***PUSPA***
Aku terbangun saat mendengar lantunan ayat suci dari kaset yang berkumandang dari masjid yang tidak jauh dari rumah ini. Aku kaget, saat kurasakan ada lengan besar yang tengah memeluk tubuhku.
Pak Ervan!
Ya Tuhan, kenapa beliau masih di sini? Harusnya beliau sudah kembali ke kamar Ibu.
"Pak, Pak, bangun, Pak. Sudah subuh." kugoyang lengan beliau yang memeluk tubuhku dari belakang.
Bukannya bangun, beliau justru makin mengeratkan pelukannya, bibir beliau kurasakan mengecup leherku.
"Pak, jangan bikin bekas di leherku, tidak enak kalau terlihat Ibu," aku berusaha menarik kepalaku, agar menjauh dari bibir beliau.
"Puspa, kamu tidak perlu takut, bekas kecupan ini akan hilang sebelum Wulan datang," jawab Pak Ervan, tepat di tengkukku, hawa panas dari nafas beliau membuatku merinding.
"Maksud, Bapak?"
"Tadi malam Wulan berangkat ke Singapura bersama saudara sepupunya."
"Ke Singapura? Ada apa? Ehh ... maaf kalau bertanya, saya tidak bermak ...."
"Anak sepupunya baru saja melahirkan di sana, Dia akan ada di sana selama dua minggu, Puspa. Jadi, selama dua minggu pula, aku akan tidur di sini setiap malamnya."
"Oh ... begitu ya."
"Kamu tidak senang, Puspa?" pertanyaan Pak Ervan membuatku ternganga.
"Senang? Senang bagaimana maksudnya, Pak?" tanyaku tidak mengerti.
"Apa kamu tidak senang, karena selama dua minggu ini aku sepenuhnya menjadi milikmu," jawab Pak Ervan. Bibir beliau kurasakan mengecup punggungku yang telanjang, dan tangan beliau menjamah buah dadaku lembut.
"Rasanya tidak pantas kalau saya merasa senang, karena Ibu tidak ada, Pak. Saya takut nantinya keikhlasan saya jadi ternoda karena hal itu," gumam ku pelan.
Pak Ervan seperti tidak mendengarkan gumaman ku, beliau sepertinya tengah fokus untuk membangkitkan gairahku.
Gairahku ... ya Tuhan bahasaku, kenapa jadi liar begini ya? Huuhhh, aku jadi malu sendiri memikirkannya.
Tapi Pak Ervan, memang selalu bisa membangkitkan gairahku, tubuhku selalu bergetar setiap beliau menyentuhku. Perutku terasa menegang, saat kecupan Pak Ervan semakin turun ke arah pinggulku.
"Pak!" tubuhku mengejang saat tangan Beliau mulai menjamah milikku lembut.
"Pak ...."
Beliau mengangkat kakiku.
"Bapak!" seruku gugup, tubuhku bergetar hebat, saat beliau menekuk kakiku, dan membuka pahaku selebar mungkin.
Beliau menatap wajahku yang sudah merah padam karena sangat malu.
Bagaimana aku tidak malu, kalau milikku yang selalu tersembunyi di antara kedua pahaku, sekarang berada tepat di depan wajah Beliau.
Pak Ervan, menaikan tubuhnya, Pak Ervan membungkuk di atas tubuhku.
Wajah Pak Ervan turun, semakin mendekati wajahku.
"Bapak" aku ingin merapatkan kedua pahaku, saat jemari beliau bermain di sela kedua pahaku.
Aku terpekik kaget, saat kurasakan jemari Pak Ervan bermain lincah di bawah sana. Mata Pak Ervan lekat menatap wajahku. Nafasku tersengal karena menahan sesuatu yang sangat mendesak ingin dicurahkan.
Aku tidak sanggup lagi menahannya, pinggulku terangkat tinggi, dan terhempas saat semuanya tuntas aku ledakan.
Jemari Pak Ervan belum berhenti berkutat dengan milikku.
"Pak, aku ...."
"Aku apa, Puspa?" tanya beliau dengan suara parau.
"Cukup, Pak, aku ... aku, tolong cukup! Aku tidak tahan lagi!" jeritku tertahan.
Ya Tuhan.
Apa jeritan ku, sudah seperti jeritan wanita jalang yang minta dipuaskan.
"Pak!" seruku penuh permohonan.
Pak Ervan menghentikan gerakan jemarinya.
"Kamu tidak tahan apa Puspa? Apa aku sudah menyakitimu?" tanya Pak Ervan, entah itu sebuah godaan, atau apa aku tidak tahu, tapi aku sangat kesal mendengarnya.
Ku buang pandanganku, dari tatapan mata beliau, mataku jadi berkaca-kaca saking kesalnya.
Pak Ervan meraih daguku.
Bibirnya menggapai bibirku, aku tidak ingin membalas ciumannya.
Aku sengaja diam saja, aku kesal pada Pak Ervan, sangat kesal, entah kenapa, aku tidak tahu juga.
Pak Ervan melepaskan ciumannya, mungkin karena merasa aku tidak membalasnya.
"Kamu marah Puspa?" tanyanya, kali ini bibirnya turun, mengecup, dan menjilat dadaku, tapi beliau tidak menyentuh ujung buah dadaku sedikitpun.
Milik beliau digesekan ke permukaan milikku, tapi beliau seperti tidak berniat memasukannya.
Ya Tuhan....
Ini menyiksaku.
Apa maksud dari semua ini?.
Aku benar-benar kesal sekarang!
Aku merasa dipermainkan, aku merasa....
"Berhenti Pak!" dengan sekuat tenaga kudorong tubuh beliau dari atas tubuhku. Kutelengkupkan tubuhku, tangisku pecah tanpa dapat kutahan lagi. Pak Ervan meraih bahuku, dikecupnya lembut punggungku.
"Maafkan aku Puspa, selama ini kamu selalu menurut apapun kemauanku. Aku ingin, kamu bisa mengutarakan isi hatimu, mengatakan apa yang kamu rasakan. Aku ingin, kamu mau berbagi segalanya denganku Puspa. Aku senang melihatmu marah, dan merajuk seperti ini, aku jadi merasa kembali muda," suara Pak Ervan begitu dekat di telingaku. Beliau menguselkan dagunya dileherku.
"Geli, Pak," gumamku seraya mengangkat bahu untuk melindungi leherku.
***
***ERVAN***
Puspa mengangkat bahunya, saat aku menguselkan daguku di lehernya.
"Ehmm ... geli ya, kalau begini geli atau apa Puspa?" tanyaku saat tanganku menjamah buah dadanya.
Plakk.
"Lepaskan!" Puspa memukul tanganku pelan. Suara, dan sikapnya terdengar, dan terlihat sedikit manja.
"Kamu marah sungguhan, atau cuma merajuk agar aku membujukmu?" bisikku di telinganya. Kuhisap daun telinganya. Puspa menggerakan tubuhnya, berusaha untuk lepas dari pelukan tanganku di dadanya.
Tiba-tiba Puspa merubah posisinya jadi telentang.
"Bapak maunya apa? Saya tidak mengerti!" ucapnya dengan air mata jatuh di pipinya.
"Aku ingin kita seperti pasangan lainnya, yang bersenda gurau saat berduaan Puspa, jangan sekaku ini, di sini aku suamimu," jawabku selembut mungkin.
Kepala Puspa menggeleng.
"Jangan seperti ini, Pak, saya tidak mau terluka terlalu dalam disaat kita harus berpisah."
"Berpisah? Apa maksudmu Puspa?"
"Bapak mengataka, lebih cepat kita lakukan, lebih cepat kamu hamil, lebih cepat ini berakhir, itu artinya ...." kalimat Puspa terhenti, air mata jatuh di pipinya.
"Puspa ... Puspa, jangan katakan itu, aku memang pernah mengatakan itu di malam pertama kita. Tapi kemudian aku menyadari, kalau kamu sudah membangkitkan lagi gairah hidupku Puspa. Maafkan aku, maafkan aku jika ucapanku saat itu sangat melukai hatimu," kudekap kepala Puspa ke dadaku.
"Tolong jangan memberi harapan terlalu jauh kepada saya, Pak. Saya takut jadi besar kepala, dan melupakan tujuan saya semula. Untuk apa saya bersedia menikah dengan Bapak" suara Puspa terdengar sangat lirih terdengar.
"Puspa ...."
"Tolong sekali lagi, jangan membuat saya berharap lebih dari pernikahan ini, Pak. Saya tidak ingin Ibu jadi membenci saya." Puspa mendongakan wajahnya, matanya tepat menatap ke bola mataku.
Aku melihat gurat luka di sana, dan perasaanku jadi sangat bersalah karena hal itu.
Kuhapus air mata di pipinya dengan jariku, kutangkup wajahnya dengan kedua telapak tanganku.
"Tolong beri aku maafmu, Puspa. Karena sudah membuatmu berada dalam situasi ini, semua ini terjadi karena keegoisan kami berdua. Keegoisanku, juga Wulan, kami mungkin melupakan untuk mempertimbangkan perasaanmu, tolong berikan aku maafmu," pintaku dengan seluruh perasaanku.
Puspa meraih kedua lenganku yang telapaknya masih menangkup wajahnya.
"Saya tidak menyalahkan Ibu, atau Bapak, ini resiko yang harus saya tanggung, Pak. Maaf saya terlalu banyak mengeluh, harusnya saya sadar posisi saya, sadar siapa diri saya, maafkan saya, Pak." Puspa merenggutkan tanganku hingga terlepas dari wajahnya.
Ia turun dari atas tempat tidur dengan tubuhnya yang polos, dan berlari masuk ke dalam kamar mandi.
Aku masih tergugu di tempatku, rasa bersalah menyesakan rongga dadaku.
Ya Tuhan, ampuni aku karena sudah melukai hati seorang wanita, wanita yang akan jadi Ibu bagi anak-anakku....
Terdengar suara air yang jatuh di lantai kamar mandi, aku segera meraih celanaku, dan memakainya.
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Puspa selesai mandi.
Puspa ke luar dari kamar mandi, rambutnya basah, pipinya basah, matanya merah.
"Bapak mandi di sini?" tanyanya ringan seakan tidak terjadi apa-apa di antara kami barusan tadi.
"Ya" jawabku singkat, sambil melangkah ke luar kamar untuk mengambil tas pakaianku yang kuletakan di ruang tamu paviliun.
--
***AUTHOR***
Selesai mengamini doa Ervan, yang menjadi imam sholat subuh, Puspa segera meraih tangan Ervan, untuk mencium telapak, dan punggung tangan suaminya. Ervan meraih kepala Puspa, dielusnya lembut kepala Puspa, kemudian dikecupnya puncak kepala Puspa, kening Puspa, hidung Puspa, pipi Puspa, dan juga bibir Puspa.
"Puspa, semoga Allah tetap menjaga hati kita bertiga, agar tetap ikhlas, dan sabar dalam menjalani ini semua aamiin."
"Aamiin," sahut Puspa.
Puspa membereskan bekas sholat mereka, sementara Ervan melepas peci, sarung, dan baju kokonya.
Puspa ingin melangkah ke luar kamar, tapi Ervan menggapai lengannya.
"Mau ke mana?"
"Masak sarapan buat Bapak."
"Aku tidak ingin sarapan"
"Bapak ingin minum saja?"
"Tidak."
"Ingin saya ambilkan koran Bapak?"
"Tidak."
"Jadi Bapak ingin apa?"
"Aku ingin berbaring dengan kamu dalam pelukanku Puspa," jawaban Ervan membuat mata Puspa berkedip gugup.
"Bolehkah?"
"Tapi saya harus ...."
"Puspa, kesempatan seperti ini tidak bisa setiap saat kita rasakan, jadi bisakah kamu meluluskan keinginanku?" Mata Ervan menatap Puspa dengan penuh kelembutan.
'Ya Allah....
Aku merasa tenggelam dalam lautan kelembutan mata beliau.
Ya Allah....
Aku mohon jangan biarkan rasa memiliki veliau hadir di dalam hatiku.
Beliau bukan milikku, dan tidak akan pernah bisa jadi milikku,' batin Puspa.
"Puspa," panggilan Ervan menyadarkan Puspa. Puspa mengangguk pelan. Ervan naik ke atas ranjang, begitu pula Puspa.
Drrtt....
Drrtt....
Ponsel Ervan berbunyi.
Ervan meraih ponselnya dari atas meja di samping kepala ranjang.
"Assalamuallaikum, Dek."
Begitu mendengar ucapan Ervan, Puspa tahu kalau Wulan yang menelpon. Puspa ingin menjauh, ia takut dikira menguping pembicaraan mereka. Mata Ervan mengikuti langkah Puspa yang ke luar dari kamar.
"Walaikumsalam Mas, Mas di mana? Sudah sarapan belum? Sarapannya bareng Puspa ya?" rentetan pertanyaan terdengar dari seberang sana.
"Belum Dek, Mas masih di kamar, dan belum sarapan" jawab Ervan jujur.
"Masih di kamar! Di kamar kita, atau di kamar Puspa?" tanya suara di seberang sana yang terdengar jelas beraroma menyelidik.
"Di kamar kita, Dek" Ervan terpaksa berdusta agar tidak melukai hati istrinya.
"Ingat, Mas, jangan lupa sarapan, jangan telat makan siang juga."
"Iya, Dek."
"Ya sudah, nanti aku telpon Mas lagi. Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
Ervan menarik nafas dalam.
'Benar kata orang, kalau punya istri dua itu akan membuat kita jadi pembohong, meski bohong demi menjaga perasaan, tapi tetap saja namanya bohong.'
Ervan segera ke luar kamar, dan masuk ke dalam dapur untuk menemui Puspa.BTapi Puspa tidak ada di dapur paviliun. Ervan segera ke luar dari paviliun untuk mencari Puspa di dapur rumahnya.
"Puspa!" panggilnya.
"Ya, Pak" jawab Puspa yang tengah membuat sarapan di dapur bersama Bibik.
"Puspa, tolong kamu bantu siapkan pakaian kerja saya. Biar Bibik yang menyiiapkan sarapan," perintah Ervan.
"Tapi Pak ...."
"Cepatlah Puspa, aku ada meeting pagi ini" Ervan melangkah cepat meninggalkan dapur, lalu menaiki tangga menuju kamarnya.
"Cepatlah, Puspa." Bibik mengambil alih pekerjaan Puspa, agar Puspa segera melaksanakan perintah Ervan.
Dengan perasaan ragu, Puspa mengetuk pintu kamar tidur Ervan, dan Wulan.
"Masuk!" sahut suara dari dalam.
Puspa membuka pintu kamar itu pelan, lalu menutupnya kembali.
Belum sempat Puspa membalik tubuhnya, Ervan sudah berdiri di belakangnya dengan kedua belah tangan memeluk d**a, dan perutnya.
"Pak!"
"Kenapa kamu tadi ke luar dari kamar Puspa? Bukannya kamu sudah setuju untuk berbaring dalam pelukanku."
"Maaf, tapi saya tidak ingin menganggu percakapan Bapak, dan Ibu."
"Sekarang berbaringlah dipelukanku Puspa."
Puspa menggelengkan kepalanya.
"Jangan disini, Pak. Saya yakin Bu Wulan tidak akan rela, jika tempat tidurnya, ditiduri suaminya, bersama wanita lain. Kalau Bapak ingin saya berbaring dalam pelukan Bapak, kita bisa kembali ke tempat di mana 'dunia kita berdua' berada, Pak. Karena di sana, Bapak bisa menjadi suami saya. Di luar tempat itu Bapak adalah suami Bu Wulan."
Ervan sangat terharu mendengar jawaban Puspa. Dikecupnya kening Puspa.
"Kamu ternyata orang yang sangat konsisten ya Puspa."
"Tidak juga, Pak. Saya hanya berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyakiti hati Bu Wulan."
Puspa, dan Ervan kembali ke dalam paviliun. Ervan, dan Puspa sudah berbaring berpelukan seperti keinginan Ervan.
Drrtt...
Drrtt...
Kali ini ponsel Puspa yang berdering.
"Ibu!" mata Puspa mengerjap, matanya menatap ke arah Ervan.
"Jawab saja," kata Ervan.
"Assalamuallaikum, Bu" sapa Puspa.
"Walaikum salam Puspa, kamu di mana? Sedang apa? Sudah buat sarapan buat Bapak belum? Bapak sudah sarapan belum?"
"Ya Bu, saya di ... saya sedang menyiapkan sarapan di meja makan Bu. Enghh ... Bapak masih di kamar Ibu belum turun untuk sarapan," jawab Puspa terpaksa berbohong, demi menjaga perasaan Wulan.
"Ya sudah, perhatikan makan, dan pakaian Bapak ya Puspa."
"Baik, Bu"
"Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
Puspa meletakan ponselnya.
'Ya Allah, maafkan atas kebohonganku tadi. Semoga ini kebohongan pertama, dan juga untuk terakhir kalinya, aamiin,' doa Puspa di dalam hatinya.
Ervan menarik Puspa kembali ke dalam pelukannya.
"Bapak tidak ingin tahu apa yang Ibu katakan kepada Saya?" tanya Puspa, merasa aneh saat melihat Ervan tidak bertanya apapun padanya, soal telepon dari istri tuanya barusan.
"Di tempat ini dunia kita berdua, iya'kan? Jadi hanya ada pembicaraan tentang kita berdua di sini," sahut Ervan.
"Tapi Saya merasa berdosa karena sudah berbohong sama Ibu."
"Bohong kita untuk menjaga perasaannya, Puspa. Semoga Allah mengampuni kita, karena sudah berbohong, aamiin."
"Aamiin," sahut Puspa.
Ervan menenggelamkan wajahnya di atas rambut Puspa, matanya terpejam dalam diam, tapi sesungguhnya hatinya tengah berkecamuk akan berbagai hal, di antara dirinya, istri tuanya, dan istri mudanya. Ervan berharap hubungan mereka akan tetap baik sampai akhir nanti.
***BERSAMBUNG***