Dipagi hari yang mendung, seorang gadis cantik baru bangun dari tidurnya karena gemuruh di perutnya. Akhir pekan saatnya dia bermalas-malasan seharian penuh. Tak peduli dengan puluhan panggilan dan pesan pada ponselnya. Ya, karena dia mengaktifkan mode silent.
Sebelum beranjak dari ranjang, Kalila meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Menguap lebar tanpa menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Masa bodoh dengan sikap joroknya itu, toh sekarang dia sedang berada di kamarnya.
“Selamat pagi dunia— apa keadaanmu masih baik-baik saja?”
Kalila menaruh sebelah tangannya pada telinga, seolah tengah mendengarkan jawaban atas pertanyaannya barusan, kemudian berkata, “Oh, baiklah, kalau kamu masih baik-baik saja. Aku tak perlu pindah dari kota gudeg ini.”
Selama empat tahun Kalila tinggal di Yogyakarta. Dan, selama itu pula dia tidak pernah pulang ke kota kelahirannya. Jika keluarganya merindukannya mereka yang akan datang menjenguk.
Gadis itu akan mengawali hari dengan memasak sarapan, kemudian menikmati sarapan itu sembari menonton drakor, setelahnya mencuci peralatan makan yang terakhir kembali menonton drakor hingga hari berganti.
Tak ada yang spesial dari kegiatannya di hari libur. Selama mengasingkan diri dia tidak pernah menyisihkan waktu untuk sekedar jalan ke mall.
Semua kebutuhannya sehari-hari saja dipesannya secara online. Mulai dari pakaian, peralatan mandi hingga bahan-bahan makanan.
Meski ada minimarket di bawah apartemen, Kalila sama sekali belum pernah masuk ke dalam sana. Padahal setiap hari dia melewatinya ketika berangkat dan pulang kerja.
“Pancake dan coklat hangat. Hm, nikmat tuhan mana lagi yang kamu dustakan—” ujarnya sambil berjalan menuju ke arah ruang keluarga.
Drakor yang akan ditonton hari ini berjudul ‘Suspicious Partner’ drama yang mengisahkan rekan kerja yang jatuh cinta saat menangani kasus pembunuhan.
“Mau nonton kisahnya Mama dan Papa,” ujarnya dengan terkekeh pelan.
Kalila mulai menyantap sarapannya saat drama telah diputar. Selimut yang selalu ada di atas sofa dia buka lebar untuk menutup kedua kakinya agar tidak kedinginan.
Di luar mulai turun hujan dengan lebat. Dapat terlihat dari jendela yang menjulang tinggi tanpa ditutup oleh gorden. Sebenarnya ada gorden hanya saja Kalila malas menutupnya.
Ting-tong ...
Kalila memutar kedua bola matanya ketika mendengar bel apartemen berbunyi. Pasti itu anak buah Mamanya yang datang untuk mengacaukan hari liburnya.
Bu Indira selalu punya cara untuk mengetahui keadaan putrinya. Apalagi sekarang dia memiliki anak buah kesayangan yang sangat menyebalkan bagi Kalila.
“Selamat pagi, Kalila cantik tapi bau—” sapa Eithan sembari menyunggingkan senyuman lebar.
Kalila meninggalkan tamunya setelah membuka pintu. Tak berniat mempersilahkan masuk karena tamu itu akan masuk sendiri.
“Mau apa kamu ke sini? Aku sedang tidak masak.”
“Justru aku yang akan memasak untuk tuan putri yang jarang mandi.”
Eithan menuju ke arah dapur dengan membawa plastik berisi sayuran segar serta buah-buahan. Meski sibuk bekerja dia selalu menyempatkan memasak sendiri.
Eithan tipikal pria yang rajin beberes apartemen, memasak dan tentunya sangat wangi. Berbanding terbalik dengan Kalila yang menyandang predikat jorok dan pemalas.
Rencana menonton drakor hingga esok hari batal. Kalila lebih memilih membersihkan ruang laundry sebelum raja kebersihan berkomentar panjang lebar.
“Kamar tidur sudah kamu bersihkan?” tanya Eithan ketika Kalila membawa tote bag besar berisi pakaian kotor.
“Sudah,” jawabnya singkat.
“Minggu kemarin?” tanya Eithan lagi.
“Menurutmu?” tanya balik Kalila dengan nada kesal.
Eithan tersenyum sembari menggelengkan kepala. Lalu melanjutkan acara masaknya, membiarkan putri malas itu membersihkan apartemen mewahnya.
***
“Hah, lelahnya. Hari liburku suram seperti cuaca di luar sana,” gerutu Kalila sembari menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.
Dia baru saja selesai mandi setelah beres-beres. Apartemen yang tadinya kumuh dan bau berubah menjadi sedap dipandang dan wangi.
“Mau makan sekarang apa nanti?” tanya Eithan.
“Nanti saja, aku sudah kenyang makan pancake dan minum coklat hangat. Kamu kalau belum sarapan makan saja dulu.”
“Aku juga sudah sarapan roti bakar dan s**u hangat.”
Eithan sibuk menggulir ipad-nya, kaca mata baca pun telah bertengger pada hidung mancungnya, sebentar lagi Kalila pasti akan diajak membahas pekerjaan.
Gadis itu telah mendengkus terlebih dulu. Paham jika Bos-nya tidak bisa santai barang sejenak. Harusnya weekend dia terbebas dari beban pekerjaan nyatanya weekend dan week day tak ada bedanya.
“Bagaimana perkembangan kasus plagiat desain baju kita?”
“Sudah selesai, mereka mengaku terinspirasi desain baju milik Kalelard. Untuk kerugian yang kita tanggung sedang dihitung oleh tim keuangan,” terang Kalila.
“Aku tidak mau hal seperti ini terjadi lagi. Mereka harus mendapatkan hukuman selain ganti rugi dalam bentuk materi.”
“Keputusan ada di tanganmu karena kamu lah pemilik perusahaan. Aku sebagai Tim Legal hanya menjalankan tugas dari atasan.”
“Kamu selalu berkata aku tidak memiliki hati nurani karena tega mematikan industri kecil yang bermasalah dengan perusahaan kita.”
“Ya, memang seperti itu ‘kan? Aku hanya mengatakan sebuah fakta.”
“Mereka salah karena telah menjiplak desain baju milik kita.” Eithan menegaskan sekali lagi jika penjiplak desain itu perbuatan melanggar hukum. “Perusahaan kita bisa bangkrut jika terus menerus mengalami kerugian setiap bulannya. Nasib ribuan karyawan ada ditangan kita, La.”
Kalila menghembuskan nafas kasar. Mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja. Saat dia membuka kunci ada ratusan pesan dari Mama, Papa dan kedua Kakaknya.
Dia mengabaikan pesan-pesan itu dan memilih fokus pada pekerjaannya. Benar yang dikatakan oleh Eithan jika perusahaan mengalami kerugian yang sangat besar.
“Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan para peniru itu. Bagaimanapun juga konsumen yang akan memilih. Buktinya mereka memilih pakaian tiruan karena harganya lebih murah. Sementara harga yang kita berikan jauh di atas daya beli masyarakat.”
“Kain yang mereka pakai di bawah standar kita. Namun, penjualan mereka bertambah puluhan persen setiap bulannya.”
“Puluhan?” tanya Kalila heran.
Eithan mengarahkan layar ipad pada Kalila. Dia baru saja melakukan analisis pasar. “Benar ‘kan?” tanyanya.
“Kita harus merubah strategi pemasaran. Jangan sampai baju ori tergeser dengan merek tiruan! Waktu kita beberapa bulan ini tersita hanya untuk memberantas para plagiator. Hingga tidak fokus pada pemasaran series baju terbaru yang baru launching.”
Keduanya terdiam sesaat, memikirkan cara menyelamatkan perusahaan yang sedang diambang kebangkrutan, sampai suara guntur membuat mereka terlonjak kaget.
“Aaaaaa—” teriak Eithan sembari memukul-mukul kepalanya.
Kasihan pada sahabatnya, Kalila sampai melanjutkan kuliah lagi dibidang manajemen. Dia adalah sarjana hukum seperti Mama dan Papanya jadi tak begitu mengerti tentang manajemen perusahaan.
“Kita lanjutkan diskusi saat di kantor. Hari ini aku benar-benar ingin mengistirahatkan otak. Lelah sekali aku setelah sidang skripsi.”
Eithan menoleh ke arah Kalila. Senyumnya mengembang. Dia lupa mengucapkan selamat pada sahabatnya. “Aku yang akan menjadi pasangan saat kamu wisuda,” ujarnya.
Bukannya mengucapkan selamat malah menggoda. Dasar Eithan!
“Aku tidak akan mengikuti wisuda. Selain malas, pekerjaan juga sedang menumpuk. Aku tidak mau perusahaan bangkrut karena itu berarti aku harus mencari pekerjaan lain.”
***
Pembahasan soal pekerjaan telah selesai. Sekarang sedang menonton drama yang sempat terjeda.
Awalnya Eithan tak menyukai drakor. Namun, setelah bertahun-tahun diracuni oleh Kalila akhirnya dia menjadi salah satu fans berat artis-artis korea.
“Lihatlah, wajahnya 11 12 denganku,” ujar Eithan penuh semangat.
“Heh, ngaca dulu! Mana ada Oppa Ichang mirip sama kamu,” jawab Kalila tak terima.
“Wajahku telah ditakdirkan ganteng semenjak ruh ditiupkan pada rahim Bunda. Jadi, aku tidak membutuhkan yang namanya kaca, kaca dan kaca.”
Kalila berdecak kesal, nonton drakor dengan Eithan akan berakhir rusuh. Tingkat kepercayaan diri Eithan sangat mengganggu konsentrasinya. Terlebih emosinya naik turun akibat kelakuan sahabatnya.
“Jalan-jalan ke luar yuk,” ajak Eithan tiba-tiba.
“Ogah! Kamu saja sana yang keluar cari angin. Biar otak kamu tidak penuh dengan pekerjaan. Oh, iya, sekalian cari pacar.”
“Hey, Kalila Hafiza Dirgantara anaknya Bapak Ihsan Dirgantara apakah di rumah ini kekurangan kaca?”
“Kenapa? Kamu mau bilang aku yang harusnya cari pacar, begitu?”
“Katanya sudah move on kok masih mencintai mantan yang telah selingkuh.”
“Apa itu cinta?” tanya Kalila sembari memukul kepala Eithan menggunakan bantal.
“Sejenis makanan khas Jogja yang terbuat dari nangka muda dimasak dengan santan. Itulah cinta,” jawab Eithan cekikikan.
“Ngarang! Itu gudeg namanya.”
Kalila tak lagi sedih saat orang disekitarnya mengungkit kejadian menyedihkan empat tahun yang lalu. Justru kejadian itu sekarang dibuat bahan bercandaan.
Dia pun menjadi konsultan cinta abal-abal saat teman kantornya sedang patah hati. Tahta tertinggi pengkhianatan oleh kekasih masih dipegang oleh Kalila. Maka dari itu, teman kantor berguru padanya.
“Bulan depan kita pulang ke Jakarta yuk,” ajak Eithan lagi meski tahu jawabannya apa.
Kalila meliriknya tajam, tapi hanya sesaat setelah itu kembali menatap layar TV.
Jakarta memang tempat kelahirannya. Orang-orang tersayangnya pun ada disana. Sebenarnya dia juga rindu dengan keluarganya.
Sayangnya ada seorang yang dia benci. Jika orang itu masih berada di Jakarta, Kalila tidak akan menginjakan kaki dikota itu lagi.
“Gak usah nangis! Aku hanya bercanda,” ejek Eithan.
“Dih, siapa yang nangis?! Air mataku terlalu berharga untuk menangisi Pria modelan Biawak. Mending buat menangisi Oppa Ichang.”
“Eleh, Biawak gitu pernah kamu cium-cium.”
Plak! Kalila memukul lengan Eithan lalu berkata, “Dasar Ghost, diam kamu!”
“Namaku Eithan woyyyyy—” teriak si manusia hantu.