Bagian 5

1586 Words
"Kalau ibu masih berkeras dia memimpin kerajaan. Jangan menyesali jika aku melakukan hal yang mengerikan di istana ini!" Alessio yang sudah terlanjur naik darah bergerak mendekati Antonia dan mencengkram kerah jaket yang di gunakan adiknya itu dengan erat. Jika tidak ingat yang dihadapannya itu perempuan, Alessio bisa saja melempar tubuh yang tak sebanding dengannya itu tepat di hadapan ibu mereka. "Kau!" desisnya dengan rahang yang mengeras. "Alessio, Antonia. Berhentilah. Jangan membuat ibu sedih, nak." Ivanka menangis dengan perasaan ketakutan saat melihat kedua anaknya sendiri justru saling berhadapan satu sama lain. Wanita itu mencoba mendekati keduanya dan mulai melerai putra dan putrinya agar situasi tidak menjadi semakin kacau. "Siapapun tolong pisahkan keduanya!" wanita itu berteriak dengan tubuh gemetarnya, mencoba memeluk Alessio untuk menenangkan anak laki-lakinya agar tidak menyakiti Antonia. "Jangan melakukannya, Alessio. Jangan pernah, nak. Ibu tidak ingin kau menyesalinya." "Ibu menyingkir lah." Alessio mencoba melepaskan pelukan ibunya dengan tatapan tajam yang masih terarah kepada Antonia. "Aku ingin segera menghancurkannya sekaligus! Untuk apa dia bersih keras melakukan semua ini?! Dia hanya tidak suka dengan kehadiran ku, ibu! Dia hanya merasa terancam dengan posisinya sebagai puteri, karena dia tidak akan pernah bisa memiliki tahta! Dia terlalu cemburu kepada ku!" Teriakan Alessio tidak pernah berhenti sekalipun para pengawal sudah bergerak untuk menjauhkan sepasang saudara itu dari satu sama lain. "Jika dia ingin perang, maka lakukan sekarang juga bersama ku! Berikan kami berdua pedang dan aku akan langsung menghabisinya saat itu juga!"  Antonia mendengus geli dan mulai tertawa keras saat melihat luapan kemarahan yang ditunjukkan Alessio. Bergerak untuk menyingkirkan tangan-tangan yang menahan tubuhnya kemudian menunjuk pria itu. "Lihat lah, ibu." Antonia menatap ibunya dengan rahang yang mengeras. "Kau lihat sendiri kan apa yang baru saja anak kesayangan ibu itu tunjukkan kepada kita semua? Ibu masih ingin Jepang di pimpin oleh laki-laki yang tidak bisa menjaga emosinya seperti dia? Kau ingin seluruh rakyat yang tak berdaya dibantainya karena satu hal kecil yang tidak dia sukai, ibu?" "Antonia. Tidak seperti itu, nak." sang ibu menangis keras dan mencoba meraih pundak putrinya. Namun Antonia tidak lah semudah itu untuk menunjukkan sikap sopan santun yang selalu dia lakukan di dalam istana ini. Memilih untuk menghindar dari ibunya, membuat Ivanka yang diperlakukan seperti itu merasa semakin tidak berguna. "Jika ibu sendiri tidak berdaya melakukannya. Maka aku lah yang akan membuat ibu terpaksa mengikuti setiap keputusan yang ku buat." *** Tiga minggu kemudian sekretaris Akira datang ke istana untuk menanyakan jawaban dari perempuan itu karena keponakannya tersebut tidak berniat sekali untuk membalas pesan masuk ataupun e-mail yang telah dikirimkan kepadanya sejak lama. Semua pertanyaan-pertanyaan dari Akira hanya berakhir di kotak masuk tanpa balasan apapun, sehingga Akira memilih bersabar dan akhirnya menyerah saat waktu yang diberikan perempuan itu telah terlampau jauh. "Mohon maaf. Namun Antonia masih belum kembali setelah pertengkaran hebat di dalam kerajaan." Ivanka menghela nafas lelah dengan sorot mata sedihnya. "Aku takut dia melakukan hal yang tidak seharusnya saat ini. Aku sangat mengenal puteri ku sendiri. Kekhawatiran ku mengatakan bahwa antonia pasti akan kembali dengan membawa keributan semakin besar." Keadaan kerajaan menjadi semakin memanas saat beberapa partai di dalam istana mulai membuat kubunya masing-masing untuk mendukung pilihan mereka. Memilih untuk tetap mempertahankan posisi putera mahkota yang diwariskan kepada Alessio, atau justru memilih jalan terjal yang sedang gencar-gencarnya Antonia gaungkan. Jalan dimana Antonia menolak kakak satu-satunya —yang menurutnya kurang pantas– untuk menjadi raja selanjutnya. Perempuan itu lebih memilih mengajukan opsi lain sebagai pengganti Raja Wanatabe Ryouta. Yakni Ratu Ivanka, istri dari mendiang ayahnya. Ibu kandungnya. Tentu saja perseteruan itu membuat banyak kencaman. Sebagian ada yang mendukung, namun sebagian lagi juga mulai menuai kritikan. Pada dasarnya sejak jaman dahulu tidak pernah ada seorang pun pemimpin di kerajaan yang memiliki status seorang perempuan. Mereka di nilai sebagai sosok yang kurang objektif karena terlalu menggunakan perasaan dalam menentukan setiap keputusan. Semua ketidak-adilan itu mulai di rasakan oleh Antonia yang masih kecil. Otak cerdasnya memahami dengan rapi saat dia tumbuh semakin dewasa dan memperhatikan bagaimana tiap-tiap isi kepala orang terdekatnya menjustifikasi sendiri perihal perempuan yang tumbuh sebagai sosok lemah. Bagaimana sistem pemerintahan yang berlangsung di kerajaannya, sampai dia mulai membandingkan hal tersebut dengan bagian dunia yang lain. Membuatnya mulai memikirkan banyak hal rumit, seperti bagaimana cara agar dia menghancurkan rule yang telah di bangun di istana sejak lama. Karena menurutnya laki-laki seperti Alessio bahkan bukan apa-apa jika dibandingkan para wanita yang selalu mereka cemooh selama ini. Antonia hanya ingin yang terbaik untuk negerinya, sekalipun kemudian dia akan berumur pendek karena memberontak dan terkubur dengan darah yang dia torehkan di akhir hayatnya. "Saya akan meminta tuan Akira untuk membantu anda, Yang Mulia Ratu. Kami akan menjemput Puteri Antonia dan membawanya —sekalipun dengan cara paksa dari sini." Ivanka tentu saja sedikit tak rela dengan ucapan bawahan Akira tersebut. Mau bagaimana pun bentuknya, Antonia tetaplah putri satu-satunya. Perempuan yang selalu menjadi kebanggaan negerinya. Namun jika difikirkan kembali, mengenai setiap pemberontakan yang secara tidak langsung yang Antonia tunjukkan. Mau tak mau Ivanka tetap harus melepaskan putrinya itu untuk menemui dunia yang lebih luas. Di luar sana mungkin saja ada banyak hal yang bisa membuat Antonia menemukan sesuatu yang baru, yang akan cocok dengan setiap pemikiran di luar batas yang di milikinya. Membuat ide-ide cerdas yang dia ungkapkan setidaknya bisa berguna untuk orang banyak, tanpa harus terkurung di dalam istana dan negerinya yang entah bisa bertahan berapa lama lagi. Jauh di dalam hatinya Ivanka masih lah seorang ibu yang menginginkan semua hal yang terbaik untuk putra dan putrinya. *** Antonia mengikat asal rambutnya saat keringatnya mulai turun semakin banyak, membuatnya tentu saja merasa gerah. Perempuan yang masih setia dengan busur panah ditangannya itu berdiri sendirian di tengah lapangan belakang markasnya, tak tertarik sama sekali dengan nyamannya suasana di dalam gedung yang dipenuhi dinginnya ac. Kegigihannya yang setiap hari berlatih segala macam bela diri maupun olahraga berat, membuat beberapa anggotanya yang ada di markas setiap hari mondar-mandir bergantian untuk mengeceknya. Takut-takut jika salah satu perempuan yang paling berpotensi di kelompok mereka tiba-tiba saja pingsan tanpa seorang pun sadar. "Berhentilah, Nia! Kau bahkan tidak menghabiskan sarapan mu pagi ini!" Dipta berteriak dari depan pintu belakang dengan berkacak pinggang, berlaku layaknya ayah yang sedang mengomeli putrinya. "Kalau kau tidak kemari juga aku akan menghancurkan semua peralatan mu!" Sraak.. Namun satu panah tiba-tiba saja melesat dan menancap tepat di sebelah telinga Dipta. "Yak! Kau berusaha membunuh ku, hah?!" pria itu marah-marah di sana saat menyadari bahwa wajahnya bisa saja bisa tertancap anak panah Antonia jika perempuan itu meleset sedikit saja. Antonia yang melihat hal itu menghela nafasnya panjang, sebelum dia berjalan menuju kotak peti besar yang menampung semua peralatan olahraga, bela diri, maupun senjata apinya. Membuka benda berukuran besar itu dengan kunci yang tertaut di gelangnya, kemudian memasukkan kembali seluruh peralatan memanahnya dan menguncinya dengan rapat. "Kau terlalu cerewet. Lain kali mungkin aku bisa menggoreskan sedikit luka di telinga mu." Antonia tersenyum kecil di depan Dipta, membuat pria itu menelan ludahnya gugup. "Bagaimana?" "Jangan macam-macam." Dipta memajukan dagunya, mencoba untuk memberanikan diri sekalipun Antonia memang semenakutkan itu di balik wajah manisnya. Nyatanya Antonia adalah dewi kematian yang bisa mengelabuinya kapan saja sampai dia akhirnya menghunuskan pedangnya kepada seseorang yang menurutnya tak pantas. Antonia berdecih menatap wajah itu, memilih untuk melewati Dipta dan membenturkan pundaknya dengan tubuh pria yang menghalangi jalannya tersebut. "Kenapa markas sepi sekali? Di mana yang lain?" Antonia bertanya saat dia sedang mengambil air di mini bar, dia tidak melihat seorang pun anggotanya yang mondar-mandir seperti biasa. Padahal jika dijumlahkan seluruh anggota di markas ini bisa berjumlah 20 sampai 25 orang, dan mereka akan selalu membuat keributan sekalipun sudah di larang. "Mereka satu persatu pergi karena ada urusan pekerjaan. Tapi Billy masih berada di atas, menyelesaikan entah apa lagi teori konspirasi andalannya." "Aku tidak percaya dia melakukan semua itu dari pada mengurusi pekerjaan aslinya yang bisa meraup untung puluhan jutaan yen dalam sehari." Antonia berdecak di tempatnya melihat hacker sekaligus penulis teori konspirasi fenomenal bernama Billy Maxwell yang sedang melupakan jati dirinya di luar sana. "Dia bilang padaku 'untuk apa kita berusaha keras di saat dunia sebentar lagi akan hancur". Dan entah kenapa aku menyetujui ucapannya yang satu itu." Dipta menunjukkan raut 'aku berada di pihak Billy' yang terlihat sangat menyebalkan di mata Antonia. Pria yang memiliki tinggi hampir dua meter itu kemudian mengambil sebuah makanan beku di dalam lemari es dan memasukkannya ke dalam microwave terdekat. Dipta berbalik dan berkacak pinggang, melihat Antonia yang sudah asik dengan sebuah pisang yang berada di genggamannya. "Kau benar-benar akan mengacaukan istana mu sendiri, Nia? Benar-benar sungguhan?"  Jujur saja sebenarnya Dipta tidak habis fikir dengan jalan fikiran Antonia yang kelewat out of the box dari manusia biasa. Entah apa lagi yang sedang perempuan itu fikirkan saat ini, hingga kadang Dipta takut sendiri padahal perempuan itu terlihat sangat normal jika dari sampulnya. Antonia menaikkan kedua bahunya cepat, mengunyah pisangnya. "Entah lah. Jika benar terjadi, maka aku perlu bantuan Akira untuk menyelesaikannya. Aku butuh beberapa orang-orangnya untuk menakut-nakuti anggota partai agar mereka semua bisa berpihak kepada ku. Sejujurnya melihat mereka ketakutan seperti itu membuat ku begitu bersemangat." Antonia tersenyum culas. "Wow, wow. Lihatlah betapa menyeramkannya nona manis ini. Aku bahkan tidak tahu lagi harus berekspresi seperti apa." Dipta menggeleng tak percaya kemudian mengeluarkan sebuah pasta dengan toping meatball yang sudah hangat ke hadapan Antonia. "Sekalipun mereka keluarga mu sendiri, kau bahkan tidak segan-segan untuk menggiring mereka ke dalam kolam lumpur mu sendiri kan, tuan puteri?" "Tenang saja, Dipta. Semua itu belum seberapa jika dibandingkan dengan apa yang bisa ku perbuat saat rencana yang sudah ku susun matang-matang tiba-tiba hancur begitu saja." "Kalau begitu jangan sampai kau membuat ku mengetahuinya, oke?" *** TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD