Tes DNA
"Aku ingin tes DNA!" seruku lantang di hadapan seluruh keluarga. Suasana yang tadinya hangat dan penuh senda gurau, tiba-tiba menjadi sunyi. Semua mata tertuju padaku. Terutama mata kedua orang tuaku yang beberapa detik tadi terlihat sangat bahagia merayakan kelahiran bayi yang mereka yakini sebagai cucu.
"Arkan?" Mama menatapku dengan raut tak percaya. Perempuan yang telah melahirkan ku itu tampak terkejut dengan apa yang didengarnya tadi.
Aku menatap sekeliling. Saat ini di rumahku masih ada beberapa tamu karena Mama baru saja selesai mengadakan syukuran. Sebuah acara sederhana setelah satu bulan lebih perempuan yang belum lama ini kunikahi melahirkan seorang bayi lelaki. Bayi yang katanya sangat mirip denganku disaat aku sendiri tak yakin jika dia benar-benar darah dagingku.
Wajah Mama terlihat sedikit gusar. Untung saja tamu yang tersisa saat ini semuanya masih keluarga, begitu mungkin pikirnya saat aku melontarkan kalimat mengejutkan tadi.
"Apa maksudmu, Arkan?" Kali ini suara Papa yang terdengar.
"Aku tidak yakin bayi itu anakku," jawabku dengan nada datar.
"Kenapa kamu tidak pernah menyebut namanya. Bayi itu punya nama. Namanya Farhan, dan dia anakmu." Mama menyela.
"Aku tidak peduli siapa namanya. Aku tidak akan pernah mengakuinya sebagai anakku sebelum hasil tes DNA menyatakan jika dia memang darah dagingku." Aku kembali berujar dengan dingin. Mataku lekat menatap kearah perempuan yang kini sedang memangku bayinya sembari menunduk.
Heh, aku tersenyum sinis melihat perempuan itu. Dia selalu memasang wajah teraniaya saat ada di hadapan seluruh keluargaku, terutama di depan Mama dan Papa, seolah disini dialah yang terzolimi. Benar-benar pandai berakting. Sayang sekali dia tidak menjadi seorang aktris sehingga bakatnya itu menjadi sia-sia saja.
"Bagaimana kamu bisa bilang begitu? Tidakkah kamu lihat wajah Farhan sangat mirip denganmu? Beginilah rupamu waktu kamu masih bayi dulu, Arkan." Mama berujar lagi sembari membelai wajah bayi itu dengan jemarinya.
"Aku tetap tidak percaya. Perempuan ini melakukan hal rendah demi untuk menikah denganku. Darimana aku tahu jika anak yang dilahirkannya benar-benar anakku? Bisa saja dia sudah hamil saat menjebakku waktu itu." Aku sudah tidak tahan lagi. Aku muak terus bersabar di hadapan perempuan licik ini. Perempuan sok lemah yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Kejadian waktu itu benar-benar telah membuat hidupku hancur. Selepas mengikuti acara reuni, tiba-tiba aku terbangun di sebuah kamar, seranjang bersama seorang perempuan tanpa mengenakan busana dan tak mengingat apapun. Lalu selang beberapa bulan kemudian, perempuan itu datang mencariku untuk meminta pertanggung jawaban. Dia hamil dan bersikeras jika aku adalah ayah dari anak yang dikandungnya. Padahal saat itu aku sudah punya tunangan dan akan menikah dalam waktu dekat.
Kehidupanku kacau. Atas desakan berbagai pihak, termasuk tunanganku sendiri, aku akhirnya terpaksa menikahi perempuan itu. Perempuan yang aku yakini sedari awal memang telah merencanakan semua itu. Dan dia pasti senang karena rencana yang dibuatnya sukses besar.
Ainun, perempuan yang sedari tadi kutuding dengan kata-kata pedas itu mengangkat wajahnya dan menatap kearahku. Matanya berkaca-kaca dan tampak begitu terluka. Tapi aku tak akan tertipu dengan sandiwaranya ini. Dia mungkin bisa membohongi semua orang dengan wajah memelasnya, tapi tidak denganku. Beberapa bulan hidup bersama sejak aku terpaksa menikahinya membuatku paham setiap akal bulusnya. Dia akan memanfaatkan simpati orang untuk berpihak kepadanya hingga dia bisa mendapatkan semua yang yang dia mau. Itulah yang dilakukannya selama ini.
"Tidak perlu melakukan tes DNA." Akhirnya aku mendengar suara Ainun menanggapi.
Aku kembali tersenyum sinis padanya.
"Kenapa? Apa kamu takut kedokmu terbongkar jika kita melakukan tes DNA? Bayi ini memang bukan anakku, kan?" tanyaku dengan sarkas.
Ainun menghela nafasnya, seakan sedang menahan sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Mulutnya tertutup rapat meski aku tahu dia ingin menyangkal. Kena kau! Tes DNA tak bisa dibohongi. Pasti dia sedang risau karena tak ingin kebusukannya sampai terbongkar dihadapan keluargaku. Puas rasanya bisa melihat perempuan licik ini tak berkutik.
"Aku tidak mau melakukan tes DNA bukan karena takut, tapi aku tidak mau membuang uang dan waktumu. Karena kamu pasti tidak akan terima hasilnya nanti," jawab Ainun dengan suara yang sedikit bergetar.
"Di dalam hatimu sudah dipenuhi dengan kebencian dan prasangka buruk. Tes DNA tidak akan bisa menghapus itu," tambah Ainun lagi sembari bangkit dan membawa bayinya berlalu dari hadapanku.