis wajahnya. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, aku tidak tahu apa aku sedang berhalusinasi saat melihatnya, karena itu adalah apa yang ingin kuwujudkan. Aku melihat Kate dan pria itu sebagai pasangan yang sempurna – aku mewujudkan mereka sebagai diriku dan Tom. “Sara!” dia menyadarkanku. Satu tangannya mencengkram lenganku. Kedua matanya menatapku dengan gelisah. Aku pikir itu kali pertama aku melihatnya bereaksi seperti sekarang. Aku bertanya-tanya, apa Kate marah? Aku ingin tahu apa yang ia pikirkan tentang lukisan itu. “Aku tidak tahu,” jawabku. “Kejadiannya begitu cepat. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu. Aku rasa aku mabuk.” Kate memiringkan wajahnya. Kedua alisnya bertaut dan aku bisa melihat perubahan emosi di wajahnya. “Bisakah kita duduk dan berbicara sebentar?”    -- Kami duduk di atas sofa sepanjang malam itu. Kate mendengarkan semua potongan ingatan di kepalaku. Dia tidak menanggapinya dengan cepat, dia menunggu hingga aku menuntaskan penjelasan itu. Kate tidak banyak berpendapat, bahkan dia membiarkan aku merekam semua percakapan kami malam itu. Aku tidak ingin melupakan malam ini dan yang terpenting aku ingin Kate tahu semuanya – tentang Tom, tentang Nicole. “Malam itu kami pergi ke pesta,” kataku. Api yang berdesis di perapian mulai padam hingga menyisakan seoonggok abu. Bekas menghitam di dinding perpian terlihat jelas. Tatapanku tertuju pada sisa kayu bakar di sana, Kate berada tepat di sampingku, seluruh perhatiannya tertuju padaku. “Aku, sahabatku – Nicole, dan kekasihnya, Tom. Kami memenuhi undangan seorang teman sekolah. Nicole begitu menikmati pestanya, dia adalah sosialita yang baik. Dia sangat cantik dan.. dia menyukai segala hal yang berkaitan dengan acara sosial. Aku dan Tom sebaliknya. Kami, tidak begitu nyaman berada di sana. Jadi, selagi Nicole menjadi sorotan tamu yang hadir, kami mengendap-endap pergi meninggalkan pesta itu. Itu hanya berlangsung satu jam ketika aku dan Tom berjalan tanpa alas kaki di atas rumput, memandangi air yang jatuh di kolam besar dan hanya duduk di sana dalam ketenangan. Tom mengungkapkan perasaannya padaku. Dia mengatakan hubungannya dengan Nicole tidak akan berhasil dan dia ingin mencobanya denganku..” Tatapanku bergerak turun ke atas jari-jariku. Aku begitu hanyut dengan cerita itu hingga tanpa sadar aku memijat jari-jari itu hingga memerah. “Usiaku masih sangat muda saat itu. Aku menyukainya dan aku tidak berpikir panjang untuk menerima apa yang dia tawarkan. Aku pikir hidupku akan lebih menarik dengan itu. Aku berpacaran dengan Tom selang beberapa hari setelah pria itu mengakhiri hubungannya dengan sahabatku. Kemudian Nicole mengetahuinya. Dia marah besar padaku dan dia memutuskan hubungan persahabatan kami. Dia tidak ingin berbicara lagi denganku. Aku berusaha menghubunginya, bahkan aku mengirim sejumlah pesan ke e-mailnya. Semua tentang permintaan maafku. Tapi seperti yang sudah kuduga, Nicole tidak membalasnya. Dia menolak untuk bertemu denganku. Untunglah aku memiliki Tom. Dia selalu berusaha menghiburku, dia bilang: tidak masalah jika Nicole membenciku. Wanita itu membenci banyak hal dan itu bukan masalah besar untuk kami. Jadi, kupikir aku bisa melewatinya hingga aku benar-benar terbiasa. Hubunganku dengan Tom berjalan semakin baik. Dia menyukaiku dan aku sangat mencintainya. Segalanya baik-baik saja hingga aku kehilangan orangtuaku dan semuanya menjadi kacau. Aku.. aku tidak bisa mengendalikan emosiku dan aku kacau. Aku mabuk dan segalanya menjadi semakin buruk sejak kecelakaan itu. Benturan di kepalaku membuat aku melupakan segalanya. Aku tidak bisa mengingatnya.. aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi padaku di hari sebelumnya dan aku marah.. aku merasa buruk. Setiap harinya, setiap detik, aku tidak pernah berhenti menyesali hal ini..” Kedua mataku terasa menyengat. Air mata jatuh membasahi wajahku dan aku menarik nafas panjang, berusaha untuk melanjutkannya dengan tenang. “Tom meninggalkanku. Dia tidak pernah menghubungiku sejak kejadian itu. Beberapa saat setelah kami berpisah, aku mendapat balasan surel yang masuk ke e-mailku. Itu Tom. Dia meminta maaf. Dia tidak bermaksud meninggalkan aku dan dia berjanji untuk memperbaiki kesalahannya. Dia menjadi sering menghubungiku dan itu berlangsung hingga sekarang. Aku merasa tenang ketika mendengar suaranya, aku pikir aku tidak akan menjadi lebih buruk lagi.” Kate menatapku. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur. Aku ingin tahu apa yang dipikirkannya – aku selalu penasaran. “Apa kalian.. pernah mengadakan pertemuan secara langsung setelah kejadian itu?” Aku menggeleng. “Tidak. Aku pikir seperti ini sudah cukup baik.” “Aku mengerti Sara, kau tidak ingin hal yang sama terulang lagi.” Kate benar. Dia selalu benar. Dia memahami segalanya dengan baik. Aku tidak ingin bertemu dengan Tom untuk berteriak di depan wajahnya seperti yang kulakukan sebelum Tom meninggalkanku. Aku tidak ingin Tom melihat kondisiku yang sekarang. Aku tidak ingin Tom tahu betapa buruknya aku dan betapa cantiknya wajah Nicole dalam surat kabar itu. Aku terlalu takut, aku tidak ingin kehilangannya untuk kali kedua. “Ya,” aku mengakui. “Aku tidak ingin dia melihatku seperti sekarang.” Aku merasakan kedua bahuku berguncang. Tangan Kate yang hangat menggenggamku, dia menekannya dengan kuat hingga aku merasa sedikit lebih tenang. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, aku merasa tidak lagi sendirian. Kate ada bersamaku. “Tidak apa-apa, Sara. Semua orang merasakan hal yang sama,” katanya. Dia menunduk dan berbisik di telingaku. Kedua mataku basah dan memerah, aku memejamkan rapat-rapat, berusaha merendam tangisanku. Aku mengigit bibiku hingga rasa sakitnya mengalihkanku dari ingatan tentang Tom dan masa-masa ketika kami masih bersama-sama. Aku mengubur ingatan itu dalam-dalam, aku tidak akan membukanya – untuk kali kedua. Cukup Kate. “Lepaskan saja!” bisik Kate saat dia melingkari lengannya dan memelukku erat.  -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD