***AUTHOR***
Ini hari ketiga rumah besar tanpa ada Wulan. Sampai hari ini, Puspa tetap konsisten untuk menjadikan paviliunnya sebagai dunia bagi ia, dan Ervan. Meski Pak Ervan kerap memancing-mancingnya agar mau memperluas 'dunia kita berdua' di rumah besar, tapi Puspa selalu bisa menolaknya.
Seperti hari ini, usai makan malam Ervan memanggil, dan meminta Puspa duduk untuk menemani nonton televisi, di ruang tengah rumah besar. Puspa menolak keinginan Ervan, ia mengaku lelah, dan ingin istirahat di kamar saja.
Terpaksa Ervan mengikuti Puspa masuk ke dalam paviliun.
Begitu sampai di dalam paviliun, Ervan langsung mengangkat tubuh Puspa untuk dibopong menuju kamar tidur mereka.
"Pak, eehh ... Pak!" Puspa terpekik kaget saat merasa tubuhnya melayang. Ervan membaringkan Puspa di atas tempat tidur.
Tubuh Ervan membungkuk di atas Puspa.
"Sekarang kita sudah berada di dunia kita, bisakah aku memilikimu sekarang?" tanya Ervan dengan suara sangat lembut.
"Bapak boleh melakukan apa saja pada saya di tempat ini, jangan rubah apa yang sudah menjadi kesepakatan kita, Pak," jawab Puspa tegas.
Ervan membanting tubuhnya ke atas kasur tepat di sisi tubuh Puspa.
"Kesepakatan!? Jadi sampai sekarang, kamu masih menganggap pernikahan ini hanya sebagai sebuah kesepakatan, Puspa?" tanya Ervan lirih, namun jelas ada kemarahan di dalam suaranya.
Mata Puspa berkaca-kaca, saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Ervan.
"Kita harus tetap pada tujuan semula, untuk apa pernikahan ini dilakukan, Pak."
"Awalnya aku yakin, aku akan bisa memegang komitmen itu Puspa. Tapi, aku tidak bisa menghindar, kalau aku mulai jatuh cinta padamu." Ervan memiringkan tubuh, dipeluknya tubuh Puspa erat.
"Tolong jangan ucapkan kata cinta, Pak. Berbagi tubuh Bapak saja, pasti sangat menyakitkan bagi perasaan Ibu, meskipun mulut Ibu berkata ikhlas. Apa lagi jika Ibu tahu, cinta Bapak mulai terbagi. Saya tidak ingin jadi benalu dalam rumah tangga Bapak, dan Ibu. Saya memang istri muda Bapak, tapi saya tidak ingin disebut perebut suami orang, penghancur rumah tangga orang. Seperti yang selama ini sering dituduhkan orang, pada wanita yang menjadi istri muda, Pak. Saya mohon, tolong bantu saya agar hati saya tetap terjaga. Saya bukan malaikat, Pak. Saya takut hati saya tergoda, untuk memiliki Bapak seutuhnya. Jadi tolong, jangan pernah memanjakan saya dengan ungkapan cinta," pinta Puspa dengan suara terisak.
"Ya Allah ... Puspa, aku tidak tahu terbuat dari apa hatimu, kamu ...."
"Pak, saya seorang wanita, Ibu juga. Ibu sudah seperti Ibu bagi saya, saya ... saya sangat menghormati Ibu. Saya menyayangi beliau, andai Ibu meminta nyawa saya, saya siap memberikannya, Pak. Jadi tolong jangan goyahkan ketulusan saya."
Ervan tidak bisa lagi bersuara, hanya dekapannya semakin erat di tubuh Puspa. Dikecup berulang kali puncak kepala Puspa.
'Puspa....
Aku mencintaimu....
Aku mungkin tidak akan bisa mengatakannya kepadamu, tapi hatiku tidak bisa berhenti mengungkapkannya.'
Kepala Puspa nyaman dalam dekapan d**a Ervan.
'Maafkan aku, Pak. Maafkan aku.
Sejujurnya bukan cuma Bapak yang jatuh cinta kepadaku, tapi aku juga jatuh cinta pada Bapak.
Tapi aku harus tahu batasan.
Aku harus tahu cintaku bukan untuk diperlihatkan, apa lagi dimanjakan.
Karena aku tidak ingin menyakiti perasaan Bu Wulan, orang yang paling berjasa dalam hidupku.'
--
"Pak, Bapak tidak ke kantor?" tanya Puspa, seraya berusaha melepaskan pelukan tangan Ervan.
Entah kenapa, Puspa merasa, Ervan terkesan seperti sangat manja kepadanya, sejak Wulan pergi ke Singapura. Atau mungkin seperti inilah aslinya Ervan jika sedang bersama Wulan.
Setiap habis sholat subuh, Ervan selalu minta berbaring berdua di atas tempat tidur sambil memeluknya.
'Apa mungkin Pak Ervan tengah puber kedua? Eeh ... puber kedua itu diusia berapa ya? Nnggak tahulah,' batin Puspa.
"Pak, bangun, sudah siang. Bapak harus pergi ke kantor." Puspa menepuk lengan Ervan lembut.
"Ehm ... aku libur ke kantor hari ini, Sayang. Hari ini tanggal merah," jawab Ervan bergumam.
'Sayang?
Ya Allah....
Apa dikira aku istrinya, eh maksudku Bu Wulan istri pertamanya,' pikir Puspa.
"Bapak, Pak!"
"Puspa Sayang, kepalaku pusing, badanku terasa tidak enak, tolong biarkan aku tidur," gumam Ervan, membuat mata Puspa membulat.
'Puspa sayang.
Jadi aku yang dipanggil beliau sayang.
Ya Allah....
Apakah ini godaan, sekaligus cobaan untuk menggoyahkan perasaanku?
Ya Allah....
Aku pasrah pada ketentuan MU.
Pasrah pada takdir hidup yang sudah KAU tuliskan untuk aku jalani.
Hanya aku mohon, ya Allah berikan aku kesabaran, dan ketabahan dalam menghadapi semuanya aamiin."
Doa Puspa di dalam hatinya.
Puspa bangun dari rebahnya, dan berusaha melepaskan tangan Ervan yang kemudian memeluk pinggangnya.
"Mau ke mana?"
"Mau ke dapur."
"Jangan kemana-mana, temani aku tidur, kepalaku sakit, Puspa. Tolong pijiti ya" Ervan merubah posisi, kepalanya diletakan di atas pangkuan Puspa, wajahnya tenggelam di antara kedua paha Puspa.
Meski Puspa berpakaian lengkap, tapi tak urung tubuhnya bergetar juga, karena tangan Ervan yang mengelus pinggulnya, dan wajah Ervan yang menyusup di pangkuannya.
Puspa memijit pelan kepala Ervan, terdengar dengkur halus dari mulut Ervan. Perlahan Puspa memindahkan kepala Ervan ke atas bantal.
Puspa ingin beringsut turun dari atas ranjang, tapi tangan Ervan menarik lengannya.
"Mau ke mana?"
"Mau ke dapur."
"Kepalaku belum selesai dipijit."
"Bapak ketiduran, jadi saya pikir kepala Bapak nggak sakit lagi," jawab Puspa. Ervan membuka mata. Matanya mengerjap karena silau, akibar sinar matahari yang menerobos masuk dari celah jendela.
"Hooeekk! Hooeekk!" Ervan bangkit dari atas kasur, dan langsung berlari masuk ke dalam kamar mandi sambil memegangi perutnya.
Puspa jadi panik melihatnya, ia segera ikut masuk ke dalam kamar mandi. Ervan memuntahkan isi perutnya di lubang closet, Puspa mengurut punggungnya pelan.
"Bapak pasti masuk angin, saya kerikin ya, Pak."
Ervan mengangguk, setelah membersihkan mulutnya, dan juga closet dari muntahannya. Ervan ke luar dari kamar mandi, dengan Puspa memegangi lengannya.
"Bapak tengkurep saja, biar punggung Bapak saya kerik." Puspa mengambil minyak kayu putih, dan uang logam dari dalam laci meja.
Ervan sampai berteriak kesakitan menerima kerikan Puspa, ini pertama kalinya ia bersedia dikerik.
Setelah selesai.
"Puspa."
"Ya, apa Bapak ingin minum, atau sarapan, biar saya buatkan."
Kepala Ervan menggeleng.
"Bapak harus sarapan, Pak. Nanti masuk anginnya tambah parah."
"Tidak Puspa, kalau kamu ingin sarapan, pergilah," gumam Ervan semakin dalam menyusupkan wajahnya ke dalam bantal.
"Pak."
"Pergilah Puspa, aku tidak apa-apa."
"Bapak marah sama saya?" tanya Puspa sambil meraih bahu Ervan.
Ervan tidak menjawab.
"Pak"
"Aku ingin tidur Puspa, pergilah."
"Bapak marah? Tapi saya tidak tahu Bapak marah karena apa? Katakan apa salah saya Pak?"
"Pergilah Puspa, saya ingin tidur." Ervan mengibaskan tangannya, meminta Puspa agar meninggalkannya. Puspa melangkah mundur menjauhi ranjang, lalu ke luar dari kamar. Hatinya gelisah, melihat Ervan yang sedang sakit, tapi seperti tengah marah kepadanya.
--
Sejak kejadian pagi itu, sudah dua hari ini Ervan tidak datang ke paviliun Puspa. Ervan juga tidak pernah sarapan di rumah. Ervan berangkat ke kantor sangat pagi sebelum matahari tinggi. Ervan juga selalu minta makan malamnya diantarkan keruang kerja.
Saat Puspa mengantarkan makan malam ke ruang kerja, Ervan hanya bicara seperlunya saja, dan tidak mau memandang ke arah Puspa.
Malam ini, untuk ketiga kalinya, Puspa mengantar makan malam ke ruang kerja Ervan, seperti dua malam sebelumnya.
"Pak," panggil Puspa pelan.
"Ya," jawab Ervan, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas di atas meja.
"Pak" panggil Puspa lagi seakan minta perhatian.
"Ada apa?"
"Bapak marah sama saya?" tanya Puspa sedikit takut.
"Saya sedang sibuk, Puspa. Tidak ada waktu untuk urusan pribadi, nanti saja kita bicara. Lagipula, tempat ini bukan 'dunia kita berdua'. Kita tidak bisa berbicara tentang kita di sini," sahut Ervan akhirnya.
Puspa menundukkan kepala, dengan mata berkaca-kaca, ia mundur dua langkah, lalu ke luar dari ruang kerja Ervan, dengan air mata yang sudah jatuh di pipinya. Puspa kembali ke dalam kamarnya, dikunci pintu, dan sengaja tidak dilepaskan anak kunci dari lubang kuncinya.
Puspa sholat Isya sendirian, selesai sholat ia langsung naik ke atas pembaringan. Puspa tidak peduli dengan suara ketukan di pintu paviliunnya. Ia tidak peduli dengan suara Ervan yang memanggilnya.
Hatinya terasa sangat sakit, karena Ervan mengabaikan pertanyaannya.
Jika ia salah, harusnya Ervan mengatakan apa kesalahannya, bukan mendiamkan, dan menghindar seperti ini.
"Puspa, Puspa, buka pintunya," kini ketukan berpindah ke jendela kamar.
Puspa masih diam dengan air mata membasahi pipi.
"Puspa, Puspa, hooeek ... hooekk, Puspa, hooeekk!" suara Ervan melemah, yang terdengar nyaring justru suara mulutnya yang seperti ingin muntah. Puspa tidak tega juga, ia segera turun dari ranjang, dan membukakan pintu untuk Ervan.
Ervan sudah berdiri tepat di depan pintu, saat Puspa membuka daun pintu. Puspa cepat berbalik ingin masuk ke dalam, tapi Ervan menahan lengannya.
Ervan menutup, dan mengunci pintu dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain masih ada di lengan Puspa.
"Lepaskan saya, Pak." Puspa berusaha melepaskan pegangan tangan Ervan.
Ervan memeluk Puspa dari belakang.
"Ada apa denganmu, Puspa?"
"Saya yang harusnya bertanya, ada apa dengan Bapak. Kenapa Bapak menjauhi saya? Kenapa Bapak tidak da ...." Puspa cepat mengatupkan bibirnya, hampir saja terlompat pertanyaan, kenapa Ervan tidak datang ke kamarnya selama dua hari ini.
"Teruskan pertanyaanmu, Puspa?" bisik Ervan di telinga Puspa.
"Lepaskan saya, Pak," pinta Puspa memohon. Ervan langsung melepaskan Puspa, ia mundur dua langkah.
"Baiklah ...aku tidak akan mengganggumu lagi, aku tidak akan menyentuhmu lagi, aku tidak akan ...." Ervan berbalik, tangannya meraih handel pintu.
Puspa ikut membalikan badannya, melihat Ervan meraih handel pintu, spontan Puspa memeluk Ervan dari belakang. Wajah Puspa tenggelam di punggung Ervan, kedua tangannya melingkari perut Ervan.
Tangisnya pecah, dan air matanya membasahi baju Ervan.
"Aku rindu sama Bapak.
Aku ingin Bapak memelukku.
Tapi, aku kesal, karena Bapak marah kepadaku tanpa aku tahu apa salahku," ucap Puspa di antara isakanya.
Ervan memutar tubuhnya.
Dibawa Puspa ke dalam pelukannya.
"Aku juga merindukanmu, ingin memelukmu, tapi aku sedang marah, karena kamu tidak mau berusaha memahami keinginanku, Puspa."
Wajah Puspa mendongak.
"Keinginan Bapak yang mana?"
"Aku ingin memperluas 'dunia kita berdua', agar tidak hanya terkurung di bangunan yang dibatasi dinding ini, Puspa."
Puspa melepaskan pelukan Ervan, ia mundur selangkah, kepalanya menggeleng pelan.
"Tidak, Pak. Bagi saya sudah cukup 'dunia kita berdua', hanya seperti ini, agar saya selalu ingat, kalau Bapak cuma bisa saya miliki di sini. Agar saya selalu ingat, untuk menjaga perasaan Bu Wulan. Tolong jangan rubah hal ini, Pak. Saya mohon, karena ini demi kebaikan kita bertiga." Puspa melangkah mundur menjauhi Ervan.
"Jika karena hal ini Bapak marah, dan tidak ingin masuk ke kamar ini lagi, saya ikhlas, Pak. Lagipula janji saya pada Bu Wulan, untuk melahirkan darah daging Bapak akan segera terwujud, jadi tidak masalah jika ...."
"Apa maksud ucapanmu, Puspa. Apanya yang terwujud?" Ervan meraih bahu Puspa, dan mengguncangnya pelan.
Puspa merogoh saku baby doll yang ia kenakan.
"Saya hamil, Pak." Puspa menyerahkan secarik kertas yang dilipat kecil kepada Ervan. Kertas yang sudah ingin diserahkannya sejak kemarin. Puspa sadar, ia terlambat datang bulan, karena itulah ia berinisiatif untuk pergi ke rumah sakit agar semuanya menjadi jelas.
Ervan mengambil, dan membuka, serta membaca lipatan kertas itu dengan tangan gemetar. Ucapan syukur terucap di bibirnya
Ervan menatap wajah Puspa yang berlinang air mata, dengan pandangan berkaca-kaca.
Diraih Puspa ke dalam pelukannya.
"Jangan pernah berpikir aku akan melepasmu, apa lagi sampai meninggalkanmu Puspa. Bahkan jika Wulan memohon agar aku mening ...."
"Jangan ucapkan janji apapun, Pak. Biarkan semuanya berjalan seperti seharusnya. Saya tidak ingin Bapak terikat janji apapun kepada saya," jari Puspa menempel di bibir Ervan.
Ervan meraih jemari itu dengan tangannya, lalu dikecup mesra.
Dibopong Puspa masuk ke dalam kamar tidur, dibaringkan Puspa di atas ranjang.
"Mulai sekarang, tidak aku ijinkan kamu bekerja mengurus rumah lagi, Puspa. Aku ingin ...."
"Jangan merubah saya jadi seorang pemalas, Pak. Saya akan menjaga bayi ini tanpa harus Bapak minta."
"Bayi kita" Ervan mengusap lembut perut Puspa yang masih terbungkus baby doll.
Puspa memejamkan mata, ia ingat ucapan Wulan tentang 'bayi kami'.
"Bayi kita bertiga, Pak. Kalau Bapak tidak keberatan saya menyebut bayi ini juga bayi saya."
"Apa yang kamu katakan, Puspa? Tentu saja ini bayimu, kamu yang mengandung, kamu yang akan melahirkan, sekeras apapun orang ingin melepaskan ikatan antara seorang anak, dan Ibu kandungnya, tetap saja, ikatan darah tidak akan pernah bisa dilepaskan ataupun diingkari Puspa."
"Ya, saya tahu, Pak. Tapi sejak dari sekarang, saya harus menyiapkan hati, karena saya tahu, Ibu sangat ingin anak ini menjadi anaknya. Saya harus siap, jika nanti anak ini akan memanggil saya dengan sebutan, Bibik." Puspa berusaha tersenyum meski hatinya terasa berdarah.
"Tidak Puspa, aku pastikan anak ini akan tetap memanggilmu Ibu. Walaupun aku mungkin tidak bisa menolak, jika Wulan tidak mengijinkan anak ini mengetahui, kamulah Ibu kandungnya."
"Tidak apa-apa, Pak. Semua ini saya lakukan demi rasa sayang pada Ibu. Jadi apapun keputusan Ibu nanti, akan saya terima, Pak." Puspa mengelus d**a Ervan lembut.
"Terimakasih atas semua pengorbanan mu, Puspa. Ijinkan sekali lagi aku mengucapkan, aku mencintaimu," bisik Ervan mesra.
Puspa tersenyum menerima ucapan cinta Ervan, ia sudah bertekad menjadikan tempat di mana 'dunia kita berdua', berada sebagai tempat tanpa batas bagi mereka untuk mencurahkan apa yang ada di dalam hati mereka, dan juga pikiran mereka.
Pak Ervan.
Enggan ku lepaskan pelukanmu.
Rasa yang hadir dihatiku adalah cinta untukmu.
Pak Ervan.
Meski dunia kita berdua dibatasi.
Tapi karena cinta kita berdiri diatas keihlasan hati.
Sehingga bahagia tetap menjadi milik kita.
Pak Ervan.
Jika mencintaimu adalah sebuah dosa.
Biarlah dosa ini kutanggung sampai akhir masa.
PUSPA KINANTI
***BERSAMBUNG***