Feelings 4

1913 Words
#Danendra Gue baru ‘ngeh’ ternyata selain semaunya, Aira ini norak abis. Pas di parkiran tadi siang, gue kira dia sudah masuk mobil, taunya masih jongkok di samping mobil sambil sok-sokan benerin tali sepatu. Padahal dia nggak pernah bisa mengikat tali sepatunya sendiri. "Woyy, tuan putri, buruan masuk! Panas, elah!" seru gue lalu mendapat tatapan horor dari Aira. "Siang Kak Titan ..." gue dengar Aira menyapa seseorang yang melewati mobil gue. Gue ngakak setelah si cowok bernama Titan itu cuma senyum tipis disapa seperti itu oleh Aira. Sumpah ya, suara Aira yang dibuat sok manis itu bikin gue mules. Cowok yang disapa Titan tadi cuma senyum tipis kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Aira tanpa menyapanya. Gue cuma bisa menahan tawa melihat ekspresi nelangsa di wajah sahabat gue itu. Saat Aira berbalik badan dan melangkahkan kakinya, seperti biasa Aira akan kehilangan keseimbangan, kakinya nggak sengaja menginjak tali sepatunya yang menjuntai ke tanah karena tidak terikat dengan benar. "Kapan, sih, lo belajar ngiket tali sepatu yang bener?" hardik gue saat berhasil menangkap tubuh Aira yang hampir terjatuh ke lantai beton parkiran. Dia malah manyun tidak menjawab pertanyaan gue. Menghela napas panjang gue mengikuti langkah Aira, lalu memintanya duduk di bangku penumpang mobil gue. "Jangan langsung disimpul bentuk pita gini, Ai. Lo harus bikin simpul tali dulu sekali baru bentuk simpul pita. Paham lo?" ujar gue, duduk jongkok sambil mengikat tali sepatu Aira. "Makasih," jawabnya singkat lalu menarik kakinya masuk mobil. "Siapa, sih, dia? Manis banget nyapanya. Ganes yang lebih tua dari lo empat tahun aja nggak lo panggil 'Kak'?" Gue bertanya gini karena muka Aira sepanjang jalan tuh kusut kayak kolor gue yang belum digosok sama si Bibik. Menyedihkan. "Gini kali ya rasanya patah hati sebelum jatuh cinta," jawab Aira. Pertama gue bengong, trus tawa gue pecah. "Lo ngomong apa ngingo, sih, Ai?" "Diem lo!" Dan gue lebih memilih diam daripada urusan makin panjang. Aira kalau sudah nggak mood trus tetap diledek, marahnya horor. Pernah dia banting ponsel gue. Pernah juga nge-chat gebetan gue, ngasih tahu yang 'enggak-enggak' soal gue. Dan yang lebih horor, bawaannya dia pasti ngancem nggak mau ngerjain PR gue. Gue mulai heran. Apa sih hebatnya Titanium itu? Cewek-cewek di kelas gue juga pada ngomongin dia. Kak Titan itu kece, keren, gayanya tuh cool abis kata mereka. Dan sekarang ternyata Aira juga mengidolakan cowok yang sama dengan mereka. Tinggi juga sama kayak gue. Putih juga masih lebih putih gue. Dia menang masuk kelas unggulan doang. Itu yang gue nggak bisa nyaingin. b*****h lah. Gue melirik Aira sekali lagi. Mukanya masih sama kayak tadi. Sengaja gue puter radio tape sekencang-kencangnya. Ebuset... Dia nggak keganggu. Baru setelah gue tarik ujung kuncirannya, dia menoleh malas. "Apa?" tanyanya singkat. Gue membuka dashboard, mengambil sebungkus coklat kesukaan Aira, lalu memberikan padanya. "Jangan manyun lagi. Gue turunin sini mau?" canda gue. "Thanks," jawabnya seraya meraih coklat dari tangan kiri gue. Dia lalu tersenyum. Bikin gue terpaksa mencubit pipinya dengan gemas. "Gue dihukum sama bokap," gue pilih curhat daripada lihat Aira manyun. Jelek banget dia kalau lagi manyun. "Why?" tanyanya singkat. "Nilai PTS gue," gue mendengus resah. (PTS=penilaian tengah semester) "Trus? Lo dihukum apa?" "Mobil disita. Disuruh naik motor matic." Aira tertawa. Wajahnya kembali ceria. "Paling juga bertahan tiga hari hukuman bokap lo," jawabnya, dengan wajah Aira yang sudah kembali normal. "Amin," jawab gue asal. "Lo pernah dengar soal dark race nggak? Katanya anak-anak BHS ada yang ikutan balapan liar itu. Bahaya banget kalo sampe ketahuan pihak sekolah,” ujar Aira beberapa saat kemudian. BHS adalah singkatan nama sekolah gue dan Aira. Bermuda High Schools. “Tadi gue denger dari pak Frans, guru bahasa Prancis, kalo yang ketahuan ikut dark race apalagi sampai jadi anggota balapan liar itu, bakal kena skors." Gue menekan pedal rem sedalam-dalamnya. Membuat roda mobil berdecit akibat bergesekan dengan aspal. Mobil berhenti di pinggir trotoar, hampir saja nyosor tiang listrik. Penyok juga ini mobil kalau kecepatan 80km/jam nabrak tiang listrik. Kalau cuma 20km/jam sih paling cuma baret dikit doang. Sialan Aira. Nih cewek serius apa cuma nakutin gue coba. "Daka begooo! Kita hampir mati, woyyy... Yang bener dong kalo nyetir," Aira ngomel, tapi nggak gue hiraukan. Gue melajukan mobil kembali secara perlahan. Detak jantung gue belum stabil. > > > #Almeira Aku tuh nyari nama cowok itu sampe bela-belain ngebajak cctv sekolah, tapi kayaknya dia jarang kepantau sama cctv deh kehidupannya di sekolah. Soalnya jarang banget nemuin dia nongol di rekaman cctv. Mana aku juga nggak tahu dia ikut ekskul apa, kelas berapa, tongkrongannya di mana kalau di sekolah. Bah... Sampai hari itu, kebetulan pas giliranku piket jaga ruang guru. Eh, ada cowok cakep, tinggi, kulitnya putih, rambutnya agak ikal disisir rapi dengan belah samping. Alisnya juga hitam dan rapi. Matanya nggak terlalu sipit dan terlihat tegas, bikin siapa aja yang kena tatapan dinginnya itu melting. Kayaknya kakak kelas gitu deh, dia celingukan di ruang guru seperti membutuhkan sesuatu yang penting, sepertinya butuh surat izin dispensasi. "Saya mau minta form izin dispensasi," ucapnya datar. Tuh kan bener. Wajahnya tuh lempeng, nggak ada ekspresinya gitulah. Datar abis. Untung cekep, bebas sih mau ekspresi kayak gimana juga. Aku menyerahkan selembar kertas kosong untuk diisi. Lima menit kemudian kertas kosong tadi sudah terisi. Tulisannya rapi loh. Jadi bayangin tulisannya Daka yang kayak cakar ayam. Aku tertawa dalam hati. Oh, nama cowok itu Titan Abriansyah. Mengingatkan aku sama serial manga berjudul Attack on Titan favorit Arsen. Dimana di cerita manga itu manusia bisa menjadi titan (makhluk dengan setinggi 15 meter). Kata Arsen sebenarnya titan memang berasal dari manusia dan tak heran jika wujudnya memang manusia, tapi terlihat berkali-kali lipat lebih besar dari ukuran manusia normal. Kalau Titan yang ada di hadapanku sekarang ini manusia normal kok, kelas XI Ilmu Alam A+. Wow, kelas unggulan. Setelah dia mendapatkan apa yang diinginkan (form dispen yang sudah ditanda tangani guru BP) dia pergi gitu aja. Dan, dan, dan.... cowok lempeng itu lewat depan mobil Daka dengan kostum futsal yang basah karena keringat. Bikin aku pengin nempel manja sama dia. Aku bertekad akan mencari informasi tentang Titan. Khayalanku mendadak musnah ketika Daka mengerem mobil secara mendadak setelah aku menceritakan soal balapan liar yang sedang diusut pihak sekolah dan sanksi skors bagi yang siswa siswi yang ikutan balapan liar tersebut. "Lo kenal cowok tadi, Ka?" tanya gue sama saat Daka kembali melajukan mobilnya setelah menghentikan laju mobil secara tiba-tiba. "Yang lo panggil Titan tadi? Ketua Osis bukan, sih, dia? Kata temen kelas gue gitu." Aku mengangguk cepat. "Tauan aja lo. Tumben cerdas." Daka hanya menatapku malas. Aku cuma manyun lalu berdecak. "Cariin infonya dong, Ka." "Buat apa?" Daka bertanya. Wajahnya masih pias akibat insiden tadi. "Ya buat gue lah." Mobil Daka berhenti di depan pagar rumahku. "Nggak mampir?" tanyaku sebelum keluar dari mobil. Daka hanya menggeleng malas lalu mengibaskan jemarinya. Mengusirku secara halus. Sialan. (***) Malam harinya aku mulai melancarkan aksiku untuk mencari informasi tentang Titan. Aku punya teman kenalan di kelas itu, namanya Syahila. Dia ketua Musyawarah Keputrian. Salah satu program ekstrakurikuler yang isinya cewek-cewek alim, kalem, nggak petakilan kayak aku. Ekstrakurikuler itu wajib diikuti oleh siswi BHS tingkat pertama kayak aku, setiap hari Jumat setelah jam terakhir. Mungkin dia tahu sedikit tentang Titan. Kalau dari kelasnya mereka sekelas, pastilah saling kenal. Me: kak Lala ini Almeira kelas 10 A Ingat nggak? Chatku baru dibalas setengah jam kemudian. Syahila IA+: oiya ingat.knapa ya? Me: kak Lala kenal kak Titan? Syahila IA+: oh iya. Kenal.dia ketua kelasku. Knapa? Me: boleh minta kontaknya nggak? Syahila IA+: besok kamu ke klsku aja Deg...aku mengetuk ujung dagu, berpikir sejenak akan membalas apa chat dari Syahila. Beberapa kali mengetik di keyboard netbook, beberapa kali juga aku hapus. Me: oke deh Akhirnya jawaban itu yang aku kirim. Baru beberapa detik chat terkirim, pintu kamarku digedor cukup keras. Suara Arsen memanggil namaku. "Ai? Kamu di dalam?" Suara Arsen terus meneriaki di balik pintu kamarku. Kadang sebel, tapi kadang sudah terbiasa dengan mulut dan sikap kurang ajar adik laki-lakiku ini. "Bagus dikit napa manggilnya?" tanyaku membuka pintu kamar dengan kesal. "Pinjam netbook, mau ngerjain tugas," jawabnya sambil nyelonong masuk lalu menghampiri netbookku yang sedang menyala. "Nggak ada ya. Aku masih pakek buat ngerjain tugas," ucapku tak mau kalah. "Tugas apa? Kamu chatting gini." Arsen menarik charger netbook yang masih menancap pada stop kontak lalu mengangkutnya mau dibawa keluar kamar. "Yaaachh, Arseeen... Tugas aku belum disave, b**o?! Balikin netbook aku! Kamu kalo mau kerjain tugas pinjam punya Ayah sana!" teriakku sambil menarik paksa netbook yang berada di tangan Arsen. Pada saat adegan tarik menarik, Ayah kebetulan melintas di depan kamarku. Aku pun tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mempertahankan milikku. Arsen keluar dengan menghentakkan kakinya ke lantai setelah Ayah menyuruh Arsen pinjam laptop Ibu. Dia nggak akan mungkin membantah Ayah. Arsen tipe anak penurut dan takut sama Ayah. Beda banget sama aku. "Kalau Ai udah nggak pakek, netbooknya kasih pinjam Arsen. Dia nggak akan pinjem kalo nggak butuh banget," ucap Ayah sebelum menutup pintu kamarku. "Kenapa Arsen nggak dibeliin lagi, sih, Yah? Ganggu banget dia," keluhku. "Punya Arsen masih dibenerin. Sementara pakai punya Ai dulu, ya," ujar Ayah dengan sabar lalu tersenyum tipis. Aku hanya mengangguk lesu. Aku kembali ke netbookku lalu mengakhiri acara berseluncur di dunia maya. Aku tak mendapatkan informasi apa pun mengenai Titan malam ini. Memilih segera menyelesaikan tugas Kimia Dasar karena besok juga ada kuis dari tugas ini. Arsen yaaa...huft. Mengganggu kesenangan orang. > > > #Ganesha Rumah kreatif harus segera diselesaikan. Saya pengin menunjukkan pada Aira, sebagai kado ulang tahun untuknya. Malam ini sepulang dari yayasan saya menyempatkan mampir untuk menengok pekerjaan saya sudah sampai mana. "Orin, itu jangan dikasih warna hijau, ganti kuning aja ya, Aira nggak suka warna hijau, kayak makanan kambing katanya. Banyakin warna magenta untuk bagian pintu masuk." Saya mengarahkan Orin, salah satu anak didik Anandara Foundations yang membantu saya menyelesaikan Rumah Kreatif. Rumah Kreatif awalnya hanya berupa bangunan kuno di pinggiran ibukota yang dibeli oleh Papa untuk saya. Awalnya untuk menampung kreasi saya yang sedang penasaran pada lukisan 3D. Ternyata ada beberapa anak didik Anandara Foundation juga menyukai aliran seni lukis modern itu. Alhasil saya mengajak mereka-mereka yang menyukai seni lukis untuk meluapkan kreatifitasnya di tempat ini. Ada lukisan di kanvas, di lantai bahkan di dinding. Dari hasil karya mereka yang di kanvas akan dilakukan lelang, dan diadakan penggalangan dana di tempat ini setiap tahunnya. Tema penggalangan dananya sesuai dengan kesepakatan panitia yang dibentuk. Dana yang sudah terkumpul nantinya akan disalurkan untuk yayasan sendiri juga untuk yayasan lain. Saya berjalan keliling ruangan Rumah Kreatif. Berharap bisa mewakili pribadi Aira. Penuh warna dan tidak terduga. Setelah puas berkeliling, saya masuk ruang pribadi yang saya jadikan untuk mencari inspirasi melukis. Ada 17 lukisan yang harus saya selesaikan dalam kurun waktu beberapa bulan saja. Saya baru menyelesaikan lukisan ke enam. Tangan saya mulai gatal untuk melukis lukisan ketujuh. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, saya sudah duduk di depan kanvas putih. Mulai konsentrasi penuh untuk membubuhkan beragam warna kanvas putih di hadapan saya ini. Yang ada di otak saya ketika melukis hanyalah wajah Aira yang penuh canda dan tawa. Membuat hasil lukisan saya menjadi berwarna. Entahlah saya sebut apa rasa yang saya punya untuk Aira ini. Saya ibaratkan kanvas dan Aira itu cat airnya. Begitu saya menggambarkan kedekatan saya dengan gadis yang beberapa bulan lagi berusia 17 tahun itu. Dulu lukisan saya selalu beraliran *surealisme, kini berubah menjadi lebih modern, berwarna dan lebih logis. ~~~ ^vee^ Aliran Surealisme yaitu aliran yang erat hubungannya dengan dunia fantasi, seakan-akan kita melukis dalam dunia mimpi. Lukisan surealisme seringkali mempunyai bentuk atau lukisan yang tidak logis / seperti khayalan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD