"Udah, paham kan?"
Gemilang mengangguk ketika Saira selesai menjelaskan satu soal matematika. Meski dalam hati ada yang masih membuatnya bingung, tapi tetap berusaha untuk dimengerti. Sejak hari pertama itu Saira datang bekerja, Gemi mengaku cukup puas dengan cara Saira mengajar, makanya Saira sudah terikat kontrak menjadi guru privat Gemi sampai Gemi memasuki Ujian ke perguruan tinggi negeri.
"Nah, coba kerjakan soal yang satu ini."
Seraya menunggu Gemi menyelesaikan soal yang ia berikan, Saira membolak-balikkan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi negeri. Meskipun sebenarnya ia tinggal punya waktu sedikit lagi mengajar Gemi.
Seperti biasa di bulan november yang sebentar lagi memasuki desember, hujan datang terus. Saira berharap hujan segera reda tepat di waktu dia akan pulang sebentar lagi. Kalau tidak, ya terpaksa dia terjebak lebih lama di rumah ini.
Harapan Saira tak terkabul, bahkan setelah ia selesai memeriksa soal yang dikerjakan Gemi, hujan tak kunjung turun. Nggak mungkin dia memaksakan diri untuk menerobos hujan dengan motornya.
Saira
Ma, Saira kayaknya bakalan telat pulang. Hujannya deras nih.
Saira mengirim pesan singkat ke mamanya. Meskipun usianya sudah dewasa dan matang, serta masih tinggal dengan orang tuanya, Saira tetap dianggap seperti anak kecil yang masih harus dijaga. Sudah gitu, dia anak satu-satunya pula. Makin ketatlah orang tua dia mengawasi Saira.
"Saira sekalian makan malam di sini aja ya. Tuh, hujannya nggak reda-reda."
Saira yang tadinya ngobrol dikit-dikit sama Gemi seusai belajar, tiba-tiba Bu Dinda datang nawarin makan malam.
Karena nggak enak buat nolak untuk yang kedua kalinya, Saira pun mengangguk saja meskipun agak sungkan. "Baik, Tante."
"Nah, gitu. Jangan sungkan-sungkan."
Setelah itu,, Bu Dinda jalan menuju ke dapur. Tampaknya sedang bersiap-siap untuk masak.
"Saya bantuin boleh, tante?" tawar Saira seraya menyusul wanita paruh baya itu. Karena nggak enak juga ya, pas lagi bertamu. Sebenarnya dia bukan bertamu sih, tapi bekerja yang berakhir jadi bertamu. Paham nggak? Oke, intinya Saira tuh merasa nggak enak sudah numpang makan tapi malah duduk-duduk enak di saat yang punya rumah lagi sibuk nyiapin makanan.
"Boleh, boleh. Bantu tante potongin ayamnya, ya."
"Oke."
Bu Dinda seketika menghentikan sejenak dari mengupas bawangnya ketika melihat keterampilan Saira memotong ayam. Ia tersenyum melihat Saira yang tampak telaten sekali memisahkan bagian per bagian. Kan kadang ada orang memotong daging ayam dengan asal-asalan.
"Saira kayaknya pinter banget ya masak," celetuk Bu Dinda, memuji keterampilan Saira secara langsung.
"Ah, tante bisa aja." Jawab Saira dengan basa-basi.
"Eh. Mau jadi menantu tante, nggak? Ada loh anak tante yang laki."
Gerakan memotong ayam Saira seketika terhenti sejenak, yang kini ia memotongnya dengan perlahan. Maksudnya, dia? Oh, ternyata dia belum menikah.
Pipi Saira kenapa sih jujur banget, sampe merah begitu cuma karena bu Dinda kepengen dia jadi menantunya. Tapi kan, anak lakinya bu Dinda itu cuma satu, dan itu mantan Saira sendiri. Udah lah, pokoknya Saira nggak mau balik lagi sama mantan.
Saira hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan bu Dinda. Lagipula ia bingung harus berkata apa.
"Nggak mau tau. Pokoknya Mas Gara nyampe rumah harus bawain pizza."
Tiba-tiba suara keras Gemi yang keras muncul dari ruang tengah, tempat tadi ia dan Saira belajar. Tangannya memegang ponsel yang ditempel di telinga.
"Ah, nggak mau order. Sekarang lagi pandemi, ngorder pake ojek online kurang aman, Mas. Mending Mas Gara beli langsung, biar terjamin," kata Gemi seraya berdecak.
Saira tanpa sadar sedang menguping.
"Terobos aja lah hujannya. Hahaha." Kini tawa Gemi yang semakin kencang.
"Oke sip. Kutunggu."
Gemi melepaskan ponselnya dari telinga, yang berarti dia sudah selesai bicara dengan orang di seberang sana.
"Itu Gara, Gem?" tanya Bu Dinda yang mana langsung diangguki mantap oleh anak bungsunya.
"Dia mau pulang, katanya."
Mendengar jawaban Gemi, seketika jantung Saira deg-degan. Maksudnya, Gara mau pulang ke rumah ini? Mampus dah, kalau sampai Saira ketemu itu orang. Well, dia sudah bekerja menjadi guru privat Gemi selama dua minggu ini. Saira duga Gara pasti sudah tinggal terpisah rumah dengan orang tuanya. Karena selama dua minggu bekerja, Gara belum menampakkan batang hidungnya. Mungkin juga karena Saira kerja hanya tiga kali seminggu, dan kalau dikali dua minggu, berarti enam kali pertemuan. Belum lagi Saira hanya bekerja sehari dua jam, dan boleh jadi memang kebetulan mereka tidak bertemu walaupun Gara masih tinggal di rumah ini.
Jadi intinya, Saira tidak tahu apa-apa tentang Gara selama ini. Itu karena dia tidak pernah mengungkit keberadaannya, atau keluarga bu Dinda pun tak pernah bercerita tentang keluarga mereka kepada Saira. Saira murni datang untuk bekerja, bukan untuk bercerita.
Lagian aku ini siapanya mereka sih, sampai mesti diajak cerita soal urusan keluarga mereka, pikir Saira.
Saira berusaha untuk menenangkan pikirannya yang mendadak gelisah. Dia bingung mau gimana kalau nanti ketemu sama Gara. Cuekin aja, nggak ya? Atau anggap nggak kenal aja? Atau memang ngaku kenal tapi merasa dulunya nggak pernah ada apa-apa di antara mereka? Bingung sih, apalagi Saira nggak mau nanti bakalan ditanya gini-gitu sama bu Dinda atau Gemi soal hubungannya yang dulu dengan Gara.
Hujan sudah sedikit reda. Hanya terjatuh tetes-tetes kecil, yang mana sudah seharusnya Saira bisa pulang sekarang juga. Tapi masalahnya, ia tetap juga terjebak di rumah ini sesaat setelah makanan siap disajikan di meja makan. Katanya, tinggal nunggu Gara pulang bentar lagi. Biar bisa makan bareng.
"Yuhuuu! Aku pulang!"
Itu dia. Suara yang baru saja menyapa indra pendengar Saira seketika membuat jantungnya berdegup tak karuan.
"Mana pizzanya?"
"Niiiih!"
"Masih inget rumah ternyata. Dua bulan nggak pulang, kirain mau jadi malin kundang."
"Ah, mamih kayak nggak tau aja anaknya lagi sibuk."
"Ya udah, ayuk makan yuk."
"Yuuuk, aku lapar banget nih. Kangen masakan mamih juga."
Duh. Saira rasanya kepengen menghilang aja dari muka bumi ini. Dari tadi dia menunduk, tanpa berani memandang orang - orang di rumah ini. Ia tetap duduk di sofa seperti patung tanpa berniat untuk menyambut kedatangan Gara.
"Saira, yuk makan. Malah di situ terus. Yuk!"
Saira pun perlahan mengangkat kepalanya dan berdiri perlahan. Seketika itu pula matanya bertemu dengan laki-laki bermata cokelat yang kini juga menatapnya dengan kaget.
"Lho, Saira?"
Di sinilah mereka bertemu lagi, setelah hampir sepuluh tahun berpisah tanpa kabar. Di saat yang tak terduga, dua insan yang kini menjadi mantan akhirnya bersitatap. Dan detak itu masih ada.
Bersambung…