12 | Hati yang Terketuk

1976 Words
Ini gila, pikir Ditrisya. Bukan orang seperti Ahyar yang boleh membuat jantungnya berdebar-debar. Orang usil dan berpikiran pendek seperti Ahyar itu bukan sosok laki-laki yang bisa Ditrisya jadikan sandaran. Suara deringan ponsel membuat Ditrisya terkesiap kaget, buru-buru dia berlari ke ponsel yang sedang ia isi daya itu, dan mendapati dirinya mendesah kecewa lantaran itu bukan telepon dari Ahyar. Itu lebih salah lagi, bisa-bisanya Ditrisya membiarkan dirinya terjebak permainan kata Ahyar. Parahnya, itu bukan deringan telepon masuk melainkan alarm yang ia setel sebagai penanda jam tidur. Sudah lewat lima jam sejak Ahyar pergi, sekarang sudah pukul 11 malam. Laki-laki brengseek itu sudah jelas hanya sekadar menggodanya lagi. Ditrisya memerintahkan dirinya agar berhenti bersikap bodoh. Dia taruh ponsel itu lagi dan mengatur mode diam, baru selangkah jalan hendak beranjak ke kasur, Ditrisya meraih ponselnya lagi dan mengatur mode pesawat sekalian. Dengan begini, ponselnya akan aman dari segala deringan. Ditrisya terlentang di tengah ranjang, ia menutup tubuhnya dengan selimut sebatas dagu. Belum juga bisa tidur, Ditrisya bergerak mengubah posisi ternyaman. Yakni tidur menyamping menghadap kanan sambil memeluk guling, biasanya posisi ini bisa membuatnya mengantuk dengan mudah. Namun, entah kenapa kali ini tidak berhasil, bahkan setelah Ditrisya mencoba segala posisi. Dengan kesal Ditrisya membuka matanya lagi. Ditrisya menyingkap selimutnya, dalam beberapa langkah ia sudah menjangkau ponselnya. Ditrisya mencabut ponsel itu dari kabel charger dan membawanya kembali berbaring. Siapa tahu setelah kena cahaya dari layar ponsel, matanya akan lelah. Ia hanya akan baca-baca n****+ gratis dari platform yang ia download. Cari hiburan zaman sekarang sangat mudah, mau baca n****+ atau nonton film cukup dengan satu perangkat. Baru membaca beberapa paragraf, Ditrisya tergoda untuk mematikan mode pesawat. Bukan berharap memastikan ada atau tidak notifikasi dari kontak Ahyar, sungguh ia hanya ingin scrolling sosial media. Sama sekali tidak menunggu telepon Ahyar. Saat paket data sudah menyala, ponselnya tetap senyap. Tidak ada satu pun pesan masuk. Tepat saat Ditrisya akan mematikan paket data lagi, layar ponselnya terpampang foto Ahyar. Ahyar meneleponnya. Gadis itu merasakan jantungnya berdetak cepat. Ada semacam perasaan, campuran lega, tidak menyangka, atau terpuaskan. Entah bisa disebut apa jenis perasaan itu. Ditrisya menunggu beberapa saat, sengaja tidak mau langsung menjawab, takut dikira nunggu-nunggu telepon itu. "Halo," jawabnya dengan suara dibuat-buat malas. "Wah, belum tidur beneran," seru Ahyar di seberang sana. "Nungguin telepon dari gue pasti, nih." Ditrisya menipiskan bibir menahan geraman. Padahal ia sudah antisipasi, tahu begini, lebih baik tidak usah diangkat sekalian. "Gue emang nggak biasa tidur jam segini. Lo kira gue anak SD, mesti tidur jam 9 malam?" "Ya ..., kirain nungguin gue. Padahal gue udah terlanjur sen--" Ditrisya memutus sambungan begitu saja, sudah bisa tebak yang akan keluar dari bibir Ahyar selanjurnya hanya ocehan tidak berguna. Ahyar menelepon lagi, tapi Ditrisya langsung mematikannya. Ditrisya bisa bayangkan lelaki itu pasti sedang tertawa-tawa ke-gr-an. Beberapa detik kemudian, muncul pop up pesan dari Ahyar. Ahyar Pahala Haha cie malu Ditrisya membiarkan pesan itu terbaca, tanpa berniat membalasnya. Ahyar mengirim satu pesan baru. Ahyar Pahala Masa dibaca doang Ya udah deh, makasih udah diangkat Mimpi indah, Pacar Lusa gue jemput buat malam mingguan Ditrisya berdecih. Baris terakhir pesan Ahyar sepertinya tidak bisa dianggap serius. Jika itu suatu pertanyaan, Ahyar harusnya menyematkan tanda tanya. Dianggap sebagai ajakan pun, Ahyar harus menanyakan persetujuan Ditrisya. Disebut perintah, mana bisa! Memangnya Ahyar siapa, bisa semena-mena terhadapnya! *** "Serius? Pink?" "Jelek, ya?" Lisa memiringkan kepala, memperhatikan pilihan baju yang sedang dicoba Ditrisya. "Nggak jelek sih, cuma bukan Ditrisya banget." Ditrisya berputar-putar sekali lagi di depan cermin, ia masih tidak melihat ada yang salah. Ia menyukai dress selutut ini, warnanya pink manis, dengan aksen bunga kecil-kecil yang membuat dress ini tidak tampak pasaran. "Bukannya lo biasanya kalau beli baju kalau nggak warna hitam, putih, abu-abu, atau nggak biru dongker. Lo bilang warna-warna itu netral dan masuk ke semua acara." "Ya, nggak apa-apa. Biar punya aja." Lebih tepatnya, warna-warna itu membuat Ditrisya tidak terlihat memakai baju itu mulu-itu mulu. Menurut Ditrisya, pakaian berwarna lebih mudah dikenali. Ditrisya ogah beli baju lebih dari satu sebulan hanya demi memuaskan mata orang-orang sekitarnya. Saat Ditrisya akan kembali ke bilik ganti, Lisa menghalanginya dengan berdiri di ambang bilik. Lisa menatap Ditrisya penuh selidik. "Nah, jawaban itu lebih aneh lagi. Ditrisya Devaski yang gue kenal nggak akan ngeluarin uang tanpa alasan jelas." Ditrisya memutar bola mata. "Buat jaga-jaga aja, siapa tahu ada acara mendadak." "Acara macam apa yang bikin lo kepikiran pakai baju warna pink?" "Ya nggak tahu nanti." "Hm, makin mencurigakan." Ditrisya berdecak malas, "jadi lo rese kayak gini karena gue milih baju warna pink?" Ditrisya menggeser tubuh Lisa dengan sedikit tenaga, agar ia bisa berganti pakaian. Ditrisya jadi membeli dress manis itu, harganya lebih mahal karena ia membelinya di mal. Padahal Ditrisya bisa dapat harga separuhnya untuk dress serupa jika mau turun ke pasar. Namun, tidak apa-apa. Sekali-kali, anggap saja ini sebagai bagian apresiasi diri. Sore ini yang sebenarnya niat mau belanja itu Lisa, Ditrisya hanya diminta menemani dengan imbalan ditraktir makan malam. Ditrisya bahkan tidak menganggarkan anggaran untuk beli baju karena awal bulan sudah beli satu celana kerja dan celana diskonan beli 2 gratis 1. Kadang Ditrisya masih suka heran apa yang membuat ia dan Lisa masih betah berkawan meski gaya hidup dan pandangan mereka kontras berbeda. Lisa sangat kekinian, dia tahu hampir segala hal yang sedang ramai dibicarakan. Sedangkan Ditrisya memilih menutup diri dengan idealisme serba minimalis. Masa-masa saling judgemental sudah lewat, sekarang mereka sangat bisa menghargai pilihan masing-masing dalam 'menikmati' hidup. Ditrisya tidak lagi menceramahi Lisa agar belanja seperlunya, pun dengan Lisa yang tidak pernah lagi memaksa Ditrisya untuk perawatan salon dua kali sebulan dan nongkrong di kafe keren tiap akhir pekan. Sebenarnya Lisa bisa saja menjauhi Ditrisya perlahan, mengingat Ditrisya tidak masuk kategori teman yang asyik. Lisa selalu kembali pada Ditrisya karena Ditrisya adalah pendengar yang baik. Sedangkan Ditrisya, dia butuh Lisa untuk membuatnya tidak tertinggal terlalu jauh dari beradaban. Tidak tanggung-tanggung, Ditrisya minta ditraktir makan di sebuah restoran Jepang, masih di mal yang sama. Kapan lagi ia bisa memilih menu berdasarkan gambar paling menarik, bukan berdasarkan harga. "Terima kasih, Lisa yang baik hati," seru Ditrisya riang setelah mengosongkan semua wadah makanan di atas meja. Istilah perut kenyang, hati pun senang benar adanya. "Urusan gratisan aja lo bilang gue baik hati." Ditrisya hanya menyengir kuda. "Sabtu nanti masih mau makan gratis, nggak?" tanya Lisa. "Sabtu minggu ini?" Lisa memutar bola mata. "Ya iya, sabtu lebaran haji masih jauh. Ya kali gue nanyanya dari sekarang." "Makan gratis dalam rangka apa, nih?" "Vinno mau grand opening kafe barunya hari sabtu, dia suruh gue ajak lo sekalian buat nyoba makanan di sana. Khusus gue sama orang yang datang sama gue dikasih gratis." "Vinno si gendut itu?" Satu-satunya pemilik nama Vinno yang Ditrisya kenal adalah teman SMA-nya dan Lisa dulu, bertahun-tahun mereka hanya saling berhubungan di sosial media. "Kok gue nggak tahu lo dekat sama dia?" "Sembarangan. Vinno udah nggak segendut dulu tahu. Ya, masih berisi, sih, tapi nggak meleber-meleber gitu. Orang dia rajin olahraga dan makannya bersih banget. Kita ngobrol lagi belum lama, waktu itu dia komen story aku, terus kita ngobrol deh tiap hari." "Perasaan gue nggak pernah tuh tiba-tiba stories gue dikomen orang lain." "Stories lo quotes doang, sih, orang kalau nggak kepencet pasti malas lihatnya." "Apa salahnya berbagi motivasi? Daripada foto-foto sana video muka sendiri atau nggak joget-joget tapi gerakannya kaku." "Halah, orang main sosmed tuh buat yang fun-fun. Vibes positifnya dari lihat postingan keseharian yang menyenangkan. Posting makanan enak, jalan-jalan, pacaran. Itu yang bikin yang lihat termotivasi." Ditrista menarik sebelah sudut bibir seolah mencemooh. "Yakin, memotivasi? Bukan malah bikin yang lihat iri? Postingan pamer kok dibilang buat motivasi." "Tergantung siapa yang lihat dan perspektif yang dipakai," sungut Lisa. "Ah udah lah, kita pernah bertengkar masalah ini ya. Buat sebagian orang, update stories itu cara ngilangin stress, jangan rusak kebahagiaan kecil orang lain, cuma karena menurut lo berbeda." "Oke, oke." Ditrisya angkat tangan menyerah. "Berhubung lo kayaknya deket banget sama Vinno, apa lo nggak bisa minta makan gratisnya diundur hari minggu aja?" "Emangnya lo hari sabtu udah ada janji? Mau ke mana, sih? Jomlo juga. Kalau ke rumah keluarga, mending ke sananya aja yang diundur hari minggu." "Ya ..., nggak kemana-mana sih, badan capek aja. Ingin rebahan seharian." "Kalau gitu, rebahan sehariannya yang hari minggu aja." "Enggak bisa?" "Nggak bisa kenapa?" "Pokoknya nggak bisa aja." Lisa tidak langsung merespon, tatapan menyelidiknya muncul lagi. "Lo benar-benar aneh hari ini." "Biasa aja, deh, perasaan." Ditrisya tertawa garing, maksud hati menegaskan dirinya santai. "Gue kira, lo beli baju warna pink padahal belum tahu mau dipakai kapan, itu udah aneh banget. Terus sekarang, lo lebih milih rebahan, ketimbang makan gratisan." Lisa mencondongkan tubuhnya ke depan hingga perutnya menekan menekan meja. "Jawab, lo lagi nunggu seseorang ngajak lo malam mingguan?" "Apaan-- uhuk!" Ditrisya tersedak oleh ludahnya sendiri saking tidak menyangka Lisa akan menanyakan hal itu. Buru-buru ia meraih gelas minum, menyedot isinya yang tinggal es batu hingga menimbilkan bunyi spuput berserak. Seolah sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, Lisa manggut-manggut sambil senyum separo. Lisa menarik tubuhnya bersandar di kursi dan bersendekap di perut. "Jadi, siapa?" "Nggak ada. Lo aja yang sok tahu," Ditrisya mengelak. "Lo nggak bisa bohong dari gue, Di. Nggak ada istilah sok tahu antara gue sama elo." "Beneran nggak ada. Jangan suka cocoklogi deh." "Udah jawab aja. Pengusaha dari mana? Apa jangan-jangan lo jadi dijodohin sama anak Haji juragan sembako itu?" Ditrisya melotot lebar. Lisa menahan geli melihat tingkah Ditrisya. "Ya udah deh, kalau lo masih malu-malu meong. Kapan pun lo siap cerita, gue siap dengerin. Lagian apa salahnya, sih? Bagus lagi, akhirnya lo mau membuka hati." "Beneran nggak ada, Lisa..., apa yang mau gue ceritain coba?" Ditrisya setengah mengerang frustrasi. Kenyataannya memang hatinya belum Ia buka untuk siapa pun. Mungkin bisa dibilang baru terketuk. Namun, keanehan yang diungkapkan Lisa membuat Ditrisya sadar kalau memang ada yang sedikit berubah dari dirinya semenjak mengenal Ahyar. Baiklah, ia akan mengaku hanya pada dirinya sendiri. Jujur, iya. Iya Ditrisya memikirkan pesan ajakan malam mingguan dari Ahyar. Otaknya terbawa begitu saja ke sana, meski Ditrisya sudah mengalihkannya dengan berusaha memikirkan hal yang pasti-pasti saja. Memalukan sekali jika dirinya betulan terbawa perasaan, sedangkan bisa jadi Ahyar hanya berniat bermain-main. Diam-diam, Ditrisya berharap Ahyar akan muncul di rumahnya hari sabtu. Seperti halnya Ahyar betulan meneleponnya malam itu. Pandangan Ditrisya terhadap Ahyar berubah sejak tahu sepenggal latar belakang Ahyar. Logikanya mudah menerima jika dibalik tidak bertanggungjawabnya Ahyar menjalani kehidupan, sesungguhnya karena lelaki itu tidak punya orang-orang yang harus dia jaga nama baiknya dan dibanggakan. Maka, saat beberapa hari lalu Ahyar bercerita kalau dia sejak kecil hanya diajari kebahagiaannya sendiri, semua makin jelas. Dan saat Ahyar bilang, dirinya ternyata tidak bahagia saat sendirian, saat itu Ditrisya sungguh ingin memeluknya. Ia ingin mengatakan kalau Ahyar tidak akan sendirian dan mengizinkan Ahyar menganggap Ibu Ditrisya sebagai ibunya juga. Ditrisya pasti akan menukung semangat berbisnis Ahyar sebagai teman diskusi, jika saja lelaki itu bisa bersikap serius. Bukannya menggoda Ditrisya dengan segala tebakan over percaya dirinya. "Pasti lagi mikirin dia, ya?" goda Lisa. Detik selanjutnya tawa Lisa menyembur kuat. "Astaga, Di, lo mesti lihat muka lo sekarang. Udah deh, nggak usah ngelak. Lo lagi naksir seseorang, kan?" Ditrisya berdecak, dalam hati mengakui bahwa dia memang memikirkan Ahyar. "Belum lima menit lalu lo bilang akan nunggu sampai gue siap cerita sendiri, ya, Lis." Ditrisya mengingatkan. "Nggak jadi mau nunggu. Penasaran akut gue, cerita sekarang aja. Siapa, Di, siapa? Siapa cowok yang akhirnya jatuh cinta. Kaya, nggak? Pastinya dia punya kerjaan tetap lah, ya? Kenal di mana? Mana coba mau lihat fotonya--" "Aduh, Lisa ...," potong Ditrisya terdesak oleh cecaran Lisa. "Gue nggak jatuh cinta!" Dengan kesal Ditrisya meraih tasnya dan bergegas pergi dari hadapan Lisa, dan itu malah membuat Lisa makin kesulitan mengendalikan tawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD