Bagian 8

1477 Words
Antonia di pusat pelatihan saat pertama kali menginjakkan kakinya di sana tentu saja menjadi perhatian orang-orang. Setelah mendengar desas-desus bahwa dia adalah putri kerajaan Jepang satu-satunya di abad ini, tidak ada seorangpun yang mengalihkan pandangannya dari perempuan itu. Setiap langkahnya menjadi sorotan, dan Antonia akan selalu menjadi perbincangan di semua kalangan yang terpilih untuk berlatih di tempat ini. Jika ditanya risih atau tidak, tentu saja Antonia dapat mengangguk kencang. Namun mengenai jati dirinya yang tidak pernah bisa di ubah sebagai keturunan keluarga kekaisaran itu, Antonia hanya perlu membuat telinganya untuk berpura-pura tuli. Apalagi setelah banyak rumor aneh yang bertebaran di seluruh dunia setelah menyenangkan balasan mereka kepada sekelompok teroris lalu. Seperti kata pamannya tempo lalu. Antonia hanya perlu membuktikan dirinya, menunjukan keahlian dan kemampuan terbaik yang dia punya kepada semua orang. Dan sebisa mungkin perempuan itu akan membuat mereka bungkam. "Antonia, kau benar-benar mencentang semua divisi? Jadwal harian mu akan cukup padat kalau begitu." Seorang pelatih dengan tablet di tangannya mengerutkan dahinya heran dengan perempuan yang satu ini. Kebanyakan orang-orang mengambil divisi pelatihan hanya sebatas tiga sampai empat buah karena semuanya bisa memeras otak, namun Antonia justru dengan enteng menconteng seluruhnya. "Aku akan mengambil semuanya dan jangan tanyakan apapun alasannya." Di ruangan putih yang akan digunakan sebagai tempat tes IQ dan kepribadian itu, Antonia duduk dengan tegap di depan ke-empat orang dihadapannya. "Kalau begitu kita akan melakukan tahap awal." Mendengar ucapan salah satu pelatih dan pengujinya di sana, Antonia mengangguk patuh. *** Kemampuan Antonia tentu saja membuat semua orang tercengang. Dari keseluruhan divisi yang ada, perempuan itu tidak pernah keluar dari angka 80 kebawah saat mereka melakukan tes kemampuan setiap seminggu sekali. Walaupun masih ada yang mendapatkan skor lebih tinggi darinya, namun tetap saja –Antonia menjadi satu-satunya orang yang selalu konsisten dengan nilainya, apalagi dengan divisi yang sebanyak itu dia ikuti. "Hari ini adalah minggu terakhir kita bersama-sama sebelum kalian diserahkan ke masing-masing bagian kalian." Ratusan orang berkumpul dan berbaris rapi di dalam ballroom itu bersama para pelatih, penguji, hingga orang-orang penting dari perserikatan bangsa yang membuat semua ini bisa terjadi. Semua orang datang hari ini untuk merekrut bagian mereka. "Tes terakhir akan ditentukan sesuai divisi yang telah kalian ambil. Jadi kami akan mengumumkannya langsung lewat e-mail terdaftar milik kalian masing-masing." Dan pada saat itu juga beberapa ponsel milik peserta yang berdering, segera di buka. Memeriksa apa isi pesan masuk dari pelatih mereka. "Tahap pertama akan di mulai dengan divisi militer. Di mana kita akan datang ke Papua untuk membebaskan seorang sandera yang berada di lantai terbawah bangunan." Pelatih tersebut tersenyum kecil saat melihat anak-anak yang dilatihnya terkesiap tak percaya di posisi mereka masing-masing. "Semua simulasi yang akan kita jalankan akan berlangsung selama satu minggu mengingat salah satu di antara kalian mengikuti pelatihan di semua divsi selama ini." "Kami pun berharap banyak dari kalian karena ketika kalian menembak di sana, maka kalian akan menembak secara nyata. Ketika kalian terjun dari ketinggian, maka tak ada seorang pun yang bisa mengetahui kondisi kalian di dalam. Para tim penilai hanya akan memantau kalian lewat kamera yang dipasang. Di mana untuk kelompok yang berhasil mengeluarkan sandera mereka lebih dulu, maka nilai terbesar akan di raih oleh kelompok tersebut. Sedangkan satu orang yang memiliki peforma luar biasa di antara yang lainnya akan mendapatkan hadiah yang cukup menarik." Pelatih tersebut diam sembari menatap wajah-wajah yang terlihat penasaran. "Kalian bisa menentukan sendiri divisi yang kalian inginkan ketika perekrutan nanti." *** Semua orang telah bersiap di posisi mereka. Antonia bersama tiga orang lainnya memutuskan untuk mengambil jalur barat. Chanlie, Lucas dan Stephany adalah rekan-rekan sekelompoknya yang Antonia kenal cukup mumpuni. Mereka berempat berdiri menatap gedung bawah tanah yang berlapis besi baja di luarnya. Begitu tebal dan kokoh, walaupun belum sepenuhnya selesai dikerjakan —karena masih ada banyak besi-besi runcing dan lubang dengan kedalaman yang tak bisa diprediksi di dekat mereka. "Wahh, ini benar-benar mengerikan. Salah sedikit saja kita bisa menabrak seluruh beton hingga tenggelam di dasar tak berujung." Lucas bersuara saat mereka memeriksa lubang tersebut dengan melemparkan bebatuan ke dalamnya. "Lihat, suaranya bahkan tidak terdengar sampai sini." Stephany menghela nafasnya dan menatap Antonia dengan berkacak pinggang. Melihat perempuan itu dengan raut penuh pertanyaan karena Antonia telah dinobatkan sebagai ketua team mereka atas kemampuan luar biasanya di tempat pelatihan selama ini. "Apakah kita akan memasukinya? Melewati lubang gelap ini?" Antonia mengangguk pelan. Mengecek peta yang di dapatnya kemudian menunjukkan kepada para rekan teamnya. "Untuk lokasi terdekat hanya ada di sini. Aku fikir ini adalah salah satu jalan terbaik sekaligus untuk menghindari anggota team yang lain. Kita tidak ingin melakukan tindak kekerasan dan sebisa mungkin menemukan sandera lalu melarikan diri dari sana secara diam-diam. Ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup, sekaligus mengurangi dampak cedera yang bisa terjadi." "Kalau begitu kita harus mengikat tali karmentel di bidang yang kokoh." Chanlie memberikan usul kemudian diangguki yang lainnya. Pria itu kemudian mengeluarkan seperangkat tari pengaman yang biasa digunakan untuk menuruni jurang, lalu berjalan menuju salah satu batuan besar yang berada di dekat mereka. "Menurut kalian ini sudah bagus?" tanyanya setelah memasangkan tali tersebut dengan erat. "Cukup baik." Antonia mengangguk setuju lalu mulai mengikatkan talinya di pinggangnya sendiri. "Sebagai percobaan dan untuk berjaga-jaga di bawah, aku akan menjadi yang pertama turun." "Berhati-hatilah, Nia." Setelah mendengar ucapan Lucas, Antonia pun mulai memegang talinya dengan kedua tangan erat-erat. Perempuan itu menggerakkan kakinya melewati dinding-dinding yang belum rampung seperti kegiatannya turun dari puncak gunung seperti biasa. "Kau baik-baik saja di sana??" teriakan Stephany membuat Antonia mendongak ke atas untuk meneriakkan kalimat penenang untuk anggotanya. "Aku baik-baik saja! Bersiap-siap lah! Sebentar lagi aku akan sampai!" kemudian dia pun kembali memperhatikan kegelapan di bawah dengan gerakan kakinya yang semakin licin untuk memijaki dinding-dinding berlumut. "Hah.." perempuan itu mendesah lega saat dia akhirnya meraih sisi gedung terdekat yang memiliki lantai. Posisinya memang tak jauh dari dasar, namun mereka harus menuruni lewat tangga atau apapun alat yang akan membawa mereka menemui sandera yang harus dibebaskan. Semua itu dikarenakan besaran lubang yang ingin Antonia lewati sudah tidak cukup lagi untuk ukuran manusia dewasa. "Tarik lah kembali ke atas!" teriak Antonia setelah dia melepaskan seluruh pengaman yang mengikat tubuhnya sejak tadi. "Aku menunggu di bawah!" *** Ke empat anggota team itu berjalan dengan berhati-hati melewati ribuan tiang-tiang kokoh di ruangan bawah tanah itu. Semakin masuk ke dalam mereka mulai bisa melihat lampu-lampu yang cukup terang di mana-mana. Membuat perasaan tenang sedikit terasa setelah apa yang telah mereka lalui di pintu masuk tadi. "Terus lah berhati-hati." Antonia bersuara. "Jika ada suar sekecil apapun lekas arahkan senjata kalian ke arahnya. Jika mereka mencoba menembak berusaha melindungi diri sebaik mungkin. Jangan sampai berpencar terlalu jauh." Anggukan diterima anggota teamnya, membuat Antonia kembali menyusuri pandangannya di antara dinding-dinding yang masih bau oleh cat baru. "Yena!" sebuah teriakan entah dari mana asalnya terdengar, membuat kelompok Antonia segera bersembunyi dan memperhatikan semua itu, juga bagaimana suara-suara langkah kaki yang tiba-tiba saja berdatangan dan menuju lorong di sebelah kiri. Sebelum beberapa tembakan terdengar beruntun, hingga diakhiri teriakan beberapa perempuan yang ketakutan. "Tolong! Tolong lepaskan kami!" perempuan itu berujar dengan nada ketakutan, membuat Antonia mengintip di balik tembok-tembok yang belum terpasang di dekatnya. Melihat semua kejadian itu dengan mata melebar, melihat ketika orang-orang di sekitarnya berlumuran darah dan menyisakan dua orang perempuan yang sibuk menangis di sana. "What the fuck." umpat Antonia, sebelum kembali terduduk dengan menyender dengan dinding. Membuat ke tiga anggotanya menatap dengan raut penasaran. "Apa yang terjadi, Nia?" Antonia menelan ludahnya susah payah, begitu kalut dan mengusap wajahnya berkali-kali sebelum memberanikan diri untuk mengatakan kepada anggota teamnya. "Musuh kita ternyata bukan hanya dari team lain. Orang-orang di atas telah menyiapkan orang-prang mereka untuk membantai kita. Mereka membawa banyak pasukan untuk mengentikan kita, fuck." "Kalau begitu kita bersaing dengan team lain dan harus melawan penjahat yang sebenarnya juga sekarang?" Stephany membolakan matanya tak percaya, berniat untuk melihat yang sebenarnya sebelum Antonia lebih dulu menarik tangannya. "Jangan lihat. Biarkan. Semua yang kau simpulkan memang benar. Sekarang kita harus bersikap setenang mungkin dan tetap menjalankan rencana kita sejak awal. Kita hanya perlu melewati mereka dan keluar dari sini dengan hidup-hidup, mengerti?" Ketiga lainnya mengangguk patuh, setelahnya mereka mulai melanjutkan perjalanan mereka kembali. *** "Letak posisi sandera di dalam peti kaca yang berada di dasar kolam renang. Kalau begitu kita bagi tugas, bagaimana?" Chanlie bersuara membuat rekan teamnya mengangguk pelan. "Jadi begini. Akan kurang efektif bila kita masuk ke dalam dan memecahkan kacanya. Kemungkinan yang akan terjadi, team lain akan datang sebelum kita keluar dan akan terjadi pertarungan yang tidak seimbang di saat satu lainnya masih di dalam air." "Jadi bagaimana cara yang lebih mudah?" Lucas mengerutkan dahinya penasaran. "Rencana terbaiknya adalah dengan menunggu di luar sampai ada team lain yang melepaskan sandera di dalam. Kemudian ketika mereka berhasil mengangkat sandera, kita akan melemparkan bom ini untuk membuat mereka tertidur nyenyak —sementara kita merebut sanderanya." "Ide yang brilian, Chan! Aku ikut dengan mu!" Stephany tersenyum lebar dan menepuk pundak Chanlie. "Kalau begitu ayo kita jalankan rencana Chanlie."  *** TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD