29 | Childish Adult

1744 Words
Hari ini Ibu Ditrisya berulang tahun yang ke lima puluh lima tahun. Ahyar dan Ditrisya mampir ke pusat perbelanjaan berencana mencarikan kado. Hal yang hampir tak pernah Ditrisya lakukan sebelumnya, ia yakin Ibu akan kaget luar biasa saat menerimanya nanti. Menurut Ditrisya, alih-alih barang, biasanya Ditrisya selalu mentransfer uang lantaran kedua kakak iparnya rajin membelanjakan Ibu bergantian. Mereka sempat berdebat masalah itu. Menurut Ahyar uang itu bukan kado, sementara menurut Ditrisya percuma dibelikan barang yang tidak dibutuhkan atau parahnya tidak diinginkan. Lebih bermanfaat diberi uang. "Jangan baju. Seleranya ribet. Kalau nggak suka, nggak mungkin dipakai. Lagian baju Ibu udah banyak banget." "Lihat-lihat sandal aja, gimana? Kamu tahu, kan, ukuran kaki Ibu?" Ditrisya diam sebentar, lalu menggeleng. Ahyar menghela napas berat. "Terus apa, dong? Ini jangan, itu jangan. Kamu sebenarnya tahu nggak sih yang Ibu kamu suka itu apa?" "Kan aku udah bilang, Ibu nggak suka di kasih barang, mending uang cash." "Nggak, itu kamu," sergah Ahyar tak percaya. Di dunia ini mana ada orang tidak suka hadiah. Kadang hadiah tidak dinilai dari harga atau manfaatnya, melainkan kesediaan repot-repot memikirkan apa yang kiranya penerima hadiah itu suka. Setelah mengubek-ubek isi mal, tanpa mempertimbangkan pendapat Ditrisya, Ahyar memilihkan satu set cangkir keramik cantik setelah teringat deretan cangkir di rak kaca d8 salah satu sudut rumah orangtua Ditrisya. Ibu terlihat senang sekali, ia memeluk Ahyar berkali-kali hingga anak kandungnya sendiri memberengut iri. "Bu, yang dia kasih itu cuma cangkir keramik. Bukan cangkir berlapis emas," protes Ditrisya. "Ibu tuh, sebenarnya udah nggak terlalu suka dikasih barang--" "Tuh, kan." Ahyar dan Ibu saling bertukar pandang, Ibu seolah minta permakluman bahwa memang sepertu itulah anak gadisnya. Ibu kemudian melanjutkan, "tapi daripada dikasi uang aja, Ibu lebih suka uangnya dibelikan sesuatu. Biar kata cuma dibelikan Surabi, Ibu juga senang." Dagu terangkat Ditrisya kembali diturunkan lantaran analisanya tidak seratus persen tepat. "Kalian cuma datang bawa diri aja Ibu udah seneng banget," tambah itu. Ibu memijit-mijit lengan Ahyar. "Gimana persiapan bisnis kamu? Lancar?" "Lancar." Ahyar duduk kikuk di sebelah Ibu Ditrisya. Sejak mereka tiba, Ibu langsung menariknya untuk duduk bersebelahan. Sementara Ditrisya disuruh membuatkan minum untuk Ahyar yang pasti haus. "Kemarin kami habis ngecek progres food truck-nya, udah 80 persen. Ibu mau lihat fotonya, nggak? Keren banget," ujar Ditrisya. "Mana coba, Ibu mau lihat." Ditrisya lantas mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto mobil kuliner Ahyar, bonus ada mereka berdua berpose berangkulan, memamerkan cengiran dan jari membentuk huruf V. Foto itu diambil oleh salah satu pekerja yang ada di dekat mereka. Foto terbaik, setelah membuat pekerja itu kesal lantaran Ahyar menyuruhnya mengulangi berkali-kali selagi ia dan Ditrisya berdebat harus berpose seperti apa. Ahyar ingin Ditrisya senyum lebih rileks, tidak perlu malu pamer gigi. Ditrisya kesal karena Ahyar yang konon punya banyak pengalaman dengan wanita, masa tidak mengerti kalau para wanita sengaja membuat senyumnya sok manis agar pipi mereka tidak terlihat chubby. Akhirnya Ditrisya mengalah dan tersenyum lebar. Tentu saja, pipinya terlihat tembam. Namun, karena Ahyar bilang itu menggemaskan, makanya Ditrisya menganggapnya sebagai foto terbaik. "Wah, iya, bagus banget ini," puji Ibu. "Jadi nanti bisa pindah ke mana-mana gitu, ya? Nggak diam di satu tempat?" Ahyar mengiyakan, kemudian menjelaskan secara singkat konsep bisnisnya. Nanti mereka juga menyediakan layanan pesan antar lewat ojek online, sehingga semuanya serba fleksibel. Ibu manggut-manggut mengerti. "Ibu doain semoga sukses. Nanti Ibu bantu juga promosi ke teman-teman pengajian Ibu, ini lho punya calonnya Tri." Ahyar tertawa kecil. "Terima kasih." Ibu memperhatikan foto itu lagi seolah baru menyadari sesuatu. "Tri, kamu nggak bosen apa rambut pendek terus?" Ditrisya mengambil ponselnya lagi. "Nggak bosen. Enakan gini, hemat shampo." "Ya Allah, Tri, kamu jangan malu-maluin Ibu. Masa alasannya begitu. Berapa, sih, harga shampo." Ibu geleng-geleng kepala, sementara Ahyar sama sekali tidak kaget. "Emang sejak kapan Ditrisya rambutnya dipotong pendek?" tanya Ahyar. "Sejak SMA," sahut Ibu mendahului Ditrisya. "Sejak itu sampai sekarang, rambutnya nggak pernah nyentuh pundak. Padahal dulu kecilnya rambutnya selalu panjang, lurus, rapi, cantik sekali. Tuh, kayak itu." Ibu menunjuk figura yang dipajang diatas kabinet pajang ruang tamu. "Iya, lucu." Ahyar melirik Ditrisya, membandingkan seberapa banyak waktu merubah penampilan gadis itu. "Nggak mau coba rambut panjang lagi?" Ditrisya berdecak malas. "Nggak, ah. Dulu rambutnya bagus karena Ibu yang rajin rawat.Sekarang nggak mau ribet. Lagian, potongan rambut ini paling cocok lagi, sama portur tubuh aku." Ditrisya lalu melotot garang pada Ahyar. "Kamu jangan rese ngatur-ngatur gimana aku mesti berpenampilan." Ibu geleng-geleng kepala lagi. "Ya, gimana lagi, Yar. Memang begitu anak Ibu. Kamu maklumin aja, ya." Ahyar mengangguk sambil terkekeh sudah maklum sekali. "Padahal nggak apa-apa, lho, menyenangkan pasangan lewat ubah sedikit penampilan. Biar lebih fresh juga kamu dilihatnya," tambah Ibu. "Aku nggak mau berubah cuma demi pasangan, apalagi kalau itu nggak bikin aku nyaman." Melihat bibir Ibu membuka, hendak mendebat, Ditrisya buru-buru mendahului, "udah deh, Bu, nggak usah bahas rambut pendek aku. Mending Ibu kasih wejangan apa gitu ke Ahyar biar dia tambah semangat. Wejangan, lho, Bu. Bukan tuntutan harus cepat sukses. Yang penting semangatnya dulu," Ditrisya mewanti-wanti. Terkadang wejangan atau nasehat jadi menyebalkan jika hanya menjurus pada hasil. Padahal yang paling berat adalah prosesnya. Setidaknya, itu lah yang Ahyar dapat dari beberapa biografi singkat pengusaha sukses yang pernah ia baca. Menjaga motivasi dan sembangat di tengah proses berat itu merupakan tantangan lain. "Wejangan apa? Ya, seperti yang selalu Ibu bilang ke kamu dan kakak-kakakmu atau Catur. Kalau sudah yakin sama satu tujuan, jangan lirik kanan kiri." Ibu menepuk-nepuk punggung tangan Ahyar dan bicara sambil menatap lelaki itu. "Apalagi di dunia usaha. Nggak ada aturan setelah sekian tahun dan melewati jenjang-jenjang, kamu akan naik pangkat seperti yang kerja kantoran. Kamu bisa cepat atau lambat suksesnya, tergantung diri kamu sendiri. Kalau udah mulai capek, sambil istirahat ambil napas ingat-ingat lagi tujuan kamu." Sesaat Ahyar termangu, setelah Ibu pengasuh panti, sepertinya baru kali ini ia dinasehati seseorang lagi. "Berhubung Tri udah ngingetin nggak boleh kasih tuntutan, Ibu cuma akan bilang, sukses cepat-cepat itu nggak perlu. Merangkak nggak apa-apa, asal merangkaknya konsisten dan terus maju. Biar kamu senang ngelaninya, jadi capeknya, bukan capek yang bikin ingin udahan." "Iya ...," jawab Ahyar menggantung. "Iya apa?" Ahyar menelan ludah serat, jantungnya berdebar kesulitan mengeluarkan satu kata dalam benaknya. Satu kata yang kini punya makna berbeda. Sekilas Ahyar melirik Ditrisya yang ternyata juga tengah menatapnya, dia tersenyum dan mengangguk samar seakan-akan bisa membaca situasi hati Ahyar. Ahyar menaik napas, lalu mengembuskan perlahan. "Iya ..., Bu ...." Ibu tampak puas mendengarnya. "Nah, nggak usah sungkan-sungkan sama Ibu. Semua yang sayang sama anak-anak Ibu, sudah Ibu anggap seperti anak sendiri." Ahyar membatin, Ditrisya memberi ia lebih dari apa yang ia harapkan. Dengan cara apa Ahyar bisa membuatnya merasakan hal sama? "Disamping kerja keras, jangan lupa berdoa." Suara Ibu menarik Ahyar kembali pada lawan bicaranya. "Jangan lupa minta restu orang tua, biar semua dimudahkan." Ahyar hanya bisa mengangguk kaku. *** Ahyar semula rencananya baru akan pulang setelah makan malam bersama keluarga itu, tetapi ia mengurungkan rencananya karena tiba-tiba merasa ada yang harus ia lakukan. Ditrisya sempat memastikan perubahan rencana itu bukan karena ucapan Ibunya, Ahyar meyakinkan kalau ia mengerti Ibu belum tahu kenyataannya. Sejauh ini orang tua Ditrisya sangat baik padanya, Ahyar tidak tahu apakah sikap baik mereka akan sama setelah tahu kenyataan Ahyar tumbuh besar di panti asuhan. Setiap orangtua pastinya ingin anak mereka mendapat pasangan yang jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Namun, biar lah itu jadi urusan nanti. Banyak hal yang harus Ahyar urus, ia tidak sanggung jika harus disuruh berprasangka-prasangka. "Bang!" Begitu Doni menemukan siapa yang muncul di bengkel sore ini, lelaki tanggung itu langsung menyongsong Ahyar dengan pelukan. Ahyar tertawa, menepuk-nepuk punggungnya yang masih sama kurus seperti terakhir kali. "Udah, apa, sih. Geli dilihat orang." Ahyar berusaha mendorong Doni. Bukan karena enggan menerima pelukannya, tetapi tidak ingin menjadikan pertemuan ini momen emosional. "Bang, lo ke mana aja?" "Nggak ke mana-mana. Gimana kabar lo?" "Apaan, nggak ke mana-mana. Lo aja nggak bisa dihubungi, Bang." Ahyar hanya tertawa, mengajak Doni bercanda dengan memiting lehernya dari belakang yang membuat Doni mengaduh berusaha meloloskan diri. Menurut Doni, Bos Bambang sedang pergi. Bengkel dalam keadaan sepi. Entah itu hanya usaha Doni untuk membuat perasaan Ahyar baik atau memang begitulah adanya, Doni mengatakan bengkel semakin hari semakin banyak pelanggan. Bos Bambang menggratiskan layanan tambal ban demi menarik kembali kepercayaan pelanggan. Ahyar berharap itu benar. Sejujurnya Ahyar malu baru datang ke sini sekarang, setelah membiarkan Bos Bambang dan Doni membangun bengkel ini dari awal. Ahyar tidak mengelak tindakannya memblokir kontak Doni bisa dikatakan sebagai kabur. Berdalih tahu diri makanya angkat kaki, padahal sebenarnya Ahyar hanya tidak tahu harus bertanggung jawab bagaimana selain pergi. Memang benar menjadi dewasa dan merasa rasional, belum tentu membuat orang itu bijak dalam mengambil keputusan. Ahyar tidak habis pikir pada dirinya sendiri, bagaimana bisa ia menjauhi orang yang pernah ia tuakan dan merawatnya seperti keluarga. Ponsel Ahyar berdentik, pesan masuk dari Ditrisya yang mengirimkan foto cangkir pemberiannya sudah dipakai minum teh oleh Ibu. Ahyar tidak bisa menahan senyumnya, senang pemberiaannya dihargai. "Dari cewek mana lagi, Bang?" tanya Doni berusaha mengintip isi pesannya. Ahyar mendorong kepala Doni. "Mau tahu aja lo." Meski begitu, Ahyar membuka foto profil kontak Ditrisya. Memperlihatkan potret selfie gadis itu dengan senyum bibir ditipiskan dan dagu dilancipkan sok manis andalannya. "Nih, sama dia. Inget, nggak?" Doni melebarkan mata. "Yang kena tipu lo waktu itu, Bang?" Doni jelas masih mengingatnya. "Kenapa waktu itu dia bilang kalian nggak pacaran?" "Waktu itu kapan?" "Beberapa minggu abis lo pindah, Bang. Dia beli bensin. Gue kira kalian dekat, makanya gue tanya-tanya. Makanya gue juga nggak sadar cerita ...." "Cerita apa?" Di kepala Ahyar sudah menebak sesuatu, Doni harus menjawabnya agar Ahyar tahu tebakannya benar atau salah. Doni meringis kecil, tampak ragu dan merasa bersalah. "Em, sebelumnya maaf, ya, Bang. Beneran, gue kira kalian dekat. Gue cerita soal... soal lo yang besarnya di panti." Ahyar mengembuskan napas, tebakannya benar. "Mbak itu pasti udah cerita, ya, Bang?" "Nggak apa-apa, lagian emang udah seharusnya dia tahu." Doni menghela napas lega. "Syukurlah, Bang kalian beneran pacaran. Gue sempat takut dia mau manfaatin informasi itu buat jatuhin lo, Bang. Ngomong-ngomong, Bang, kenapa akhirnya lo mau ketemu Bos Bambang?" "Biar banyak yang doain gue." Sejurus kemudian motor Bos Bambang tampak dari kejauhan. Ahyar berdiri menunggu motor itu kian mendekat hingga berhenti di depannya. Sorot kecewa masih ada di mata Bambang saat tatapannya bertemu dengan tatapan Ahyar. Bagaimana pun, sebelum mengharap kehidupan baru lebih baik, Ahyar harus bersikap layaknya orang baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD