13 | Cinta atau Simpati

2295 Words
Untuk membuktikan bahwa dirinya tidak menunggu diajak malam mingguan oleh seseorang, apalagi dikira jatuh cinta, Ditrisya menyanggupi ajakan Lisa memenuhi undangan grand opening kafe and resto milik Vinno. Keputusan itu tidak disesali karena seperti dugaannya, ajakan Ahyar tidak jelas ujungnya. Ahyar belum menghubungi lagi sejak telepon malam itu, sekadar satu chat pun tidak ada. Sore hari Ditrisya sudah siap di depan rumah menunggu jemputan Lisa, dia mengatakan sudah di jalan dan dalam belasan menit lagi akan sampai. Tentu saja Ditrisya tidak memakai dress pink yang dibelinya, baju itu tergantung rapi di lemari masih lengkap dengan label merek dan harganya. Inilah akibatnya jika membeli sesuatu tanpa perencanaan dan urgensi, begitu sampai di rumah baru menyesal. Ditrisya nyaman memakai celana jins biru muda dan kaos polos putih andalannya. Setelan baju sederhana dan tidak lekang oleh tren. Ditrisya memakai make up sangat tipis, hanya bb cream dan bedak tabur, serta mascara dan lipstik tipis-tipis. Rambutnya diikat kendur di atas tengkuk, terlihat berantakan sebab banyak anak rambut yang tidak cukup panjang menjangkau karet pengikat. Ditrisya sedang menggulir layar ponsel, ketika ia tersentak oleh suara yang femiliar di telinganya. Sontak ia berdiri, bersamaan dengan Ahyar dan skuternya berbelok ke pelataran sempit kontrakan. Saat pandangan mereka bertemu, wajah Ahyar dihiasi senyuman lebar, sampai-sampai ia ngeri bibir Ahyar robek. Semestinya Ditrisya kaget melihat kemunculan Ahyar, tetapi Ditrisya tidak bisa memungkiri ada perasaan mirip-mirip yang dirasakannya saat Ahyar ternyata menelepon malam lalu. "Wah, udah ditungguin. Udah siap, nih, Pacar?" tanya Ahyar, mematikan skuternya. "Lo ..., beneran jemput?" Ditrisya berlagak berbalik tanya keheranan. "Iya, lah. Makanya lo udah siap-siap, kan, sekarang?" "Gue nggak nungguin lo," Ditrisya mengangkat dagu. "Gue ada janji sama orang lain." Senyum Ahyar menghilang bersamaan dengan desahan napasnya. "Kan gue udah bilang akan jemput lo buat malam mingguan." "Seingat gue, gue nggak pernah bilang setuju, deh." "Lo nggak balas, jadinya gue anggap setuju." "Gue nggak balas, karena gue kira lo cuma iseng." "Masa cuma karena pernah sekali nggak jadi gue telepon, lo nggak bisa percaya sama gue." Ditrisya tidak tahu harus berkata apa lagi. Padahal sudah dijelaskan, dia tetap bertahan dengan ke-geer-annya. "Bukan karena itu--" Ahyar memotong, "sumpah lo jahat banget, Di. Gue udah jauh-jauh ke sini, lho, buru-buru biar kita perginya nggak kemaleman. Nggak mau tau lo janjian sama siapa, batalin sekarang juga. Lo perginya sama gue." Ditrisya hanya bisa menganga sesaat. "Apa hak lo main suruh gue batalin janji? Salah lo sendiri, nggak memperjelas. Bisa-bisanya lo berasumsi tanpa kenal watak asli dan kebiasaan gue. Lagian lo dari kemarin nggak ada nge-chat sama sekali." "Oh, jadi lo nunggu-nunggu, ingin gue chat?" "Bukan itu maksudnya ...," Ditrisya mengerang kesal, ia bicara panjang lebar tapi yang ditangkap Ahyar hanya bagian itu. "Dimana-mana orang janjian sebelum jam ketemu pasti kabar-kabaran jadi atau enggak." "Ya, maaf gue sibuk banget kemarin, jadi nggak sempat nge-chat lo. Gue nggak tahu lo ternyata nungguin." "Gu--" Ahyar tidak memberi jeda untuk Ditrisya bicara. "Gue kalau udah janji ya udah pasti jadi. Kalau tiba-tiba batal, itu baru gue ngasih kabar." "Nah, itu, gue juga nggak tahu kan kebiasaan lo. Kalau lo boleh berasumsi, gue juga, dong." Ahyar mendesah lemah. "Terus gimana jadinya? Kita beneran nggak bisa jalan?" Ditrisya mendesah juga, menyebalkan sekali mendapati dirinya merasa kecewa dan menyesal menyanggupi ajakan Lisa yang beberapa menit lalu masih ia syukuri. "Hm, ya udah. Masih banyak lain kali." Sontak Ditrisya menatap Ahyar. "Lain... kali? Lo ingin kita pergi bareng lain kali?" Ahyar mengangguk ringan. "Biar asumsi kita nggak jadi salah paham lagi, kita harus saling kenal. Supaya gue tahu kebiasaan lo, dan lo tahu apa yang jadi kebiasaan gue." "Kenapa... kita harus saling mengenal?" "Kenapa pertanyaannya begitu?" Ahyar menatap lurus manik mata Ditrisya. "Kalau gitu gue tanya balik, kenapa kita nggak harus saling mengenal?" "Gue yang nanya duluan." "Ya, itu jawaban gue." Ditrisya mendecakkan lidah sebal. "Oke, pertanyaannya gue ganti. Kenapa lo mau kenal dan tahu kebiasaan-kebiasaan gue?" katanya, meski sama sekali tidak menemukan poin jabawan yang ia ingin dengar. "Lo sendiri, kenapa kayak nggak mau kenal dan tahu kebiasaan gue?" "Bukan kayak, tapi emang nggak mau," jawab Ditrisya ingin tampak acuh tak acuh. "Karena?" Ditrisya mendelik sebal. "Stop tanya-tanya mulu. Lo belum jawab pertanyaan gue? Kenapa lo ingin mengenal gue?" Ahyar terkekeh sembari menghendikkan bahu ringan. "Adaptasi?" "Adaptasi untuk?" Ada jeda lumayan lama, Ahyar hanya senyum-senyum tak langsung menyahut pertanyaan Ditrisya. Ditrisya bisa saja sabar menunggu saking ingin tahu alasannya. Namun, tatapan Ahyar tidak membuatnya tenang. "Ah, udah lah, gue nggak ada waktu buat ladenin permainan lo." Ditrisya hendak bergerak dari dekat Ahyar, tepat ketika pergelangan tangannya ditahan oleh Ahyar yang masih duduk di atas jok skuternya. "Untuk gue ajak bahagia." Ditrisya menatap Ahyar tak mengerti, dalam hati heran kenapa lelaki ini bicaranya berputar-putar. Ditrisya terkesiap saat Ahyar menariknya makin mendekat, ia berusaha berkelit melepaskan diri. Namun, Ahyar malah mengalihkan genggamannya dari pergelangan tangan menjadi menangkup tangan kanan Ditrisya menggunakan kedua tangannya. "Di, dan kenapa gue ingin lo kenal gue juga, supaya nanti gue bisa tanya ke lo..., apa lo mau membantu gue menciptakan takdir gue sendiri." "Yar...," Ditrisya tahu dirinya harus mengatakan sesuatu, tapi lidahnya mendasak kelu. Ia pun tahu dirinya tidak seharusnya perpengaruh, Ahyar itu penipu ulung, dia bisa sukses membuat Ditrisya mengeluarkan uang nyaris sejuta di pertemuan pertama mereka. Hanya saja, ada bagian dari dirinya yang berkata bahwa Ahyar bersungguh-sungguh dengan kata-katanya barusan. "Tenang aja, gue nanyanya nggak sekarang. Jadi jangan pikirin dulu. Gue nggak akan ngejebak lo, cukup sekali aja gue nipu lo sebagai si eksekutif muda Pahala." Ahyar mengakhiri perkataannya dengan kekehan kecil. Ditrisya mengerejap, sontak memundurkan kepala awas saat tahu-tahu Ahyar memajukan wajahnya. Kepala Ditrisya tidak bisa mundur lagi, wajah Ahyar kini berada kurang dari sejengkal dengan wajahnya. Mau apa orang ini? Ditrisya hanya bisa merasakan detak jantung yang menggila hingga menimbulkan efek mules di perut. Ahyar tidak mungkin hendak melakukan itu, kan? Iya, itu... yang biasa dilakukan aktor utama di film-film sebelum pamit sama pasangannya. Tanpa sadar Ditrisya menahan napas. "Eh, belum boleh cium-cium, ya?" gumam Ahyar disela kekehannya. "Sekarang gini aja dulu, deh." Lelaki itu menegakkan badannya sendiri, bersamaan dengan tangannya mengacak puncak kepala Ditrisya. Ditrisya bisa merasakan wajahnya panas sekarang, dia menyentak tangan Ahyar hingga terlepas dari tangannya. Sesuatu yang seharusanya ia lakukan sejak tadi. Ditrisya buru-buru memalingkan muka. "Apa, sih?!" dengusnya menyibukkan diri merapikan rambut. Ahyar masih sempat menertawai Ditrisya, sebelum lelaki itu pergi bersama skuternya. *** Sialan. Sialan. Ditrisya mengetuk-ngetukman keningnya ke kaca mobil Lisa. Segala kebimbangan hatinya ini dimulai dari obrolannya dengan Doni. Ia mengutuk Doni, bisa-bisanya pemuda itu membocorkan privasi Ahyar pada orang lain seperti dirinya. Ditrisya bersimpati atas masa lalu Ahyar dan itu mendorong keinginannya untuk membantu Ahyar, apa pun itu. Apalagi jika Ahyar sudah bicara soal bahagia dan takdir, hati Ditrisya tidak bisa mengabaikannya begitu saja. "Di, lo kenapa?" tanya Lisa, bukan cemas, tapi lebih ke penasaran. Sahabatnya ini makin hari makin aneh. "Kayak orang depresi aja, bentur-benturin kepala segala. Berhenti nggak, lo!" Tak kunjung ada sahutan dan Ditrisya masih membenturkan kepalanya di kaca, Lisa berseru tegas, "Heh! Kalau sampai kacanya pecah lo yang ganti!" Berhasil. Kepala Ditrisya langsung diam begitu diancam dengan apa pun yang berbau uang. "Lis," panggil Ditrisya memutar kepala menghadap Lisa dengan dramatis. "Apaan?" "Bedain rasa suka suka sama simpati itu gimana caranya?" "Nah, bener, kan, lo lagi naksir seseorang," seru memukul setir, saking bersemangatnya. "Belum bisa dibilang naksir. Gue aja belum tahu yang gue rasain ini apa, simpati atau beneran cinta," ungkap Ditrisya akhirnya. Percuma pura-pura di depan Lisa, lagipula ia memang sesang butuh opini dari sudut pandang lain. "Kadang cinta emang dimulai dari rasa simpati." "Itu, dia. Belum tentu jadi cinta, kan?" "Hm, gimana, ya?" Lisa berpikir sebentar. "Gue bingung jelasinnya gimana. Lo bakal bisa bedain tiap-tiap perasaan dari pengalaman kenal dan pendekatan sama banyak cowok, masalahnya kan..." Lisa sengaja membiarkan perkataannya menggantung karena Ditrisya pasti paham maksudnya. "Iya, gue nggak pernah pacaran. Puas, lo?!" Lisa tertawa cekikan. "Aduh, aduh, sensi banget yang lagi galau," godanya. "Terus perasaan si cowok itu ke lo gimana?" "Itu masalahnya," desah Ditrisya lemas. "Dia beberapa ngomong sesuatu yang gue rasa nggak dia omongin ke semua cewek. Gue nggak tahu mesti anggap itu serius atau enggak, soalnya dia emang suka becandain gue." "Jadi ini masih perasaan sepihak?" Ditrisya mendesah lagi, kali ini lebih berat dari sebelumnya. "Bisa dibilang begitu." Obrolan mereka terjeda lantaran mereka sudah tiba di tempat tujuan. Deretan papan bunga ucapan selamat dijejer di pelataran parkir menuju dekat pintu masuk. "Gila, sukses juga ternyata si Gendut. Gue baru tahu Goonno itu punya dia?" Decak kagum Ditrisya melihat nama usaha kafe and resto ini. Kafe Goonno sendiri pernah ia temukan di tiga tempat berbeda masih di dalam kota, dua diantaranya ada di dalam mal. Vinno nampaknya ingin mengembangkan bisnisnya menjadi restoran juga. "Dengar cerita dia rintis bisnisnya lebih keren lagi." "Bukannya dia anak orang kaya?" tanya Ditrisya sketis. Dibalik sukses diusia muda, pasti ada penyokong kokoh di belakang. "Punya modal banyak kalau nggak pintar ngelola ya nggak jadi apa-apa." Oke, benar juga. Ditrisya dan Lisa lantas turun dari mobil, mereka berjalan bersisihan menuju pintu masuk. Di saat itulah Ditrisya menyadari kontrasnya penampilan mereka malam ini. Lisa tampak menawan dengan dresa hitam dengan potongan bahu sabrina. Tubuh tingginya yang sudah 10 cm lebih tinggi dari Ditrisya semakin menjulang dengan bantuan hal sepatu 12 cm, membuat Ditrisya mirip kurcaci. Begitu masuk, mereka langsung disambut dengan live music. Suasana santai dan modern langsung terasa dari interior dan jenis musik yang mengalun. Seorang lelaki berparas tionghoa berjalan ke arahnya dan Lisa dengan senyum lebar hingga membuat garis matanya makin tipis. "Selamat datang, Ladies." Dia memeluk Lisa dan menyapa dengan cium pipi kanan dan kiri. Alis Ditrisya nyaris bertaut melihat interaksi kedua orang itu, sekaligus membandingkan sosok Vinno yang terakhir dilihatnya dengan Vinno yang kini ada di depan matanya. Mana si Gendut berkacamata bulat itu, karena yang Ditrisya lihat ini adalah koko-koko putih dan berotot. "Hi, Didi. Belum lupa sama gue, kan?" "Lupa sih, enggak. Cuma kaget aja sama perubahan lo." Saat tiba giliran Vinno menyapanya dengan cara sama, Ditrisya menyadari pencapaian besar si Gendut ini bukan di bisnisnya, melainkan sukses menurunkan berat badan. Vinno tadi memeluk Ditrisya kurang dari sedetik, padahal dengan Lisa tadi lumayan lama. "Sayangnya gue nurunin berat badan bukan biar hemat uang jajan kayak saran yang lo kasih dulu," jawab Vinno tertawa pelan. "Astaga, masih ingat aja." Vino melayani mereka langsung sampai menemukan meja. Berhubung Ditrisya dan Lisa ingin santai sambil menikmati musik, Vinno menyarankan mereka tetap di lantai satu. Lantai 2 diperuntukkan bagi yang mau makan tenang. Mereka mendapat meja yang menghadap langsung ke panggung kecil live band. Mereka memesan makanan andalan yang direkomendasikan Vinno. Ditrisya melirik ke sekeliling, sejauh mata memandang semua meja sudah terisi. Meja empat kursi yang mereka tempati ini satu-satunya yang masih kosong. "Vinno keren juga. Ya fisiknya, ya karirnya." Lisa turut melirik sekitar sekilas dengan wajah menyiratkan rasa bangga. "Emang." Teringat sesuatu, Ditrisya menepuk meja di tengah mereka. "Kalian ada gimana-gimana, kan? Gue perhatiin dari tadi gesture kalian nggak kayak teman biasa." Senyum malu-malu Lisa membuat Ditrisya mengumpat kaget. "Serius, Lis?" "Sst ...." Lisa mendekatkan telunjuk di bibir. Menyuruh Ditrisya memelankan suara, tapi tidak mengelak. "Terus si Rendy mau lo kemanain, Lis." Di saat ini Ditrisya akan berusaha menyangkal, sebab selingkub adalah hal paling rendahan dalam hubungan. "Mau gue putusin." Ini gila, Ditrisya satu pacar saja tidak punya. Masa Lisa berhubungan dengan dua lelaki di waktu yang sama. "Demi Vinno?" "Enggak lah, demi diri gue sendiri," jawab Lisa. "Gue mesti menyelamatkan diri gue dari cowok nggak baik. Lo tahu sendiri gimana posesifnya Rendy. Nih, lihat, batu sejam lalu dia nanya gue ada di mana, sekarang udah nanya lagi." Lisa menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan room caht temannya itu dengan Rendy. Seandainya sejak lama Ditrisya tidak kenal Rendy, Ditrisya pasti akan menghubungkan keposesifan Randy sebagai feeling seorang lelaki kalau pacarnya sedang nakal di belakangnya. Namun, Lisa sudah berusaha bertahan dalam hubungan toksik itu cukup lama, dalm harapan Rendy akan bisa mempercayainya. "Tapi, Lis, sebelumnya sori. Tapi kan lo bisa putusin Rendy dulu, baru jalan sama Vinno." "Pada akhirnya gue akan tetap putusin Rendy juga. Ini masih nunggu waktu yang tepat karena kerjaan dia lagi ada masalah. Biar dia kelarin masalah kerjaannya dulu, kasihan kalau gue putusin sekarang juga." Ditrisya hanya mengangguk sekali dan mengunci mulut rapat, mencegah agar mulutnya tidak julid. Ia sungguh ingin mengomentaai pernyataan terakhir Lisa. Diselingkuhi tanpa tahu apa-apa, menurutnya itu lebih kasihan. "Eh, terus gimana sama cinta sepihak tadi?" Lisa mengalihkan topik. Ditrisya mendesah lelah. Ia heran, kenapa banyak orang sengaja melibatkan diri dalam urusan asmara berkali-kali hanya untuk dibuat pusing kepala. "Gue saranin lo tanya kejelasan dia, biar lo nggak nebak-nebak sendiri." "Gue lebih berharap lo ngasih saran buat lupain aja." "Percaya sama gue, selama belum jelas, lo nggak akan terus kepikiran." Masuk akal. Namun, mengingat tingkat kepercayaan diri Ahyar, Ditrisya bergidik ngeri. Ahyar pasti akan besar kepala dan mengejeknya habis-habisan. Ditrisya sedang memikirkan bentuk peranyaan yang aman, yang sekiranya bisa memberinya jawaban tanpa memberi kesan ia berharap, ketika Vinno mendekat lagi ke meja mereka. "Guys, maaf nih, mau sharing meja sama dua teman gue, nggak? Semua meja udah penuh," ujar Vino sungkan. "Boleh, suruh duduk di sini aja." Jawaban Lisa diikuti anggukan Ditrisya. Di warteg, ia biasa makan semeja ramai-ramai dengan orang asing. Vinno lantas mengucapkan terima kasih sudah mau mengerti, kemudian berbalik badan sembari mengangkat tangan tinggi. Ditrisya memindahkan tasnya yang ia letakkan di kursi kosong sebelah dan menyampirkannya di punggung kursi yang ia duduki. Saat ia mendongak lagi, napasnya tercekat sesaat melihat sepasang laki-laki dan perempuan berjalan berangkulan ke arah meja mereka. "Lis ...." "Hm?" "Udah jelas. Gue... nggak perlu minta kejelasan apa-apa lagi." "Hah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD