Kalila tengah dibuat pusing oleh permintaan sang mama. Tahu jika putrinya tidak akan pulang ke Jakarta saat libur tahun baru Bu Indira membuat acara BBQ-an di rumahnya.
Beliau meminta anak, menantu dan para cucunya untuk berkumpul dan merayakan pergantian tahun. Kebiasaan yang dilakukan oleh Bu Indira setiap tahun.
Namun, bukan Kalila jika tidak memiliki ribuan cara untuk mangkir dari acara keluarga. Kondisi perusahaan tempat dia bekerja yang semakin memburuk dibuat sebagai alasan tak bisa pulang.
Sebenarnya Eithan mengijinkannya untuk mengambil cuti akhir tahun tapi Kalila menolak. Mengatakan jika hidup dan matinya hanya untuk Kalelard.
Memang terdengar lebay. Namun saat mendengar kalimat itu hati Eithan langsung terenyuh.
"Yakin gak akan pulang ke Jakarta?"
"Jutaan keyakinan telah aku berikan padamu," jawab Kalila dengan asal. Langsung di hadiahi sahabatnya sebuah dengkusan kesal.
"Tante Dira bakal ngereyog kalau kamu gak pulang. Kak Titan akan mengeluarkan suara emasnya dan Kak Safira akan memberikan wejangan sepanjang rel kereta api," ujar Eithan.
Kalila mana peduli dengan semua itu.
Lebih baik dia kesepian di apartemen ketimbang bertemu dengan manusia nyinyir yang hobi membicarakan kekurangan orang lain.
Keluarga inti Kalila sangat baik dan menyayanginya. Namun, tidak dengan keluarga besar dari Mamanya. Banyak dari mereka yang hobi mengungkit kejadian batalnya pernikahannya.
"Hanya seminggu mereka akan seperti itu. Setelahnya, bakal kembali pada setelan awal."
"Aku kadang bingung denganmu. Kamu selalu bilang sudah move on tapi sikapmu menunjukkan yang sebaliknya."
"Harus berapa kali aku bilang jika aku tidak suka dengan Jakarta. Bukan hanya karena batalnya pernikahan tapi terlalu banyak kenangan buruk yang menyakitkan bagiku. Hal itulah yang membuatku enggan pulang."
"Orang tua dan saudaramu ada disana. Memangnya kamu tidak rindu dengan mereka?"
Kalau soal rindu tentu saja Kalila rindu. Sebelum batal menikah dia termasuk gadis manja dengan orangtua dan kedua saudaranya
Meski sudah kuliah Kalila masih sering meminta uang jajan pada Pak Ihsan, Titania dan Safira. Hanya Bu Indira yang jarang dipalak karena beliaulah yang selalu memasakkan makanan enak setiap hari. Rasanya tidak tega saat ingin meminta sumbangan pada wanita yang telah membesarkannya dengan ketulusan dan cinta.
"Pulanglah, La—"
"Aku akan pergi berlibur. Sudah lama aku tidak merasakan indahnya dunia."
"Setuju! Habiskan uangmu yang mulai berkarat itu. Nikmati masa muda mu sebelum jadi istri orang—"
Plak! satu pukulan mendarat keras pada lengan Eithan.
Bukannya kesakitan Eithan justru terlihat senang mendapatkan kekerasan dari sahabatnya.
"Mau liburan kemana?"
“Belum tahu. Sepertinya masih di sekitar Jogja karena aku malas bepergian jauh. Libur akhir tahun bakal penuh semua tempat wisata.”
“Aku ada rekomendasi private villa. Jika kamu mau aku akan memesankan untukmu.”
“Tidak, terima kasih!” Tolak Kalila.
Eithan paham jika Kalila tak bisa seratus persen percaya padanya. Bagaimanapun juga dia tetap adik dari mantan tunangannya.
Hubungan darah antara dia dan sang kakak tak akan pernah bisa dihilangkan. Meskipun keduanya tak saling sapa sudah empat tahun lamanya. Tepatnya, setelah Eithan menghajar Elard hingga babak belur.
***
“Sayangnya Mama, pulanglah, Nak—”
“Ma, kasihan Eithan kalau Lila pulang. Perusahaannya diambang kebangkrutan. Kalau benar-benar bangkrut bakal jadi pengangguran dia.”
“Keluarga Eithan itu uangnya banyak. Walaupun tak bekerja dia masih bisa hidup enak. Lagipula Adek harusnya bantuin firma hukum Papa bukannya bekerja dengan orang lain.”
“Gimana nasib ribuan karyawan yang selama ini bekerja di Kalelard, Ma? Mereka akan kehilangan mata pencaharian. Keluarganya bakal kelaparan gak bisa makan.”
Bu Indira mendesah kesal. Putrinya keras kepala seperti suaminya. Jika sudah memutuskan A ya tetap A tidak akan bisa dirubah oleh siapapun.
Melihat putrinya lebih senang mengasingkan diri dan menghindari keluarganya membuat Bu Indira sedih. Rasanya dia ingin ikut pindah ke Jogja tapi ada suami yang harus diurus.
“Ya sudah, kalau begitu Adek jaga diri baik-baik. Jangan telat makan dan istirahat yang cukup. Bulan depan Mama dan Papa akan datang berkunjung.”
“Iya, Mama cantik.”
Setelah panggilan video dengan sang mama terputus, Kalila tidur terlentang diatas karpet bulu yang ada di ruang keluarga, mengerjapkan mata berulang kali sembari menatap lampu yang tergantung disana.
Dia bingung dengan perasaannya saat ini.
Mengapa dia masih terjebak dalam masa lalunya?
Bayang-bayang akan masa bahagia bersama Elard tersimpan rapi dalam memori otaknya.
Bagaimana bisa? Tentunya bisa karena Kalila tak berniat menghapusnya.
“Mas Elard tega sekali! Kalau tidak suka denganku kenapa harus melamar. Harusnya tolak saja saat Ayah Aksa memaksanya.”
Kalila menghembuskan nafas kasar. Memiringkan badannya sambil memeluk boneka teddy bear. “Kangen Mama—” tak terasa setetes air mata jatuh di atas permukaan kulit tangan yang menjadi tumpuan pipinya.
Kalila benar-benar kesepian dan tak ada yang tahu akan hal itu. Gadis itu selalu menunjukkan sikap ceria saat bertemu dengan rekan kerjanya.
Sama sekali tidak pernah terlihat sedih dengan mata sembab. Sepandai itu dia menyembunyikan rasa sakit dan penderitaan yang dirasakan setelah batalnya pernikahan empat tahun silam.
“Akhir kisah si anak pungut ya seharusnya begitu. Angan-angan untuk menjadi Nyonya Elard Al-Fathan harus pupus. Kasihan sekali.”
“Lagaknya ingin menjadi Nyonya besar kaya raya. Gak pernah ngaca dia itu berasal dari mana.”
“Sudah paling benar Elard tak memilihnya. Bakal sengsara hidupnya jika menikah dengan gadis si pembawa sial!”
Cemooh keluarga besar Mamanya selalu terngiang-ngiang di kepalanya. Membuat Kalila tidak berani pulang ke Jakarta karena tak yakin kuat mendengarkan kata-kata kasar itu lagi.
Mereka lagaknya seperti orang yang hidupnya paling sempurna. Menghakimi Kalila dengan mengungkit masalah asmaranya yang kandas.
***
Sisa hari libur di habiskan Kalila untuk melamun di taman apartemen. Hanya melamun sembari melihat anak-anak yang sedang berlarian kesana-kemari.
Ditangannya ada sebuah kopi hangat yang dibelinya secara online. Kalila mana mau mengantri di kedainya langsung, meski kedai itu berada di deretan ruko sebelah tempat tinggalnya.
“Hai, Tante Lila—” sapa gadis kecil yang sering memberinya permen kapas.
“Hai, Nomnom,” jawab Kalila saat Naomi telah berada di depannya.
“Maaf ya Tante malam ini aku tidak punya permen kapas. Stoknya habis karena tadi pagi hingga petang hujan deras. Mami malas keluar rumah.”
“Iya, gapapa. Lain waktu saja belinya.”
Naomi sering dititipkan pada Kalila ketika Maminya ada pekerjaan di luar kota. Maka dari itu, hubungan mereka sudah seperti keluarga sendiri.
“Nomnom turun ke taman sendiri?” tanya Kalila saat tak melihat tetangga apartemennya.
“Tadi Mami ikut turun. Tapi ada telepon dari Bos-nya jadi ya ditinggal deh. Tante kayak nggak tahu kerjaan Mami seperti apa.”
Kalila menarik tangan Naomi lalu memeluknya erat. Gadis kecil itu hanya tinggal berdua dengan Maminya. Sementara Papinya telah meninggal saat dia masih berusia dua tahun.
“Kenapa enggak telepon Tante Lila? Bahaya anak kecil malam-malam sendirian main di taman.”
“Ada banyak teman-teman Tante.”
“Nomnom tidak mengenal mereka ‘kan?”
Naomi menggeleng dalam pelukan Kalila. Lalu melingkarkan kedua tangan pada leher Tantenya. “Sayang banget sama Tante Lila.”
“Tante juga sayang sayang sayang banget sama Nomnom.”
Keduanya duduk bersisian di kursi taman sambil menatap langit malam tanpa bintang. Tangan mereka saling bertautan erat. Tak ada yang bicara, baik Kalila maupun Naomi hanya ingin menikmati kesunyian malam.
Hingga akhirnya, Naomi bertanya pada Tante kesayangannya. “Tante akan berlibur atau tidur seharian di apartemen saat tahun baru?”
“Tahun ini mau liburan daripada disuruh pulang ke Jakarta.”
“Ide bagus. Syukurlah, aku tidak perlu menyiapkan permen kapas dalam jumlah banyak.”
“Nomnom sama Mami mau liburan kemana?”
“Mau ke tempat yang banyak lumba-lumbanya dan masih berada di daerah Jawa.”
“Dimana tempatnya?”
“Karimun Jawa. Sekalian Mami mau berkunjung ke rumah saudara.”
“Happy holiday ya, Sayang,” ujar Kalila setulus hati.
“Happy holiday juga Tante Lila. Semoga setelah liburan Tante nggak sedih-sedih lagi.”
Kalila menoleh sejenak ke arah Naomi setelah itu kembali mendongak ke atas. Berharap doa yang baru dipanjatkan oleh temannya dikala kesepian itu dijawab oleh Tuhan.
“Eh, hujan lagi,” teriak Naomi.
“Masuk yuk,” ajak Kalila sembari beranjak dari tempat duduknya.
Mereka berlari menuju ke arah lobi apartemen. Diikuti orang-orang yang tadinya sedang berbincang santai di taman.
Biasanya gerimis turun lebih dulu namun malam ini langsung hujan deras. Hingga rambut dan pakaian Kalila dan Naomi basah terkena air.
“Dinginnya—” Naomi menggigil sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Kalila yang melihat Naomi menggigil langsung memeluk gadis yang kini duduk dibangku kelas 6 SD sembari menunggu pintu lift terbuka.
Saat pintu terbuka Kalila dikejutkan dengan keberadaan seseorang. Seorang yang tak pernah diharapkan kehadirannya di Jogja. Kota yang menjadi tempat persembunyiannya selama ini.
“Tidak mau masuk?” tawar Pria itu saat Kalila masih mematung ditempat.