Pukulan dari Papa

1084 Words
Setelah puas mendengarkan cerita tentang Ainun dari Bu Ratna, aku dan Mama akhirnya pamit undur diri. Tak lupa kutinggalkan nomor kontakku pada Bu Ratna, agar beliau bisa segera memberitahuku jika seandainya Ainun menghubungi menggunakan nomor kontaknya yang baru. Bu Ratna ikut mengantar kami sampai ke dekat warung makannya, tempat mobilku terparkir. Karena hari sudah mulai siang, kuputuskan untuk mengantarkan Mama pulang dulu karena aku juga masih harus pergi ke kantor. Setelah itu, baru aku pikirkan lagi caranya untuk menemukan keberadaan Ainun. "Jalan kemana lagi kita?" tanya Mama sambil menoleh kearahku. "Aku antar Mama pulang dulu, setelah itu aku mau ke kantor," jawabku sambil fokus menyetir. "Istri dan anakmu menghilang, bisa-bisanya kamu masih memikirkan pekerjaan? Ternyata selain tidak punya otak, kamu juga tidak punya hati, ya?" Mama melotot ke arahku dengan nafas yang agak memburu. Aku membuang nafas kasar. Sejak Ainun pergi malam itu, Mama terus saja mengucapkan kata-k********r dan melontarkan makian padaku hingga tak jarang membuat telingaku menjadi panas. Entah kemana perginya bicara Mama yang selama ini selalu lemah lembut, terutama padaku, anak lelaki beliau satu-satunya. "Terus kita mesti kemana lagi? Mama dan aku sama-sama tidak tahu banyak tentang Ainun, jadi sulit untuk mendapatkan informasi tentang keberadaannya." Aku menjawab sekenanya karena sedikit kesal mendengar kata-kata Mama barusan. "Terus kamu mau menyerah begitu saja? Kamu tidak ada niat untuk mencari Ainun hanya karena tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya? Setidaknya lapor ke polisi jika istrimu itu hilang," ujar Mama geram. Aku kembali menghela nafasku. "Ma, Ainun itu bukannya hilang, tapi sengaja menghilang. Percuma kita lapor polisi, lagian mau bilang apa kita sama polisi? Mau bilang kalau dia kabur karena aku curiga dia menipuku?" Mama mendengkus kesal mendengar ucapanku. "Terus saja kamu berpikiran kalau Ainun menipumu. Tidak masuk akal sekali kamu, Arkan. Dasar bebal!" maki Mama lagi. "Yah kalau tidak bisa lapor polisi, kamu berusaha untuk melakukan apa kek biar Ainun ketemu." Kali ini Mama yang menjawab asal. Ada nada panik terdengar dari nada bicaranya Aku melirik Mama sekilas. Aku tahu Mama khawatir, itulah sebabnya beliau mulai berbicara asal. Mama memang suka mengatakan hal ambigu, rancu dan terkesan tak dipikirkan lagi jika ia berada dalam keadaan panik. "Aku akan memikirkan cara untuk menemukan Ainun, bila perlu aku akan menyewa orang untuk mencari tahu keberadaannya. Jadi sekarang lebih baik Mama pulang saja dulu. Kita kesana-kemari tidak jelas juga tidak akan ada gunanya, buang-buang waktu dan energi saja." Aku berusaha menjelaskan pada Mama. Kulihat Mama sekilas. Beliau kembali mendengkus sambil membuang muka ke arah luar kaca mobil, tapi tak mendebatku lagi. Itu artinya Mama setuju untuk pulang. Aku kembali fokus menyetir sembari tenggelam dalam pikiranku sendiri. Teringat kembali cerita Bu Ratna tadi tentang Ainun tadi. Tentang bagaimana dia bertahan selama tiga bulan terakhir di kontrakan Bu Ratna. Katanya, demi untuk membayar uang kontrakan di bulan kedua, Ainun meminta tolong Bu Ratna untuk memberinya pekerjaan, hingga Bu Ratna akhirnya terpaksa menjadikan Ainun tukang beres-beres rumahnya sebagai timbal balik karena sudah diizinkan tetap tinggal di sana. Setelah selesai beres-beres, siang harinya Ainun juga membantu di warung makan Bu Ratna sebagai tukang cuci piring. Tenaganya itu ditukar dengan mendapatkan makan tiga kali sehari dari warung Bu Ratna, dan seringkali ditambahkan dengan sedikit uang juga. Semua pekerjaan itu Ainun lakukan karena dia tak ingin hanya mendapatkan tempat tinggal dan makan gratis dari Bu Ratna. Dia mengerjakan semuanya dengan sigap sambil menggendong Farhan dengan menggunakan kain gendongan. Bu Ratna mengatakan, tak pernah beliau mendengar Ainun mengeluh atau pun menangis meski keadaannya sulit. Tapi di sisi lain, Ainun juga tak pernah terlihat tersenyum selain saat melihat Farhan. Perempuan itu seperti sedang memendam sebuah beban berat yang harus ditanggung dan ditahannya seorang diri. Aku menghela nafas panjang. Dadaku terasa semakin sesak dan pikiranku juga bertambah kalut. Aku memang membencinya dan menginginkannya pergi dari hidupku, tapi tidak seperti ini juga. Yang aku inginkan hanyalah membuktikan pada semua orang bahwa bukan aku yang telah membuatnya hamil. Aku bukan lelaki b***t yang tega m*****i anak gadis orang. Bahkan Reina yang sudah kupacari selama tiga tahun saja tidak pernah kusentuh, apalagi dia, perempuan yang tidak terlalu aku kenal. Ah, aku terkadang masih belum bisa menerima takdir yang seakan mempermainkanku. Tanpa terasa, mobilku sudah berada di halaman rumah Mama dan Papa. Terlihat Papa yang sedang menunggu di teras rumah, tampak langsung bangkit dan menghampiri mobilku. Aku turun dan membukakan pintu mobil untuk Mama. Tapi tiba-tiba saja .... Bughh!!! Satu pukulan mendarat tepat di wajahku. Aku terhuyung dengan sedikit terkejut. Kulihat Papa sudah kembali mengambil ancang-ancang untuk memberikanku pukulan lagi. "Pa, sudah, Pa, jangan begini." Mama yang juga terkejut langsung menahan Papa. Sedangkan aku menyeka darah yang keluar dari sudut bibirku sambil memandang ke arah Papa dengan penuh tanda tanya. "Dasar anak kurang ajar! Apa nasihat yang kuberikan hanya numpang lewat saja di telingamu? Apa kamu tuli? Jika kamu mendengar sedikit saja apa kata Mama dan Papamu, semuanya tidak akan jadi seperti ini. Istri dan anakmu tidak akan menghilang tanpa jejak begini!!!" Suara Papa terdengar menggelegar. Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat Papa terlihat sangat murka. "Sudah berulangkali Papa memintamu untuk segera menjemput Ainun dan Farhan, tapi kamu cuma menganggapnya angin lalu saja. Bukankah sudah sering Papa katakan, Papa tidak pernah menuntutmu menjadi apapun, Papa hanya ingin kau menjadi lelaki yang bertanggung jawab, bukan lelaki pengecut seperti sekarang ini!" Papa mencengkram kerah bajuku dan bersiap untuk memukul lagi. "Istighfar, Pa. Tidak ada gunanya memukuli Arkan. Biar dia mati babak belur sekali pun, tidak akan membuat kita menemukan Farhan dan Ainun," ujar Mama sambil kembali menahan kepalan tinju Papa. "Padahal selama ini Papa sudah berusaha untuk menjadi contoh yang baik untukmu, tapi kenapa kamu, anak lelaki satu-satunya malah membuat Papa malu seperti ini. Bagaimana bisa kamu bisa menjadi sangat tidak bertanggung jawab, Arkan?" Papa melepaskanku dan mengusap wajahnya kasar. "Memangnya apa yang sudah kulakukan? Aku hanya mengatakan ingin melakukan tes DNA agar bisa memastikan jika Farhan itu benar anakku atau tidak. Jika memang Ainun jujur, kenapa juga dia mesti kabur?" Aku menyangkal karena tak terima mendengar kata-kata Papa. "Apa kamu belum juga sadar jika bukan kebenaran yang sedang kamu cari, Arkan? Tapi pembenaran untuk tindakanmu yang terus-terusan menyakiti Ainun. Jika kamu memang ingin mencari tahu kebenaran tentang Farhan, kamu bisa melakukan tes DNA secara diam-diam bahkan sejak Farhan masih berada di dalam kandungan. Sebagai seorang pengacara, kamu pasti sangat tahu cara mencari kebenaran itu lebih dari Mama dan Papa. Tapi kamu tidak pernah melakukan itu, kamu tenggelam dalam kebencian tak berdasarmu dan begitu menikmati menyiksa bathin Ainun setiap hari. Apa nama tindakanmu itu jika tidak dibilang sebagai tindakan pengecut? Jawab, Arkan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD