Feelings 9

1217 Words
#Danendra Nggak bisa apa, sekali aja itu urusan cewek nggak gangguin hidup gue. Heran deh, punya sahabat kok, ya, nyusahin orang lain banget hobinya. Bayangin aja, lagi asyik-asyiknya gue nongkrongin kelas yang dijadikan ruangan untuk aktivitas keputrian hari Jumat seperti ini, Nyokap tiba-tiba telepon gue terus ngamuk-ngamuk nggak jelas minta gue buat buru-buru nyariin Aira. Gila banget astaga. Gue aja nggak tahu itu cewek perginya ke mana. “Ya, mana Daka tau, Ma. Tadi aja Ai ngilang dari sekolah. Dia hari ini bolos keputrian,” keluh gue, pokoknya bersikeras kalau gue nggak tahu apa-apa soal Aira. “Ini makanya Mama telepon mau kasih Daka kalau Ai tadi naik bus di halte depan yayasan. Kayaknya itu anak asal naik bus, loh, Ka. Tau sendiri Ai nggak pernah ke mana-mana sendiri. Dia ke mana-mana selain sama orang tuanya, ya, sama Daka.” “Ai itu udah gede, Ma. Dia juga cerdas. Masa naik bus aja nyasar.” “Cerdasnya, sih, cerdas. Tapi Daka nggak lupa kalau Ai punya tingkat anxiety yang cukup tinggi? Dia bisa ketakutan di tengah keramain, Ka. Tinggal dulu kesibukan Daka trus cari Ai sekarang juga.” Dan gue segera bangkit dari bangku setelah mendengar titah Nyokap. Dengan langkah malas campur marah campur kesal dan campur aduk lainnya gue menuju parkiran. Sambil berusaha terus menghubungi ponsel Aira. Namun percuma karena ponselnya sedang berada di luar jangkauan. Baterai ponselnya drop, karena ponsel yang dia pakai sekarang ini memang belum pernah ganti sejak kelas delapan. “Danendra?” Sebuah suara membuat gue seketika itu menghentikan langkah. Syahila berjalan cepat menuju ke arah gue sedang menghentikan langkah. “Iya, Kak?” jawab gue sejenak setelah Syahila berada di hadapan gue. “Keputriannya udah kelar, kamu mau pergi ke mana?” “Oh, itu…Eummhhh…” Gue nggak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. Sialan, gue tiba-tiba tremor. “Teman kamu yang anak kelas sepuluh A itu, kan, nggak datang keputrian." “Iya, Kak. Lagi nggak enak perut katanya.” “Terus kamu nungguin siapa dari tadi?” Gue bingung mesti menjawab apa. Akhirnya gue jujur aja daripada bohong tapi nanti ketahuan. Malunya double. “Nunggu Kak Syahila.” “Nunggu saya?” “Iya.” Gue berani sumpah, Syahila barusan senyum meski tipis banget. “Ada kepentingan apa?” “Mau tanya tugas Aljabar yang waktu itu.” “Tanya Mr. Broto aja.” “Malah tambah nggak ngerti. Saya boleh minta nomer handphone Kak Syahila nggak?” “Buat apa?” “Ya tanya soal Aljabar.” “Lewat email aja. Alamat email saya ada di beranda portal OSIS,” jawab Syahila. "Cari saja nama Syahila Vania Dzikri," sambungnya lalu pergi dari hadapan gue. Gue nggak ada waktu untuk mengurusi Syahila. Akhirnya gue memutuskan untuk mempercepat langkah menuju tempat parkir. Saat gue mengeluarkan mobil dari tempat parkir ponsel gue bergetar sekali. Sebuah pesan dari Ganesha. Hanya berisi nomor polisi, serta jurusan bus kota yang ditumpangi Aira. Ai, astagaaa. Awas aja lo entar kalau ketemu. Gue geprek beneran lo, k*****t!!! Hobi kok bikin repot sih. Melalui informasi dari Ganesha gue mencari tahu lewat internet rute bus yang dinaiki oleh Aira saat ini. Ditambah juga tanya-tanya sama orang sekitar. Gue lalu memutuskan untuk mencari bus yang membawa Aira saat ini langsung ke terminal. *** #Almeira Aku ingin nangis rasanya saat bus yang sedang membawaku dari yayasan tiba-tiba mogok di daerah yang sama sekali belum pernah aku datangi. Sambil berusaha menahan tangis aku merogoh tas ranselku untuk mencari keberadaan ponselku. Ketemu, tapi dalam kondisi mati. Seperti biasanya, baterai ponsel pasti habis mendadak karena ponsel ini sudah mulai drop daya baterainya. Kernet bus yang suaranya mirip toa masjid itu meminta semua penumpang untuk segera turun dari bus. “Turun sini, ya, Dek! Nanti lo ikut bus berikutnya aja sampai terminal.” “Tapi, Om…” “Busnya mogok. Kagak bisa diapa-apain ini. Gua lagi nunggu derek.” Akhirnya aku memutuskan turun lalu menunggu di halte yang berada nggak jauh dari posisi bus mogok. Aku lihat orang-orang sudah mulai naik ke beberapa bus yang lalu lalang di depan halte. Sementara aku masih nggak tahu mesti berbuat apa di tengah kondisi kepanikanku. Sebuah mobil asing berhenti di depan halte. Membuat aku mulai ketakutan dan menundukkan kepala dalam-dalam. Detik berikutnya sepasang kaki berdiri nggak jauh dari hadapanku. “Almeira?” Suara bariton itu membuatku seketika mengangkat kepala. Aku hapal suara itu. “Kak Titan?” sambutku. “Kamu ngapain di sini?” tanya Kak Titan. “Tadi aku naik bus. Trus busnya mogok,” jelasku dengan suara bergetar. “Rumah kamu jauh nggak, dari sini?” Aku lalu menyebutkan kawasan tempat tinggalku. Kak Titan mengangguk paham kemudian berkata, “Naik ke mobilku sekarang ya. Biar aku antar kamu sampai rumah.” “Aku nggak ngerepotin?” “Nggak, kok. Kebetulan aku tahu kawasan itu dan searah sama jalan ke rumahku.” Aku mengangguk malu-malu kemudian mengikuti langkah Kak Titan. Sepanjang perjalanan kami berdua hanya saling diam. Aku yang biasanya selalu bisa membangun suasana kalau kata Daka, sekarang mendadak mati gaya ketika berhadapan dengan tipe pendiam seperti Kak Titan. “Ini rumah kamu?” tanya Kak Titan ketika menghentikan mobilnya tepat di depan pagar rumahku. “Iya, Kak,” jawabku penuh haru. “Makasih banyak ya.” “Aku nggak mampir ya, karena masih ada urusan.” “Oh, iya. Nggak apa-apa,” jawabku kikuk. Nggak berani membayangkan kalau Kak Titan beneran mampir terus Ayah tahu kalau aku nerima tamu cowok selain Daka dan Ganesha. Bisa habis kena ceramah yang panjangnya ngalah-ngalahin khotbah sholat Ied. “Besok aku jemput kamu, ya. Boleh?” tanya Kak Titan saat aku hendak mendorong pintu mobil. “Boleh aja.” “Kamu on time atau biasa terlambat?” “Nggak on time-on time banget tapi juga nggak jarang aku terlambat.” Kak Titan tertawa mendengar jawabanku. Ganteng. Ucap batinku memuji Kak Titan. “Aku jemput kamu besok ya. Jam setengah tujuh pagi.” Aku mengangguk menyetujui ucapannya. “Aku keluar dulu ya, Kak. Sekali lagi makasih,” ujar sebelum benar-benar keluar dari mobil. “Habis ini kamu mandi, makan terus istirahat ya. Muka kamu pucat banget,” ujar Kak Titan dari dalam mobil. Padahal aku sudah keluar dari mobilnya. “Iya, Kak.” “Masuk sana. Aku pergi kalau kamu sudah masuk pagar rumah.” Aku pun menurut kemudian menekan bel. Nggak lama Mbak Ima berjalan dengan langkah tergopoh menuju pintu pagar. Wanita itu menyentuh seluruh tubuhku, memastikan kalau nggak ada yang kurang satupun di badanku. “Bentar, deh, Mbak!” ujarku kemudian berbalik badan untuk melambaikan tangan pada Kak Titan. Kak Titan balas melambaikan tangannya sebelum kemudian mulai melajukan kembali mobilnya meninggalkan rumahku. “Cah Ayu, dari mana aja? Dicariin orang banyak, loh!” “Ibu nyariin juga, nggak?” Mbak Ima mengangguk lesu. “Ayah sekarang perjalanan pulang ke Jakarta.” “Yaaa…Masa, sih, Mbak? Biasanya juga besok pagi.” Mbak Ima mengangguk. "Karena jabar Non Aira pergi sendirian udah sampai ke Ayah," jelas Mbak Ima. “Nanti kalau Ayah atau Ibu datang, Mbak Ima bilang kalau Ai pulang satu jam sebelum jam sekarang ya. Terus jangan bilang kalau yang ngantar pulang teman Ai yang tadi.” “Cah Ayu belajar bohong dari mana? Nanti kalau Ayah sampai tahu Cah Ayu bohong, bahaya, loh.” “Bodo amat. Biar dimarahin sekalian,” jawabku sambil melenggang santai memasuki rumah. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD