"Ini salah Mama. Harusnya Mama tidak terlalu banyak bicara sama Ainun. Harusnya Mama tidak mengatakan ini dan itu ... hiks ... hiks ...." Mama masih menangis terisak di sampingku.
Aku melirik Mama sekilas, lalu kembali fokus menyetir. Pagi ini terpaksa aku tidak pergi bekerja karena kedatangan Mama yang tak terduga. Mama tampak masih sangat emosional sejak datang ke rumah tadi, hingga akhirnya aku pun menuruti keinginan Mama untuk mencari Ainun, meski aku sendiri tidak tahu mesti mencari kemana. Tujuan pertamaku saat ini adalah mendatangi kediaman kedua orang tua Ainun untuk mencari tahu siapa saja teman yang akrab dengannya. Jika menemui teman-temannya, siapa tahu salah satu dari mereka ada yang punya informasi tentang Ainun.
Memang tidak banyak yang kuketahui tentang Ainun, selain siapa kedua orang tuanya dan di mana mereka tinggal. Selama hidup satu atap, aku tak pernah mempedulikannya. Bahkan berbicara padanya pun hanya sesekali, itupun seringkali pembicaraan yang kurang mengenakan. Ainun juga tak pernah mengajakku bicara selain untuk hal-hal yang penting.
Kami memang tinggal bersama, tapi seolah dalam dimensi yang berbeda. Sebelum kejadian yang kemudian membuatku terpaksa harus menikahinya, aku hanya mengenalnya sebatas seorang gadis petugas kebersihan di kantor tempatku bekerja dulu. Tidak lebih. Praktisnya, kami adalah dua orang asing yang tak saling memgenal satu sama lain.
"Memangnya apa yang sudah Mama katakan pada Ainun sampai dia nekat pergi dari kontrakannya?" Akhirnya aku bertanya setelah dari tadi hanya terdiam.
"Mama hanya membujuk dia supaya mau pulang. Mama kasihan melihat dia mengurus Farhan sambil bekerja."
"Ainun mengurus Farhan sambil bekerja?" Tanpa sadar aku kembali bertanya dengan nada yang sedikit berubah. Tapi sejurus kemudian, aku merasa canggung sendiri begitu menyadari jika aku terdengar sedang mengkhawatirkan Ainun.
"Iya, Ainun bekerja jadi tukang bersih-bersih di rumah pemilik kontrakan. Pemilik kontrakan itu juga punya rumah makan, jadi Ainun bantu juga di sana jadi tukang cuci piring. Dia tidak cerita sebelum akhirnya Mama yang lihat dengan mata kepala Mama sendiri. Mama benar-benar sedih melihatnya, Arkan. Waktu melihat dia bekerja sambil menggendong Farhan, hati Mama rasanya seperti diiris-iris." Mama kembali terisak sambil sesekali menyeka air matanya.
Ainun menjadi tukang bersih-bersih seperti pekerjaannya dulu? Aku tercenung. Serasa ada pukulan tak kasat mata yang menghantam ulu hatiku. Begitu nyeri dan sesak rasanya mendengar penuturan Mama tadi.
"Tadinya Mama pikir dia akan menuruti keinginan Mama, karena selama ini dia tak pernah membantah dan selalu patuh pada kata-kata Mama. Tapi rupanya dia memilih untuk menghilang. Hatinya pasti sudah benar-benar sakit sampai nekat kabur begini. Mama jadi menyesal sudah meminta dia untuk kembali. Kalau tahu begini, Mama dukung saja dia untuk berpisah denganmu, setidaknya Mama masih bisa bertemu dengan Farhan," ujar Mama lagi dengan suara serak dan agak bergetar.
Aku kembali menoleh sekilas ke arah Mama dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Tak terbayangkan olehku jika Mama akan sesedih ini saat Ainun pergi dari kehidupanku. Aku masih belum mengerti, kenapa Mama yang dulu sulit menerima Reina bisa begitu menyayangi Ainun. Memangnya apa yang telah Ainun lakukan sampai bisa mengambil hati Mama?
"Sudahlah, Ma. Tenangkan diri Mama. Sekarang kita cari dia sampai ketemu." Aku berusaha menenangkan Mama. Mudah memang berbicara, padahal aku sendiri tidak tahu harus mencari kemana.
Mama mengangguk sambil kembali menyeka air matanya. Tampaknya beliau sedikit tenang mendengar kata-kataku tadi. Aku pun akhirnya bisa sedikit lega dan kembali fokus pada jalanan yang ada di hadapanku.
Tak lama kemudian, kami tiba di pelataran sebuah rumah sederhana. Rumah yang berdiri di lahan yang cukup luas, tapi bangunannya sudah usang termakan usia. Rumah kedua orang tua Ainun.
Rumah itu terlihat sepi. Aku dan Mama turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah. Tak lama kemudian, seorang perempuan paruh baya membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk. Perempuan itu tak lain ibunya Ainun, mertuaku
"Kalau kalian ke sini mencari Ainun, saya sudah bilang kalau saya tidak tahu kemana dia pergi," ujar mertuaku itu setelah mempersilahkan kami duduk. Nada bicaranya terdengar kurang bersahabat.
"Kami cuma mau tanya, siapa saja teman yang dekat dengan Ainun, yang sekiranya tahu kemana Ainun pergi." Mama menanggapi dengan hati-hati.
"Saya tidak tahu dan tidak mau tahu. Tanya saja sama anak Anda. Dia suami Ainun, pasti lebih tahu siapa teman-teman istrinya." Ibunya Ainun melihat ke arahku dengan tatapan tak yang entah, sulit untuk dijabarkan.
"Tapi ibu kan ibunya Ainun, jadi pasti lebih tahu siapa yang dekat dengan Ainun," sanggahku.
"Dia bukan anak saya! Saya tidak punya anak yang kerjanya membuat susah seperti dia. Lagipula, kenapa juga kalian membiarkan dia pergi kalau masih mau dicari seperti ini?"
Aku dan Mama hanya bisa terdiam dan tak bisa berkata apapun. Aku sendiri agak terkejut mendengar mertuaku tak mengakui Ainun sebagai anaknya. Setahuku, ibunya Ainun ini memang ibu sambung, tapi bagaimana bisa dia mengatakan hal kejam seperti itu?
Hatiku tiba-tiba saja mencelos. Bukankah sikap ibunya Ainun ini tak jauh berbeda dengan sikapku pada Farhan? Lalu kenapa sekarang aku mencela perempuan paruh baya itu?
Sedikit demi sedikit, aku mulai menyadari jika yang sudah kulakukan pada Ainun dan Farhan memang cukup kejam. Tapi egoku terus saja menolak untuk mengaku salah.
"Kalau begitu, boleh kami berbicara dengan ayahnya Ainun? Mungkin saja beliau tahu siapa teman yang dekat dengan Ainun dan bisa membantu kami memberi informasi tentang Ainun," ujar Mama lagi.
"Suami saya sakit dan sedang beristirahat di kamarnya. Jangan pernah menyinggung tentang Ainun di hadapannya. Dia akan langsung drop jika mendengar nama anak itu," jawab ibunya Ainun cepat.
"Maaf, jika tidak ada urusan yang lain lagi, saya permisi ke belakang. Masih banyak yang harus saya kerjakan." Ibunya Ainun bangkit dari duduknya, hingga kami pun ikut bangkit.
Aku dan Mama merasa tak enak dan langsung pamit undur diri karena sudah diusir secara halus. Sikap yang sangat tidak bersahabat sudah ditunjukkan mertuaku itu sejak awal pernikahan kami. Selama ini hal itu tidak terlalu mengusikku, karena aku tidak peduli apapun yang berkaitan dengan Ainun. Tapi sekarang hatiku merasa miris. Bahkan orang tuanya sendiri tak mempedulikan Ainun. Aku baru menyadari jika hidup istriku itu ternyata cukup menyedihkan.
"Kita cari tahu kemana lagi, Arkan?" tanya Mama dengan nada putus asa.
Aku terdiam sambil berpikir bagaimana caranya mencari keberadaan Ainun. Mau melaporkan hal ini ke polisi rasanya tidak mungkin, karena Ainun pergi atas kemauannya sendiri, bukan menghilang dengan dugaan penculikan. Mau mencari tahu dari teman-temannya juga tidak bisa karena aku tidak tahu satupun teman Ainun. Haruskah aku menyewa jasa seseorang untuk mencari keberadaannya?
"Seandainya saja kamu tidak terlalu jahat pada Ainun, ini semua tidak akan tejadi, Arkan." Mama bergumam lirih sembari menyeka air matanya yang kembali jatuh.
"Jika terjadi apa-apa pada Ainun atau kamu tidak berhasil menemukan Ainun, Mama tidak akan pernah memaafkanmu. Seumur hidup, Mama tidak akan pernah memaafkanmu, Arkan. Ingat itu!" tambah Mama lagi dengan nada lebih keras dan penuh penekanan.