Feelings 8

1008 Words
#Ganesha Berjalan sambil membaca buku adalah kebiasaan buruk saya yang tidak bisa diubah. Mungkin bagi kebanyakan orang hal itu adalah kebiasaan buruk. Namun bagi saya itu adalah kenyamanan paling hakiki. Lagipula untuk apa mesti diubah? Selama ini saya tidak pernah mengalami kecelakaan apa pun pada langkah saya meski berjalan sambil membaca. Menurut saya seperti itu. Sambil berjalan menyusuri lorong saya mendengar suara derap langkah cepat seseorang yang begitu familiar di rungu saya. Sebuah senyum tipis terulas di wajah saat suara derap dilengkapi napas panjang pendek itu terdengar mulai mendekat. Dalam hitungan ketiga saya berbalik badan. "Hayo mau ngapain?" Saya menggertak Aira yang hendak melakukan sesuatu pada punggung saya dengan kedua tangannya. "Ganesha!!!" pekik Aira. "Kaget tauk!" ucapnya kesal dibarengi dengan wajah cemberutnya yang selalu lucu. "Harusnya saya yang kaget, ya?" tanya saya dengan ekspresi tanpa rasa bersalah karena telah menggagalkan rencananya. "Kesel!" jawab Aira lalu berbalik badan hendak meninggalkan saya. Buru-buru saya meraih tangannya untuk menghalangi niat Aira pergi detik itu juga. "Jangan ngambek!" pinta saya sembari menggenggam tangannya. "Lo orang paling ngeselin seantero jagad raya hari ini," ucapnya tanpa bisa diganggu gugat. "Ganti saya sekarang? Bukannya Daka, ya, biasanya?" "Enggak. Lo pemenangnya hari ini." "Kok gitu? Salah saya apa? Karena tidak berhasil kamu bikin kaget?" Aira mengangguk cepat. "Padahal gue udah usaha banget," keluhnya. "Ya, sudah. Coba diulang lagi. Nanti saya pura-pura kaget waktu kamu pukul punggung saya." "Nggak gitu konsepnya, Ganesha! Dahlah, makin nyebelin kamu." Dengan tangan mungilnya masih berada dalam genggaman saya, dia menyeret saya menuju taman yang ada di tengah-tengah yayasan. Sesampainya di sebuah bangku taman dia meminta saya duduk baru kemudian dia menyusul. "Daka mana? Kenapa tidak langsung kelihatan seperti biasanya?" tanya saya sambil memerhatikan kesibukan Aira mencari sesuatu dari dalam ranselnya. "Nggak tau. Gue tadi ke sini diantar temen," jawab Aira dengan mata berbinar saat mengeluarkan sebuah buku gambar ukuran kuarto dari dalam ranselnya. "Teman? Siapa? Sejak kapan kamu mau diantar jemput orang lain selain Daka dan kerabat terdekat?" "Selama ini bukan gue yang nggak mau, tapi Ayah yang nggak ngebolehin. Sekarang kan momennya udah beda. Peraturan itu berlaku saat gue masih SMP. Sekarang gue udah SMA, umur gue mau 17. So, udah waktunya Ayah renewal peraturannya," jelas Aira panjang lebar. Belum sempat saya menyanggah pendapatnya serta mencari tahu lebih banyak soal teman yang mengantarnya jauh-jauh ke yayasan, Aira sudah lebih dulu menyodorkan buku gambar anak TK itu ke hadapan saya. "Apa ini?" "Buku gambar. Sesuai janji lo kalau gue menang taruhan, lo mau gambar wajah gue. Berhubung nggak ada kanvas gue punyanya buku gambar, ya, pakai ini aja," ucapnya sambil menyeringai. Saya buru-buru menyentil keningnya. Dia mengaduh kesakitan sambil terus mengusap bekas perbuatan saya tadi. Saya tidak peduli soal itu. Aira memang terkadang suka bersikap seenaknya. Dia bisa bersikap seperti itu pada Daka. Namun kebiasaannya itu tidak berlaku di hadapan saya. "Kemampuan saya yang itu terlalu mahal untuk dituangkan pada buku gambar anak TK," jawab saya sambil menahan senyum lalu menyerahkan kembali buku gambar yang tadi diserahkan oleh Aira. "Hih! Jadi kalo gue pakek kanvas mahal lo bakalan mau ngelukis wajah gue, gitu?" Saya berdecak kesal mendengar pemaksaan Aira. "Minta yang lain saja. Jangan yang satu itu," jawab saya akhirnya. "Ya, kenapa? Kenapa lo nggak pernah mau?" "Karena saya tidak mau. Oke! Case close!" "Dasar pelit!!!" ujar Aira penuh kekesalan. Aira lalu beranjak dari bangku taman kemudian berlalu dengan menenteng tas ranselnya. Dia pasti sengaja meninggalkan buku gambar tadi di atas bangku taman. "Aira! Mau ke mana?" Saya masih berusaha menghentikan langkahnya. "Mau pulang!" jawab Aira ketus sambil terus berlalu dari hadapan saya. "Tunggu Daka atau yang bisa mengantar kamu pulang." "Bodo amat! Bukan urusan lo! Gue bisa naik apa aja asal bisa sampai rumah." "Masalahnya selama ini kamu tidak pernah bepergian dengan alat transportasi umum apa pun. Kalau sedang marahan sama Daka, minimal telpon Ibu kamu atau siapa saja yang bisa mengantar kamu." "Gue udah gede. Kalau nggak dicoba kapan bisanya? Mau sampai kapan gue bergantung sama Daka terus-terusan?" Aira menepis tangan saya. Kemudian dia benar-benar pergi dari hadapan saya. Mendapati sikapnya yang tidak biasa, saya berjalan cepat mengikuti langkah Aira. Saya bergegas keluar areal yayasan mencari keberadaan Aira. Siapa tahu saja dia masih berada di sekitar sini. Sepertinya saya terlambat. Karena begitu sampai gerbang utama saya melihat Aira sudah masuk ke dalam bus umum. Meski saya terus berseru berusaha memanggil namanya, tapi percuma karena bus terus melaju sekalipun saya telah berlari mengejar bus tersebut. Beruntung saya masih bisa sempat membaca nomor polisi serta jurusan bus tersebut. Sehingga saya bisa menyampaikan informasi soal bus tadi pada Tante Kiara. Saya mempercepat langkah menuju ruang pengurus untuk menyampaikan soal Aira pada Tante Kiara. "Baru saja Aira dari sini. Tapi sekarang sudah pergi lagi. Tadi dia ke sini diantar temannya yang saya tidak tahu siapa. Sekarang dia bilang mau pulang sendirian," jelas saya sebisanya. Saya akui saya memang punya masalah dalam hal komunikasi. Jadi sebisa mungkin saya selalu menggunakan bahasa baku dalam berkomunikasi dengan siapapun. "Sekarang di mana anak itu?" tanya Tante Kiara. "Sudah pergi." "Haduh, Daka mana, sih? Bisa-bisanya dia biarin Aira keluyuran sendiri." "Cepat telpon Daka. Saya khawatir kejadian seperti waktu itu terulang lagi." "Iya, Ganes. Ini Tante lagi coba telpon Daka." Masih segar dalam ingatan saya. Waktu itu Aira baru jadi murid SMA. Dengan angkuhnya dia menolak diantar pulang oleh Daka. Dia lebih memilih naik angkutan umum yang tahunya malah membawa gadis itu sampai ke kota Bogor. Kami bisa menemukan keberadaan Aira setelah membuat semua orang panik dan kebingungan mencari gadis itu. Beruntung ada salah seorang konsumen setia butik ibunya dan mengenali Aira sebagai anak perempuan seorang desainer pakaian muslimah Meidina Tanjung. Coba kalau tidak. Saya sendiri tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada Aira kalau sampai dia tidak bisa pulang dengan selamat waktu itu. Saya merutuki kecerobohan karena telah membiarkan Aira pergi tanpa pengawasan. Ditambah juga karena telah meninggalkan ponsel saya di rumah kreatif. Seandainya saya membawa ponsel, saya tidak perlu repot-repot kembali ke ruang pengurus. Jadi saya bisa memanfaatkan waktu untuk menghubungi Daka tanpa perlu merepotkan Tante Kiara, yang sudah pasti saat ini ikutan panik. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD