"Ekhem." Kian berdehem untuk menetralisir perasaannya. Membuat pria yang ada disebelahnya menyadari keberadaan Kian.
"Maaf Kian, itu tadi Viona..." Rendy menghentikan ucapannya sejenak. Seperti ragu untuk melanjutkan.
"Pacar Kak Rendy kan?" Sambung Kian seolah tahu apa yang akan diucapkan pria itu.
Rendy mengangguk ragu. "Hehe iya"
Wajah Kian yang sedari tadi tersenyum mendadak berubah dingin. Perasaan cemburu tak bisa di sembunyikannya sekalipun ia tahu bahwa ia tidak berhak. Rasanya Kian ingin segera pergi dari situ sebelum Rendy menyadari raut wajahnya yang berubah. Gadis itu menyelesaikan sarapannya dengan cepat, setelah itu mengeluarkan selembar uang dan membayarnya. Kian ingin segera pergi dari tempat itu meninggalkan Rendy yang masih menikmati sarapannya.
"Kak Rendy, aku naik duluan ya. Sekali lagi terimakasih atas tumpangannya." Belum sempat Rendy menjawab, gadis itu sudah berlalu meninggalkannya. Pria itu hanya menatap punggung Kian, bingung melihat perubahan sikapnya.
Hari sudah mulai siang, para karyawan juga sudah berdatangan. Setelah acara briefing dadakan selesai, mereka kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Kian, setelah kejadian tadi pagi bersama Rendy moodnya terlihat tidak baik. Senyum ceria yang biasanya terukir di bibirnya mendadak hilang. Apalagi hari ini dia lebih mudah tersulut emosi. Fokusnya juga berhamburan entah kemana. Melewatkan informasi yang penting, yang mungkin akan ia sesali seumur hidupnya.
Kian berjalan sambil memegang tumpukan file ditangannya. Menghentakkan kaki untuk melampiaskan kekesalannya. Entah kenapa hari ini dia benar-benar kesal. Meskipun selama ini dia tahu Rendy sudah memiliki kekasih, tapi hari ini rasanya berbeda saat melihat mereka bersama.
"Bruggg."
Seseorang menabrak Kian hingga tumpukan file yang ia pegang berserakan dilantai. Rasanya Kian ingin sekali memaki orang yang ada dihadapannya ini, namun ia urungkan karena melihat file yang berantakan. Dia harus mengumpulkan filenya terlebih dahulu. Saat ia tengah berjongkok mengumpulkan file, orang yang menabraknya membuka suara.
"Apa mata mu buta?" Bukannya membantu atau meminta maaf, seseorang yang menabrak Kian malah memakinya lebih dulu. Membuat emosi Kian yang sempat tertahan, kembali tersulut.
"Apa kau tidak waras? Kau yang menabrakku, tapi kau malah memakiku. Bukankah seharusnya kau membantuku mengumpulkan file ini atau paling tidak kau bisa meminta maaf, kan?" Kian meninggikan suaranya berteriak.
Apa wanita ini sudah gila. Beraninya dia meneriakiku.
"Apa kau baru saja meneriakiku?" tanya pria itu sambil menggoyangkan kepalanya, heran kenapa ada karyawan yang berani berteriak padanya. Apa dia sudah bosan hidup? tanya pria itu dalam hati.
"Iya kenapa, kau tidak senang?" Sepertinya Kian benar-benar tidak mengenali pria yang ada dihadapannya sekarang. Hingga ia terus meneriaki pria itu.
"Maaf tuan saya terlambat," ucap seseorang sambil membungkuk. Kian mengenali orang itu, dia adalah Pak Dan. Danto Kiswontoro. Orang yang selalu memberi perintah kepada Kepala Bagian dan jajaran penting dalam perusahaan. Kian sendiri tidak tahu posisi sebenarnya Pak Dan dalam perusahaan. Dia hanya disuruh mengikuti perintah tanpa harus banyak bertanya.
"Apa yang sedang tuan lakukan disini?" lanjut Pak Dan lagi.
"Gadis bodoh ini baru saja meneriakiku, karena aku menabraknya," ucap pria yang dipanggil tuan oleh Pak Dan dengan nada datar. Masih menatap Kian lekat. Sorot matanya seperti ingin membunuh gadis yang ada dihadapannya
"APA!!" Pak Dan membelalakkan matanya. "Hei, beraninya kamu meneriaki tuan. Apa kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa?" tanya Pak Dan dengan nada tinggi. Membuat Kian menciut. Dia tahu orang ini sangat terkenal dengan wajah garang dan galaknya.
Kian menggeleng. " Maaf Pak, saya tidak tahu," jawab Kian polos. Seketika wajah menantangnya tadi kini berubah menjadi pias. Dia benar-benar tidak tahu siapa pria yang ada dihadapannya sekarang. Tapi jika pria ini dipanggil tuan oleh Pak Dan, itu artinya dia bukanlah sembarang orang.
Matilah aku. Siapa sih sebenarnya laki-laki ini. Kenapa aku tidak mengenalinya.
"Apa kau benar-benar tidak mengenali tuan Arkan?" Kali ini Pak Dan menekan kata-katanya agar gadis didepannya ini segera menyadarinya.
Seperti tersambar petir, Kian baru menyadari kebodohannya. Bagaimana bisa dia tidak menyadari bahwa pria yang ia maki tadi adalah Arkan Saguna Wijaya pemilik tunggal dari perusahaan tempat ia bekerja. Kian merasakan kakinya lemas seketika, sendinya seperti berlarian entah kemana. Memikirkan bagaimana nasibnya kelak. Kian menundukkan kepalanya, berharap dia tenggelam didasar kerak bumi yang paling dalam. Tidak akan pernah muncul ke permukaan.
Habislah aku.
"Maaf tuan Arkan. Maafkan saya. Maafkan atas kebodohan saya." Kian terus mengulang permintaan maafnya sambil membungkukkan badannya. Berharap pria itu mau memaafkan kebodohannya.
"Lancang sekali kamu berani meminta maaf setelah apa yang kamu lakukan," hardik pak Dan. "Apa tuan ingin saa yang membereskannya?" lanjutnya lagi menunggu tanggapan pria muda dihadapannya.
"Berlutut." Setelah cukup lama bergeming, pria itu membuka suaranya. Mengucapkan satu kata yang membuat nyawa Kian seperti melayang ke udara.
"Apa?" Kian masih tidak percaya apa yang baru saja diucapkan pria itu.
"Berlutut atau aku akan menghancurkan mu." Mencengkram dagu Kian kuat.
Glek. Kian menelan ludahnya, lidahnya terasa kelu. Dia tahu pria yang ada didepannya tidak sedang main-main. Kata menghancurkan seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja, kalau Kian tidak menuruti perintahnya. Dengan tubuh gemetar ia berlutut didepan pria itu. Matanya mulai berkaca-kaca, siap menumpahkan butiran kristal air di pipinya.
"Maa-af-kan saa-ya tu-an," ucap Kian terbata-bata. Dia tidak pernah membayangkan akan mengalami hal seperti ini dalam hidupnya. Harga diri dan rasa malunya seperti terhempas ke dasar lautan. Terlebih saat matanya beradu pandang dengan tatapan Rendy. Pria itu terlihat mengepalkan tangannya geram. Namun ia juga tidak bisa berbuat apa-apa, bagaimanapun ia masih menggantungkan hidup di perusahaan ini.
Pria yang menyuruh Kian berlutut, kini juga setengah berlutut. Meraih dagu Kian lalu mencengkeramnya lagi. Melud*hi wajah Kian yang sudah menitikkan air mata. Para karyawan yang sedang menyaksikan hanya bisa terperangah menelan ludah. Mereka bahkan tidak berani berbicara sepatah kata pun.
"Lain kali jaga sikapmu." Selesai melud*hi Kian yang membuat gadis itu semakin terisak, tuan muda itu berlalu meninggalkannya. Sambil sesenggukan Kian kembali membereskan file yang masih berserakan dilantai. Lalu datang Rendy dan Dina yang membantunya. Rendy memapah Kian menuju ruang istirahat, sedangkan Dina melanjutkan mengumpulkan file.
Rendy mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan mengusap wajah Kian yang terlihat berantakan. Pria itu menghapus air mata Kian yang masih jatuh, sambil mengusap lembut pipi gadis itu.
"Apa tuan yakin tidak ingin membereskan gadis itu?" tanya Pak Dan pada Arkan.
"Biarkan saja pak. Kejadian tadi sudah cukup memberinya pelajaran," jawabnya sambil menyandarkan diri di sofa. Sementara Pak Dan sendiri hanya bergeming menatap tuan mudanya.
Bagaimana bisa dia tidak mengenaliku? Apa saja yang sudah dia lakukan selama bekerja disini?
Arkan menarik nafas dalam, lalu menghembusnya kasar. Dasar bodoh!
Kian meneguk air yang dibawa Dina dari pantry. Setelah berhasil mengatur nafas, kini Kian terlihat lebih tenang.
"Terimakasih." Kian menatap Rendy dan Dina bergantian.
"Sudah tidak usah dipikirkan, kelakuannya memang tidak berubah sejak dulu. Selalu berbuat seenaknya," ucap Rendy kembali menenangkan. Yang diikuti anggukan oleh Dina.
"Dia memang pria angkuh dan seenaknya," timpal Dina. "Tapi kenapa bisa sampai seperti itu, Kian? Bukannya tadi kita sudah di briefing bahwa tuan Arkan akan datang. Jadi kita diminta untuk berhati-hati, jangan sampai membuat kesalahan. Apa kamu lupa?" tanya Dina kembali mengingatkan. Dan sepertinya bukan Kian lupa, hanya saja pertemuan Rendy dengan kekasihya tadi membuat fokus gadis itu berhamburan. Dia sampai tidak mendengarkan isi briefing tadi pagi. Pikirannya malah melayang entah kemana. Dia kembali menundukkan kepala menyesali kecerobohannya.
Sebenarnya Kian sudah tidak berniat melanjutkan pekerjaannya, tapi ijin pulang hanya akan menambah masalahnya lagi. Terpaksa dia harus bertahan hingga beberapa jam lagi. Setelah yakin merasa baikan, Rendy dan Dina membawa Kian kembali ke ruangannya. Saat mereka masuk, berbagai tatapan tertuju pada Kian. Banyak yang menatapnya prihatin, mencoba menyemangati. Tapi ada juga yang menatapnya rendah, menyayangkan kebodohannya. Seolah tidak akan pernah mengalami apa yang Kian alami.
Kian menarik nafas dalam, mencoba berdiri tegar. Menganggap kejadian tadi tidak pernah terjadi. Dia berusaha kembali fokus pada pekerjaannya. Bahkan saat jam istirahat pun dia lebih banyak diam, enggan membicarakannya. Hanya Rendy dan Dina yang saling tatap melihat kebisuan Kian.
***
Sehari sebelum kedatangan Arkan.
"Tuan, besok adalah jadwal kepulangan anda ke tanah air. Apa Tuan Muda sudah siap?" tanya Pak Dan pada Arkan. Pria muda yang diajak bicara itu terlihat menarik nafas dalam.
"Persiapkan saja semuanya, Pak," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.
Pak Dan mengangguk pelan. "Baik Tuan Muda." Setelah itu dia keluar dari apartemen meninggalkan Arkan yang masih berdiri menikmati pemandangan kota dari balkon apartemennya.
Sudah 2 tahun Arkan meninggalkan tanah air untuk belajar. Belajar bagaimana mengatur tanggung jawab dipundaknya. Setidaknya itulah keinginan sang ayah. Namun tak banyak berubah, termasuk sikap angkuhnya. Selama Arkan berada diluar negeri, Pak Dan lah yang bertanggung jawab menangani perusahaan. Pria paruh baya ini mengurus Arkan melebihi anak kandungnya. Bahkan saat ayahnya menyuruhnya untuk mandiri, Pak Dan diam-diam membantunya. Kini setelah masa belajar atau lebih tepatnya masa hukumannya telah usai, waktunya Arkan kembali ke tanah air.
Setibanya di tanah air, Arkan memutuskan untuk tidak langsung pulang kerumah. Dia meminta Pak Dan untuk mengantarnya ke perusahaan. Dan pria paruh baya itu hanya mengiyakan tanpa banyak bertanya. Dia mengirimkan pesan kepada Kepala penanggung jawab masing-masing bagian untuk mengadakan briefing mengenai kedatangan tuan Arkan. Jangan sampai ada yang membuat kesalahan sekecil apapun, karena konsekuensinya akan sulit ditolerir. Begitulah isi pesannya.
Setelah tiba di halaman kantor, tiba-tiba ponsel Pak Dan berdering. Telepon dari Tuan Wijaya rupanya. Ayahnya Arkan. Pak Dan mengangkatnya lalu berbicara sebentar dengan Tuan Wijaya. Pria itu hanya ingin memastikan apakah putranya pulang dengan selamat atau tidak. Setelah pembicaraan selesai, Pak Dan menyimpan ponselnya kembali kedalam saku. Lalu dia kembali ke mobil dimana Arkan berada. Tapi tuan muda itu sudah menghilang dari tempatnya. Pak Dan bergegas menyusulnya menaiki lift, dan saat pintu lift terbuka dia mendapati Arkan sedang berdiri didepan seorang gadis, dengan file berserakan dilantai.
***
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, itu artinya para karyawan sudah bersiap untuk pulang. Selesai merapikan file di meja kerjanya, Kian bergegas turun. Setelah sebelumnya dia berpamitan dengan Dina yang masih sibuk dengan beberapa pekerjaannya. Kian sudah
tidak ingin berlama-lama di kantor, rasanya ia ingin segera pulang dan merebahkan diri ke kasur.
Karena langkahnya yang terlalu cepat, Kian tidak menyadari Rendy sedang berlari mengejarnya. Pria itu sampai harus menitipkan sepeda motornya kepada temannya untuk dibawa pulang. Lalu berlari mengejar bis yang dinaiki Kian, syukurlah bis segera berhenti. Saat didalam bis Rendy berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Matanya mencari keberadaan Kian. Beruntung bis kali ini tidak penuh penumpang, jadi gadis itu bisa duduk dengan aman disebelah jendela. Menatap jalanan dengan tatapan kosong. Perlahan Rendy menghampiri dan duduk disebelahnya. Kian tidak menyadari keberadaan pria itu. Untuk sesaat Rendy hanya diam membiarkan gadis itu menenangkan pikirannya, sambil sesekali melirik Kian yang masih hanyut dalam lamunannya.
Rasanya aku ingin sekali memeluknya. Memberinya kekuatan untuk sekedar tersenyum. Bagaimanapun hari ini pasti terasa berat baginya.
"Ekhem." Rendy berdehem untuk menyadarkan Kian. Dan sepertinya berhasil. Gadis itu menoleh kearahnya dengan mengernyitkan kening. Bingung sekaligus heran. Sejak kapan pria ini ada disebelahnya.
"Kak Rendy?" ucapnya memastikan.
" Aku tadi panggil-panggil kamu di kantor, tapi kamu tidak menoleh," jawabnya sambil tersenyum.
"Maaf Kak Rendy aku tidak dengar." Masih dengan wajah lesunya.
"Iya tidak apa-apa." Kembali hening.
Sore ini jalanan macet total. Kendaraan sama sekali tidak bisa bergerak. Ditengah kemacetan, para pengendara terdengar mulai saling memaki. Masing- masing dari mereka tidak sabar ingin segera menerobos kemacetan. Bahkan bis yang ditumpangi Kian juga tak bergerak sedikit pun. Menambah lelah dipundaknya. Kian merasakan kepalanya mulai agak berat. Rasa kantuknya juga tak lagi tertahankan, hingga tanpa sadar dia tertidur di bis. Melihat gadis itu tertidur, Rendy hanya menggelengkan kepala.
Bagaimana dia bisa tertidur pulas di bis. Bagaimana kalau ada orang yang berniat jahat padanya.
Bagaimana kalau bisnya sampai kelewatan.
Perasaan khawatir dan simpati bercampur menjadi satu. Rendy tidak tahu sejak kapan dia peduli dengan gadis ini. Namun untuk saat ini dia hanya ingin melindunginya. Rendy meraih kepala Kian lalu menyenderkannya dibahunya. Sambil menunggu jalanan kembali normal, membiarkan gadis ini terlelap dalam tidurnya.
"Kian, Kiandra.. Bisnya hampir sampai depan komplek nih." Rendy menepuk bahu Kian lembut. Berusaha membangunkan gadis itu dari tidurnya.
"Mmhhh." Gadis itu menggeliat sambil mengerjapkan matanya. Mencoba mengumpulkan kembali kesadarannya. Setelah sepenuhnya sadar, dia terkejut dengan apa yang dia lakukan.
Apa, bagaimana aku bisa tertidur pulas dibahunya.
"Maaf Kak Rendy, aku tidak sengaja ketiduran," ucapnya gelagapan. Setelah itu dia mengetuk besi dengan koin, membuat sopir menghentikan bisnya. Sambil berdiri dia kembali berpamitan.
"Aku turun duluan ya Kak Rendy. Sekali lagi terimakasih sudah meminjamkan bahu," ucapnya tersipu.
"Iya, hati-hati dijalan, Kian!" jawabnya sambil tersenyum. Lalu Kian turun dari bis dengan hati-hati sesuai pesan Rendy.
Kian melambaikan tangan pada Rendy yang masih menatapnya dari kejauhan. Setelah bis benar-benar menghilang, ia melanjutkan berjalan kaki menuju rumah bibinya. Sudah 2 tahun ini dia tinggal bersama bibinya selama di ibukota. Dia belum diijinkan ngekost oleh kedua orangtuanya. Karena takut kalau terjadi hal yang tidak diinginkan pada Kian. Dia hanya menghela nafas dalam. Hari ini dia merasa sangat merindukan kedua orangtuanya.