Kekhawatiran Orang Tua

1369 Words
Sepulangnya dari kantor, Kalila langsung membantu Mamanya menyiapkan makan malam. Gadis itu terlihat ceria meski sempat mendapatkan cacian dan makian dari sahabat Viona. Pandai sekali Kalila menyembunyikan kesedihannya. Sampai kedua orang tuanya saja tak tahu jika hatinya tengah diliputi kebimbangan. “Dek—” panggil Bu Indira. Melihat putrinya serius memperhatikan ikan yang sedang digoreng membuatnya heran. Segitu perhatiannya dengan ikan hingga mengabaikan orang disekitar. “Iya, Ma,” Jawab Kalila. “Gak bakalan bertengkar itu ikannya. Gak usah dipelototin begitu.” Kalila mengerucutkan bibirnya. Tujuannya memperhatikan ikan dalam wajan adalah ingin melihat ikannya menempel satu sama lain atau tidak. Karena ini kali pertama gadis itu menggoreng ikan setelah empat tahun tak berteman dengan dapur. “Ih, Mama jahil banget,” rengeknya manja. “Lagian kenapa sih lihat ikannya sampai sebegitunya Dek?” “Lila tuh takut kalau ikannya menempel satu sama lain. Penampilannya jadi nggak aesthetic.” Bu Indira tertawa mendengar penuturan putrinya. Makanan itu yang penting rasanya bukan penampilan. Percuma jika penampilannya cantik tapi rasanya tak layak dimakan. Lagipula Pak Ihsan tak pernah rewel soal makanan. Semua masakan buatan sang istri atau anak bontotnya akan dihabiskan dengan lahap. “Selama ini Adek bergantung dengan Eithan jadi lupa cara goreng ikan.” “Entah kenapa Lila jadi malas masak. Sekalinya masuk dapur cuman masak menu makanan yang simpel biar cepat selesai.” “Malas cuci peralatan dapur lebih tepatnya.” Tebakan Bu Indira seratus persen benar. Putrinya memang malas beberes apartemen. Tiap hari libur lebih memilih rebahan seharian sembari maraton drakor. Membiarkan tempat tinggal mewahnya berubah jadi kumuh. Hingga bau tak sedap menguar dari peralatan makan yang menumpuk di atas wastafel, baju kotor yang bertebaran di seluruh ruangan hingga bungkus makanan ringan berserakan di lantai. “Kemarin Lila sudah membersihkan apartemen. Saking wanginya taman bunga saja kalah, hehe.” “Adek bersih-bersih takut Bunda Aisha tiba-tiba datang ‘kan?” Lagi-lagi Bu Indira bisa menebak isi kepala putrinya. Memang itu alasan yang membuat Kalila tiba-tiba rajin. Karena sahabatnya Eithan suka jahil, bisa saja membawa Bunda Aisha main ke apartemennya tanpa bilang dulu. “Salah satunya itu tapi ada yang lainnya juga.” “Karena bertetangga dengan mantan?” “Dih, buat apa aku sungkan sama dia. Mama malah membicarakannya sih.” “Ya siapa tahu jantung Adek masih berdebar setiap berdekatan dengannya.” Bu Indira sengaja memancing putrinya agar bicara. Beliau ingin tahu apakah Kalila masih mencintai Elard. Meski pandai menyembunyikan kesedihan, Kalila payah dalam hal kejujuran, dipancing sedikit langsung keluar semua rahasia yang disimpannya dengan rapat. “Adanya debaran kebencian,” jawab gadis itu tanpa berani menatap mata Mamanya. “Adek mencoba membohongi Mama?” Bu Indira memiringkan tubuhnya agar dapat melihat wajah cantik anak gadisnya. Kalila masih mencoba mengalihkan tatapannya pada mata sang mama. Bukan karena dia masih mencintai Elard tapi takut tak kuasa membendung air mata. Tiba-tiba hatinya seperti dicubit saat teringat tuduhan Elard soal kematian calon anaknya. Tega sekali mantan tunangannya itu mengatakan jika dialah yang memasukkan obat dalam minuman Viona. “Sepertinya Mama tidak bisa melanjutkan acara masaknya,” ujar Bu Indira. “Ma—” Kalila menarik lengan Bu Indira ketika akan meninggalkan dapur. “Beri Lila waktu. Lila janji bakal cerita tapi enggak sekarang.” “Iya, gapapa kalau Adek belum mau cerita. Mama tidak akan memaksa.” Bu Indira meninggalkan putrinya yang masih mematung di tempat. Bukannya beliau marah melainkan kecewa dengan dirinya sendiri. Empat tahun lebih Kalila memendam rasa sakitnya sendiri tanpa mau membagi dengannya. Sebagai seorang Ibu tentunya Bu Indira merasa gagal. Tidak mampu membuat putrinya percaya dengannya. Hingga gadis bungsunya memilih mengasingkan diri. Pak Ihsan menyaksikan sejak awal perbincangan antara istri dan anaknya. Beliau sengaja memperhatikan dari jauh karena tidak mau mengganggu. Ternyata putrinya masih berusaha berpura-pura bahagia. “Mama marah Pa,” gumam pelan Kalila saat melihat kedatangan Papanya. “Biar dilanjutkan sama Bibik masaknya. Lebih baik Adek temani Papa menghabiskan teh ditaman belakang. Mumpung cuaca sedang bagus dan banyak bintang bertaburan di atas dilangit,” ujar Pak Ihsan. “Makan malamnya gimana?” tanya Kalila sedih. Baru saja mulai masak, dia sudah mengacaukan suasana hati Mamanya, sampai sang mama memilih meninggalkan dapur. Pak Ihsan memeluk bahu putrinya, mengajak pergi ke arah taman belakang, mengatakan jika Mamanya tidak marah melainkan butuh waktu menenangkan diri. Keputusan pindah ke Jogja menurut Pak Ihsan memang sudah paling tepat. Putrinya seperti orang yang kehilangan arah setelah pindah ke rumahnya. Tidak ada lagi tempat bersembunyi kala ingin menangis. Karena setiap waktu Pak Ihsan dan Bu Indira berada di samping Kalila. Keduanya ingin menjadi tempat paling nyaman untuk Kalila menumpahkan kesedihan. Itu lah yang membuatnya mengusik ketenangan putrinya. Sudah waktunya Kalila bangkit dari keterpurukannya. Jika memang benar-benar telah melupakan Elard seharusnya gadis itu melanjutkan hidupnya tanpa rasa sakit yang selama ini dipendam. “Adek ngapain saja seharian ini?” tanya Pak Ihsan setelah duduk di atas kursi taman. Di tangannya memegang secangkir teh melati yang mulai dingin. “Hanya pergi ke Trisula Textile sampai sore. Setelah penandatanganan kontrak Lila ngobrol lama sama istri dan anak-anak Mas Gio.” “Apa ada masalah yang terjadi saat berada di sana?” Kalila memeluk lengan Papanya lalu menyandarkan kepalanya. Sebelum menjawab gadis itu menghela nafas panjang kemudian menghembuskan dengan kasar. “Lila bertemu dengan Hasna, sahabat dari Viona.” “Adek diam saja saat dihina?” “Tentu saja tidak Pa. Lila hanya memancing sedikit agar Hasna mengatakan tempat tinggal Viona saat ini. Untuk pembalasan sudah diurus sama Mas Gio.” “Elard?” “Sama dia juga.” Pak Ihsan mengerti jawaban dari putrinya tapi beliau menginginkan penjelasan yang lebih detail lagi. “Maksudnya?” “Bos Elard membela Lila. Meminta Hasna membawa pergi Viona dari Jogja dalam waktu lima jam.” “Oh, sekarang sudah membela Adek setelah menuduh telah membunvh calon anaknya. Cepat sekali dia berubah pikiran.” “Pa?” Kalila membenarkan duduknya. “Sejak kapan Papa tahu?” tanyanya lagi. Pak Ihsan mendengkus kesal, Kalila memang lain dari yang lain. Punya orang tua pengacara handal bukannya dimanfaatkan malah memilih mengasingkan diri, pagi hingga sore bekerja bagaikan robot dan malam hari mengurung diri dalam apartemen. Seharusnya dia meminta Papanya memenjarakan Elard dan Viona karena telah menyakitinya. Gadis itu memilih kabur meninggalkan Jakarta dan seluruh keluarganya. “Papa tahu semua hal tentang Adek selama empat tahun ini.” “Lila enggak menyangka jika Elard akan berpikiran seperti itu. Padahal dia tahu jika Lila tak pernah menginjakkan Kaki di Jakarta setelah batalnya pernikahan. Lalu bagaimana caranya Lila memasukkan obat ke dalam minuman Viona hingga keguguran? Sungguh fitnah yang sangat kejam.” Akhirnya, Kalila mau menceritakan masalahnya pada orang tuanya. Meskipun harus dipancing lebih dulu. “Adek sekarang pengennya gimana?” “Membantu Eithan menyelamatkan Kalelard. Setelah itu, Lila akan mengajukan resign.” “Perjanjian mu dengan Elard akan berlanjut?” “Perjanjian apa Pa?” Kalila melupakan jika masih terikat kontrak menjadi kekasih Elard. Tak ada perjanjian tertulis hanya ucapan saja saat mereka tak sengaja bertemu di sebuah restoran beberapa waktu yang lalu. Luar biasanya Pak Ihsan bisa tahu hal bodoh yang telah dilakukan oleh putrinya. Saking gemesnya dia ingin menjitak kepala anak gadisnya itu agar kembali ke jalan yang benar. “Astagfirullah, Lila sampai lupa. Maaf Papa—” Kalila menggaruk kepalanya sambil meringis. Kesepakatan yang telah dibuatnya memang asal ucap saja. Hanya untuk membantu Eithan yang sedang dalam kesulitan. “Masih cinta sama pria itu?” “Ya nggak lah, Pa! Lila hanya ingin membantu Eithan.” “Bukannya Giorgio telah bersedia bekerjasama dengan Kalelard?” “Hm, sebentar lagi Kalila akan resign.” “Setelah itu Adek pulang ke Jakarta.” “Mau pindah ke Bali.” “Adek— kamu ini mau menjelajah nusantara apa gimana, ha? Rumahmu ada di Jakarta. Saudara dan keponakan mu disana semua. Mau apa pindah ke Bali?” “Pengen tinggal di villa milik Mama. Disana Lila akan bermain di pantai setiap hari. Menikmati kehidupan yang selama empat tahun ini terasa hampa.” “Pulanglah Nak— buka lembaran baru agar hidupmu kembali berwarna. Papa dan Mama akan menemani Adek hingga berhasil bangkit dari keterpurukan.” Pak Ihsan sampai memohon pada putrinya agar mau kembali ke Jakarta. Beliau takut jika Kalila mengulangi hal gila seperti empat tahun yang lalu. Kabur tanpa seijinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD