Feelings 5

1569 Words
#Danendra   Bahagia itu sederhana. Pas jam terakhir nggak ada gurunya. Jadi ingat kalimatnya Aira tiap kali nyokapnya keluar kota, bisaan banget dia bilang 'Nikmat Tuhan mana lagi yang Kau Dustakan'. Dasar cewek gelo. Kelas gue ramai banget sore ini. Persis kayak pasar loak pindah. Seperti biasa, gue diam di pojokan bareng geng cowok-cowok kelas ini. Cuma bisa ketawa aja memperhatikan setiap tingkah anak-anak cowok yang sibuk godain cewek-cewek. Apa serunya coba godain kayak gitu? Nggak menghormati cewek banget. Kalau memang suka tinggal tembak ini. Prinsip gue gitu. Cuma sayangnya memang cewek-cewek di kelas ini nggak ada satupun yang menarik minat gue. Padahal kata anak-anak kelas lain, cewek-cewek di kelas gue nggak ada tandingannya kalau soal tampang dan gaya hitsnya. Hampir setengah jam kelas ini makin gaduh nggak karuan. Di depan kelas sudah jadi panggung sandiwara nggak jelas. Ada salah satu teman sekelas yang katanya mau nembak anak kelas ini juga. Astaga...Gue cuma bisa ketawa aja jadi penonton. Boring juga lama-lama. Mana ponsel ada di loker, baru bisa diambil kalau kelas sudah bubar. Mau keluar kelas gangguin Aira, malas banget. Dari sejak istirahat tadi moodnya itu cewek hancur. Takut banget mau dekat-dekat dia. Tiba-tiba pintu kelas terbuka lebar, lebih tepatnya setengah didobrak. Membuat semua penghuni kelas tercengang pada awalnya.  "Ini kelas apa pasar? Kembali ke tempat duduk masing-masing!?" Seorang cewek berambut sebatas leher nggak ketinggalan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya masuk kelas sambil berteriak. Semua yang ada di depan kelas berhamburan ke tempat duduk masing-masing. Gue sih santai. Cuma tinggal nurunin kaki yang dari tadi terjulur di atas meja. "Aljabar halaman 70 soal nomor 1. Yang saya panggil namanya kerjakan di depan kelas!" ucap cewek itu dengan tegas. Ralat, ketus lebih tepatnya. Siapa sih dia? Gue coba perhatikan baik-baik dan mengingat pernah lihat cewek itu di mana. Voila!!! Gue ingat. Itu kan cewek yang waktu itu gue lihat solat di masjid sekolah. Gue nggak salah lagi. Meski sekarang kepalanya nggak tertutup mukenah, gue bisa mengingat wajah bersihnya dengan baik. Terutama sorot mata tajamnya. "Saya Syahila. Yang akan menggantikan kelas Mr. Broto selama seminggu ke depan. Mohon kerjasamanya. Terima kasih." Cewek bernama Syahila itu membungkukkan sedikit badannya selesai berkenalan. Oh... namanya Syahila. Anjir... kalau dia gantiin guru mengajar berarti dia kakak kelas dong. Wajahnya imut banget untuk jadi kakak kelas gue. "Danendra Kamandaka! Kamu maju kerjakan soal yang saya sebutkan tadi. Ferina Bastari kerjakan soal nomor dua. Fernando soal nomor tiga. Deo Syafardi kerjakan soal nomor empat. Saya kasih waktu lima belas menit untuk memahami soal di literatur kalian masing-masing." Kami yang disebutkan namanya kontan gelagapan. Membuka netbook masing-masing berikut literaturnya. Mampus gue sekarang. Gue menendang kaki kursi teman yang ada di depan gue. "Buruan kerjain trus kirim ke gue jawabannya!?" ucap gue setengah berbisik. Leonard cuma manggut ketakutan. "Iya bentar. Soal kamu yang paling rumit," ucapnya dengan berbisik juga. "Masabodo. Cepat selesein! Waktu gue cuma lima belas menit b**o!" "Yang di pojok belakang tolong jangan bikin gaduh ya!?" bentak cewek itu. Yang dimaksud Syahila pasti gue dan Leonard yang sedang berdebat kusir.  Gue nggak bisa menghubungi Aira maupun Ganesha saat ini, untuk bantuin gue. Email gue ngga dibalas sama Aira. Gue nggak bisa nge-chat Ganesha karena ponsel gue ada di loker. Lengkaplah sudah penderitaan gue. Cuma Leonard, bule jadi-jadian itu harapan gue saat ini. Sepuluh menit sudah berlalu. Namun Leonard belum mengirim jawaban dari soal tadi ke email gue. "Pssst... udah belom?" bisik gue.  "Dikit lagi. Sabar!" Gue cuma bisa memutar bolpoin dengan jemari gue, nggak sabar menunggu email dari Leonard. Di dua menit terakhir ada dua email masuk. Dari Leonard dan Aira. Gue langsung membuka email dari Aira. From: Almeira Chasia Tanjung              (almeira.chasiaXA@bhs.com) To: Danendra Kamandaka    (danendra.kamandakaXF@bhs.com) Subject: Re: [asap] Dear Daka, Gue belum sampai pelajaran itu. Hahahaha. Maap yeee.... Sumpah ya, pengin banget gue getok kepala cewek itu kalau ada di hadapan gue sekarang. Nunggu lima belas menit dia cuma kasih jawaban luar binasa. Akhirnya gue beralih ke email Leonard. Gue membuka lampiran yang ada di badan email. Setelah terbuka, gue segera menyalin ke halaman word di netbook gue. "Langsung di tulis di whiteboard ya. Proyektornya ngadat, nih," Syahila tiba-tiba bersuara. Kali ini suaranya lebih rendah, nggak melengking tinggi seperti tadi. "Silakan satu persatu sesuai nomor soal," pintanya dengan sopan. Gue maju dengan membawa netbook. Syahila meminta gue untuk meletakkan netbook gue di atas meja guru, lalu menukarnya dengan spidol boardmarker. Gue mengangguk. Gue beruntung banget karena tadi sudah sempat menghafal jawaban yang dibikin oleh Leonard. Meski gue nggak paham maksudnya apa, tapi gue bisa menulis ulang di whiteboard sama persis seperti di netbook. Itulah keahlian gue. Mengingat dengan baik meski hanya sekali lihat. Meski kata Aira gue b**o, tapi ingatan gue tajam. Gue menyerahkan kembali spidol seraya tersenyum pada Syahila. Dia tertunduk. Blushing. Demi apa coba. Gue benar-benar nggak niat menggoda dia kok. Suer!!! Kelas berlanjut dengan Syahila menjelaskan satu persatu jawaban empat soal yang tertera di whiteboard. Gue suka caranya berbicara. Cewek cerdas dan sederhana. Dia punya cara sendiri untuk menebar pesonanya. Tanpa harus berdandan maksimal apalagi pakai baju branded dan kurang bahan untuk menarik perhatian cowok-cowok kayak gue. Biasanya gue paling malas mendengarkan guru kalau sedang menerangkan pelajaran di depan kelas. Kalaupun gue mendengarkan kadang gue nggak paham apa yang diomongkan guru itu selama dua jam pelajaran. Kalaupun gue paham, mentok pas istirahat udah buyar itu pelajaran di otak gue. Sudah paham permasalahan gue di mana? Benar kata Aira, karena gue b**o. Namun kali ini gue mendengarkan dengan seksama. Caranya Syahila menjelaskan mirip dengan caranya Aira mengajari gue. Gue jadi langsung paham, dan gue jamin masih ingat meski kelas sudah bubar--wajahnya yang imut maksud gue. Hahahaha... Bel berdering nyaring. Gue mendesah kecewa. Artinya kelas Syahila juga bubar. Gue nggak boleh kecewa, masih ada seminggu ke depan Syahila masuk kelas ini. Syahila bergegas keluar terlebih dahulu, diiringi seluruh penghuni kelas ini. Nggak termasuk gue. Gue membuka jendela netbook untuk mencari jadwal pelajaran gue. Mencari pelajaran Aljabar jatuh pada hari apa saja. Satu hal yang jarang gue lakukan. Karena biasanya yang mengingatkan gue besok mata pelajaran apa, kalau nggak Mama ya Aira. Yasshh... masih ada empat kali pertemuan dengan Syahila. Eh, maksud gue mata pelajaran Aljabar. Gue menahan senyum biar nggak disangka orang gila. "Woyyy...dihukum bersihin kelas lo? Gue cari di parkiran taunya masih di sini," Aira masuk kelas gue dengan tampang kusut kayak kertas bekas. "Astaga...lo kenapa Ai? Kusut amat?" "Buru pulang!" Gue cuma mengangguk lalu menonaktifkan segala perangkat sekolah gue. Setelah mengambil ponsel di loker, gue menyusul Aira ke parkiran. Padahal niat gue pengin mengajak Aira mampir di resto Ice Cream favorit cewek itu. Mungkin lain kali, karena gue lihat Aira benar-benar suntuk dan bad mood abis. Aira memutar lagu favoritnya dari audio mobil, menyandarkan kepalanya di sandaran jok mobil lalu terpejam. Sore ini nggak ada Aira yang berisik, bawel dan protes tiap kali gue ajak ngebut. Sesekali gue melirik kondisinya. Matanya masih terpejam. Cuma satu hal yang bisa merusak mood Aira. Pasti nggak jauh-jauh dari masalah dengan Ibunya. Gue mengedikkan bahu. Nggak berani menerka. Menunggu Aira sendiri yang menceritakan permasalahannya. "Thanks ya, Ka," ujar Aira sebelum membuka pintu mobil. "Lo baik-baik aja, Ai?" tanya gue sebelum Aira keluar dari mobil. Aira cuma mengangguk dengan wajah datar. "Sorry ya, tadi nggak bisa bantu lo," ucapnya lalu keluar mobil begitu aja. Gue melepas napas sambil memerhatikan Aira masuk rumahnya. Akhirnya gue melajukan mobil menuju rumah dengan perasaan penasaran terhadap keadaan Aira. Hari ini gue nggak boleh pulang telat. Papa pasti sudah menunggu untuk menerima kontak mobil gue, untuk diganti kontak motor. Karena mulai besok, gue menjalani masa hukuman dari bokap. > > > #Almeira Aku agak kaget saat masuk rumah menjelang maghrib. Ibu sudah duduk manis di ruang tamu, di luar kebiasaannya. Di atas meja kopi ada tiga cangkir bekas teh dan beberapa kertas yang aku tebak adalah hasil sketsa rancangan milik Ibu. Sepertinya Ibu baru saja menerima tamu. Setelah menyalami Ibu aku bergegas pamit. Mengingat kejadian kemarin, membuatku masih malas menghadapi Ibu. Iya, Ibu membanding-bandingkan aku dengan anak kliennya yang jago menggambar, di depan kliennya itu. Terang-terangan dan aku nggak suka dipermalukan seperti itu. "Jam berapa ini? Udah mau maghrib, kenapa kamu baru pulang?" Langkahku terhenti mendengar suara Ibu yang terdengar dingin. "Kalo Ibu lupa, setiap Senin sampai Rabu jadwal pelajaran Ai emang full day. Atau mungkin Ibu saja yang nggak pernah tau jadwal pelajaran Ai?" jawabku sarkas tanpa menoleh menghadap Ibu. Aku dengar Ibu membuang napas agak kasar. Aku masih bergeming di tempatku berdiri saat ini. "Ibu mau bicara sama Ai," ujar Ibu lagi, masih dingin seperti tadi. "Ai mau mandi dulu," jawabku tak kalah dingin, lalu melanjutkan langkah menuju kamar. Setengah jam kemudian, mbak Ima,  pengasuhku sejak bayi, mengetuk pintu kamarku beberapa kali. "Ya Mbak?" tanyaku setelah membuka pintu kamar. "Dipanggil Ibu di taman belakang. Non Aira sudah makan? Mbak siapin ya?" Aku menggeleng lalu mengucap terima kasih. Aku sedang tidak napsu makan apa pun. Mbak Ima meninggalkan kamarku. Perempuan berusia hampir 45 tahun itulah yang menghabiskan waktunya untuk merawatku, setiap kali Ibu dan segala kesibukannya di luar kota sebagai desainer. Aku tersenyum menatap punggungnya. Aku bahkan menyayangi orang yang tidak memiliki hubungan darah denganku itu. Mbak Ima bahkan rela meninggalkan anak kandungnya demi merawatku juga Arsen. Aku yang saat itu berusia lima tahun, mendadak demam tinggi saat mbak Ima memutuskan untuk berhenti bekerja karena mau menikah. Ayah sampai membujuk Mbak Ima untuk kembali bekerja setelah menikah, dengan imbalan memberi pekerjaan pada suami Mbak Ima di perusahaan tempat Ayah bekerja. ~~~  ^vee^ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD