28 | Work in Progress

1507 Words
"Wah, ini, sih, keren banget," Ditrisya berseru takjub saat Ahyar mengajaknya ke bengkel modifikasi food truck-nya. Ahyar pernah sekali waktu menunjukkan pada Ditrisya foto mobil bak terbuka bekas yang dibeli Ahyar sebelum dibongkar dan desain perencanaannya. Bentuk asli mobil ini setelah dimodifikasi benar-benar jauh lebih bagus dari ekspektasi Ditrisya. Ditrisya berlari kecil, mendahului Ahyar mendekati kendaraan yang kini bisa disebut food truck itu. Ia mengitarinya sebanyak dua kali, memperhatikan setiap lekuk dan detik terkecilnya. "Tapi kenapa warnanya merah?" "Menurut teori, warna merah lebih menarik perhatian. Terutama buat bisnis kuliner, teknologi, sama apa lagi aku lupa. Lihat aja itu, merek-merek frenchise besar, kebanyakan brand mereka dominan warna merah." "Iya, sih," gumam Ditrisya memandangi kendaraan besar di depannya ini lagi. Tidak jelek, warna merah sangat cocok dengan design-nya. Warna ini juga membuat food truck ini tampak agresif dan membangkitkan semangat siapa pun yang melihatnya. "Tapi jadi mirip kayak mobil pemadam kebakaran." Ahyar menatap Ditrisya datar. "Kenapa nggak sekalian bilang mirip mobil tangker Pertamina?" Ditrisya menyengir lebar. "Baru mau bilang." "Dasar." Ahyar menjitak puncak kepala Ditrisya sambil tertawa gemas. "Nggak apa-apa, siapa tahu beberapa tahun lagi, orang-orang kalau lihat kendaraan besar warna merah akan langsung ingat sama produk aku." Ditrisya mengaminkan meski hanya dalam hati. "Pilih nama belum nemu juga?" Tidak salah jika Ditrisya menyebut food truck ini mirip mobil pemadam kebakaran karena memang belum ada nama produk atau logo. Nama menjadi sangat penting karena itu yang akan dikenalkan pertama kali, sehingga tidak boleh asal memberi nama. Ahyar mengaku ingin nama itu diambil dari bahasa Indonesia, mengingat kekuatan produknya adalah makanan nusantara. Harus unik dan ear-catching. Ahyar mendesah, seolah sudah teramat bosan diingatkan masalah itu. "Kalau sampai minggu depan belum juga ada, terpaksa pakai nama sendiri." "Ahyar Burger? Burger Ahyar?" Ditrisya mencoba mengejanya. "Hm, Burger Ah boleh juga tuh," cetusnya seakan-akan baru menemukan ide brilian. "Jadi, kan, filosofinya gini, misal aku lagi bingung makan apa. Terus di pikiran aku pengen burger, aku pas bilang pesan burger ah. Atau pas aku lagi di jalan dan lihat foodtruck kamu, dari yang nggak ingin makan burger, pas baca namanya jadi muncul keinginan, makan burger ah." "Pacar, itu absurd banget," Ahyar mengintatkan sambil tertawa geli. "Kata ah-nya bisa dipersepsikan beda, tergantung siapa yang baca. Gimana kalau mereka nyebut ah-nya dikasih desahan." Ditrisya coba mempraktekan. "Ah ..." Dan kemudian begidik geli sendiri. "Tunggu, itu bisa jadi trik marketing. Yang jual nanti cowok-cowok telanjang d**a, cuma pakai apron doang. Orang-orang pasti pada penasaran, terutama cewek-cewek. Bisa jadi malah viral." Ahyar menepuk tangan sekali, yakin ide itu akan berhasil. "Aku mulai bentuk badan kali, ya? Udah lama, nih, nggak olah raga." "Heh! Itu p***o!" sentak Ditrisya, tidak kuat membayangkan Ahyar bertelanjang d**a dikelilingi banyak gadis-gadis muda yang sahut-sahutan mendesahkan 'ah'. "Itu ide kamu." "Maksud aku Ah-nya dikasih tanda seru, bukan titik tiga." Ahyar tertawa kencang, ia merangkul ringan pundak Ditrisya. "Mau naik, nggak?" "Boleh?" tanyanya mirip anak kecil minta izin naik odong-odong. Ahyar mengendikkan dagu, mempersilakan Ditrisya menaiki foodtruck-nya. Ditrisya membuka pintu bagian kemudi, ketika Ahyar dipanggil oleh Bang Eno, orang yang memodifikasi foodtruck ini. Ahyar memberi isyarat pada Ditrisya bahwa dia akan segera kembali. Ditrisya pun mengangguk mengerti. Ditrisya bermain-main sendiri dengan mobil itu, memutar-mutar lingkaran kemudi seakan sedang di jalan raya sungguhan. Memperhatikan interiornya dengan penuh minat. Ditrisya tertarik ingin lihat juga bagian belakang, ia turun dari ruang kemudi dan membuka pintu di bagian belakang. "Wah ...," decaknya kagum untuk ke sekian kali. Ini hampir mirip dengan dapur di restoran Sisil, hanya saja ukurannya sangat jauh lebih kecil. Ditrisya tertarik pada plat pemanggang panjang sekitar 60 cm yang merupakan salah satu bagian terpenting mobil kuliner ini. Ditrisya melihat ke arah Ahyar dan Bang Eno, mereka tampak serius mendiskusikan sesuatu sembari menunjuk-nunjuk bagian mobil. Ahyar dan Bang Eno lalu mengangguk-angguk, seperti sudah menyepakati sesuatu. Saat Ahyar mendekat ke arah mobil, Ditrisya mengembangkan senyumnya. Seolah di kedua tangannya ada spatula imajiner, ia membuat gerakan-gerakan seakan sedang membalik-balik sesuatu di atas pemanggang. "Hai, mau beli apa?" Ditrisya mengajak serta Ahyar masuk dalam dunia imajinasinya. Ahyar yang cepat tanggap, seketika berlakon sebagai pembeli. "Kamu jual apa?" "Ada Burger, Taco, Toast. Kami punya banyak varian, silakan pilih yang Anda suka." "Kalau aku sukanya sama yang jual, boleh dipilih juga?" Ditrisya berdehem coba mengendalikan diri. Semenjak meyerah pada perasaan dan 'menyerahkan' diri pada Ahyar, Ditrisya mengakui dirinya sangat gampangan. Alih-alih kesal seperti dulu, kini gombalan semacam itu jadi tanpa sadar jadi gaya bercandaan baru. Barangkali itu karena Ditrisya merasa aman. Ia tidak takut lagi jatuh, sebab ia tahu ia akan jatuh di tempat yang tepat. "Oh, mohon maaf sekali. Yang jual ini sudah ada yang punya." "Yah ...," desah Ahyar seakan kecewa. "Udah, putusin aja dia. Kamu sama aku." "Mohon, maaf, saya orang yang setia." "Gimana kalau pacar kamu nggak setia?" Prang! Ditrisya menggebrak pemanggangan, sorot matanya menajam seolah lupa saat ini mereka hanya sedang berlakon. Gadis itu mendesis, "coba aja kalau berani. Aku tempelin wajah dia di sini." Ditrisya menggebrak pemanggangan lagi. Ahyar menahan senyum geli. Ahyar menggerakkan jari telunjuknya, memberi isyarat agar Ditrisya mendondongkan badan, mendekat ke arahnya. Ditrisya mengikuti hingga wajah mereka sangat dekat sekarang. Ahyar berbisik, "kamu beruntung. Meskipun berani, dia nggak akan berani coba-coba karena dia lebih takut kehilangan kamu daripada wajahnya ditempelin di pemanggang." Seketika ada hawa hangat menjalar dari d**a hingga menyebar di wajah. Benar, bukan? Ahyar membuat Ditrisya sangat murahan di depannya. "Ditrisya." Ditrisya terkesiap namanya diserukan oleh suara yang amat ia kenal. Benar saja, saat ia menoleh ke sumber suara, ia melihat Lisa bersendekap di samping Vinno. Tatapannya tajam seolah baru menangkap basah Ditrisya membuat kesalahan fatal. *** Setelah menyapanya berbasa-basi, rupanya Lisa di sini menemani Vinno yang akan mengecek progress pembuatan kedai kopi ekspress sebagai bagian dari inovasi bisnisnya. Dari sekian hari dan jam, entah kenapa mereka harus dipertemukan di jam yang sama. "Lo nggak bilang kalian udah pacaran." Lisa menuntut penjelasan. Saat ini mereka ada di luar bengkel setelah Lisa berkata mereka harus bicara. "Sejak kapan?" "Baru sekitar dua minggu lalu." Ditrisya tahu dirinya tidak harus menjawab itu dengan kepala tertunduk, tetapi sikap Lisa sangat mengintimidasi. Ia pikir, harus ada salah satu dari mereka yang merendahkan ego. Ia yakin ia bisa membuat Lisa menghargai keputusannya. "Lo benar-benar nggak mendengarkan gue, ya, Di?" desis Lisa seolah tak habis pikir. "Lis, apa pun yang lo pikir tentang Ahyar, semua itu lo dapat dari katanya dan kayaknya, kan? Tapi gue kenal Ahyar langsung." "Tetap aja lo nggak bisa mengabaikan katanya dan kayaknya itu. Semua orang pasti ingin mempresentasikan dirinya baik, makanya yang dibilang ke kamu baik-baiknya aja." Ditrisya menatap Lisa kecewa. "Seberapa lo percaya Vinno orang baik?" "Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Tentu saja Vinno lebih baik. Dia nggak pernah mainin cewek, dia pekerjaan jelas, dan pastinya dia nggak genit." Lisa lalu berdecak, barangkali sadar ucapannya barusan makin membuat Ditrisya kecewa. "Di, gue tahu gimana rasanya diperlakukan manis sama cowok. Gue tahu lo orangnya nggak tegaan, lo pasti tersentuh karena dia cerita dia mau berubah, kan? Buka mata lo, Di, gue nggak akan sabar ngingetin lo berkali-kali seandainya gue nggak peduli sama lo." Ditrisya menepis pelan kedua tangan Lisa yang mengguncang bahunya. "Bukan kayak gini yang dilakukan orang yang beneran peduli." "Maksud lo apa?" "Kalau lo tahu gue, lo pasti akan tahu gue bukan orang yang gampang terpengaruh omongan manis. Cuma karena gue nggak punya banyak pengalaman sama cowok, lo nggak bisa mendikte gue kayak begini," tandasnya. "Lo bahkan nggak mau tahu apa yang bikin gue percaya sama Ahyar." "Ya udah, apa?" Ditrisya tertawa mencemooh. "Kalau tujuan lo ingin tahu cuma buat mematahkan keyakinan gue, mending lo tetap sama anggapan lo kalau gue udah dibutakan sama kegenitan Ahyar." "Nggak mau terima second opinion apa namanya kalau nggak buta?" "Apa bedanya sama lo? Nggak mau tahu alasan orang lain, apa namanya kalau nggak buta?" "Apa?!" "Jangan khawatir, Lis, gue milih Ahyar dengan mata terbuka, kok. Gue nggak mau membuktikan apa-apa, kalau pun nantinya Ahyar benar kayak yang lo bilang, biar itu jadi pelajaran buat gue." Ditrisya menghela napas panjang dan menatap Lisa. "Sebagai teman, tolong hormati keputusan gue, Lis." Pada akhirnya, Ditrisya tetap bertahan pada keyakinannya dan perasaannya. Ia meninggalkan Lisa dan berlari menghampiri Ahyar yang sedang menendang-nendang udara di dekat mobil kulinernya. Saat mendapati keberadaan Ditrisya, Ahyar tersenyum tipis. Senyum yang lebih terlihat miris. "Aku tahu aku seharusnya nyuruh ngedengerin orang terdekat kamu, daripada memaksa kamu bertahan buat orang yang belum terlalu lama kamu kenal. Apa aku egois kalau aku ingin kamu tetap di sini?" "Tanpa kamu memaksa, aku akan tetap akan di sini." "Kamu percaya sama aku?" Ditrisya menggeleng. "Aku nggak pernah percaya sama manusia. Aku percaya sama penilaianku dan mengikuti perasaanku." Ditrisya meraih tangan Ahyar, mengapitnya posesif. Ia mendongak agar bisa menatap wajah Ahyar. "Jangan berusaha buktikan apa-apa ke orang lain, fokus aja sama tujuan kamu. Kalau seandainya nanti kamu bikin aku kecewa, aku beneran akan tempelin wajah kamu di pemanggang," ancam Ditrisya. Alih-alih menyeramkan, di telinga Ahyar itu terdengar sangat manis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD