Bagian 2

1412 Words
Kian pun berjalan keluar halaman menunggu bis dihalte depan gedung kantor. Di jam pulang para pekerja seperti ini biasanya jalanan ibukota sudah sesak oleh kendaraan. Kemacetan adalah hal yang tak bisa dihindari. Kian menghela nafas pelan, menatap langit yang mulai kemerahan. Hidup di ibukota ternyata tak seindah yang ada di khayalannya dulu sebelum dia memutuskan untuk merantau. Waktu di kampung, Kian berkhayal ingin menjadi model saat berada di ibukota. Namun apalah daya, khayalan ada diatas awan tapi tinggi badan tidak sepadan. Dengan tubuh mungil dan bermodalkan ijazah SMA, bisa diterima diperusahaan ini saja sudah bagus. Sudut bibirnya tertarik saat dia mengingat khayalan bodohnya itu. Ditengah lamunannya Kian merasa ada sesuatu yang bergerak didepan matanya, melambai dengan cepat hingga akhirnya dia terkejut melihat Rendy yang sedang menggerakkan tangan di depan wajahnya. Menyadarkan Kian dari lamunannya. "Ehh kak Rendy, sejak kapan ada disini?" tanya Kian kaget. Dia mengusap wajahnya yang bersemu merah menahan malu. "Sejak sejam yang lalu sambil melihat wajah kamu yang bengong," jawabnya dengan senyum menahan tawa yang membuatnya semakin terlihat tampan. Mendengar jawaban pria itu, Kian menundukkan wajah. Malu. Dan demi melihat wajah Kian yang malu malu itu Rendy tak bisa lagi menahan tawanya. "Haha,, aku bercanda. Aku baru saja ada disini kok." Rendy tergelak. Mendengar jawaban pria itu membuat Kian menarik nafas lega. Syukurlah dia tidak melihat wajah bodohku saat melamun. Haha. "Emang Kak Rendy mau kemana, kok tumben dihalte?" tanya Kian penasaran. "Mau pulang". "Lho bukannya biasanya Kak Rendy naik motor". "Motornya lagi diservis Kian" "Ohh." Saat mereka tengah asyik mengobrol, bis yang mereka tunggu pun tiba. Rendy masuk lebih dulu lalu mengulurkan tangannya membantu Kian menaiki bis. Walaupun awalnya sempat terkejut, tapi Kian menerima uluran tangan Rendy. Tidak hanya jalanan yang penuh sesak, bis yang mereka tumpangi juga berjejal para penumpang. Hingga penumpang yang tidak dapat kursi harus rela berdiri. Seperti Kian dan Rendy saat ini, mereka berdiri agak berjauhan. Lalu lintas akan macet di jam pulang kantor. Berdesak-desakan dengan penumpang lain adalah hal biasa bagi Kian. Walaupun rasanya sesak, tapi mau bagaimana lagi. Kian tidak berani mengendarai motor sendiri di jalan raya. Mau tidak mau harus menikmati perjalanan ini. Kian merasa seseorang yang berdiri dibelakangnya mulai menunjukkan gelagat aneh. Seorang pria asing yang terus menatap Kian dari ujung rambut hingga kaki. Membasahi bibirnya dengan lidah lalu menggigit ujung bibirnya. Dari sorot matanya seperti membayangkan sesuatu yang jorok. Ditengah padatnya penumpang, pria itu mengambil kesempatan untuk maju mendekati Kian. Lalu mendorong tubuhnya hingga menempel pada Kian, membuat gadis itu merasa risih. Kian tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk bergeser sekalipun. Dia hanya menahan tubuh pria itu dengan sikunya, berharap agar tidak terlalu menempel padanya. Tapi sia-sia karena tubuh pria itu terlalu kuat. Kian mengepalkan tangannya geram, rasanya ingin sekali ia melayangkan tinju ke wajah pria itu, tapi terlalu sulit untuk bergerak. Sekarang Kian hanya bisa berdoa semoga bis yang ia tumpangi segera tiba ditujuan nya. Sedangkan ditempat Rendy berdiri, dia melihat kelakuan b***t pria yang ada dibelakang Kian. Membuatnya geram mengepalkan tangan. Dasar b******k! Beraninya dia melakukan hal memalukan seperti itu. Aku harus memberinya pelajaran. Tak selang beberapa lama terdengar suara. "Arghh." Pria itu meringis kesakitan sambil memegangi kakinya, membuatnya refleks mundur beberapa senti. Melihat celah itu Rendy langsung bergerak mendorong pria itu kebelakang dengan tubuhnya. Sehingga pria itu terhalang tubuh Rendy untuk mendekati Kian. Melihat itu Kian merasa lega. Kini tubuh tinggi Rendy yang berada didepannya, dengan jarak yang tidak terlalu menempel. Namun aroma dari pria itu jelas terasa menyeruak ke rongga hidung Kian. Membuat jantung Kian berdebar, tanpa sadar dia mengambil nafas dalam untuk kembali menghirup aroma parfum tubuh pria yang ada didepannya. Walaupun sudah bekerja seharian, sepertinya bau keringat sama sekali tidak menempel ditubuhnya. Atau memang Kian yang tidak menciumnya. Dan karena terlalu asik menikmati aroma tubuh Rendy, Kian sampai tidak menyadari kalau tujuannya sudah tiba. " Kian, Kiandra.. Bisnya sampai di depan komplek nih." Rendy kembali melambaikan tangannya didepan wajah Kian. Membuat gadis itu terperanjak kaget. Ternyata sedari tadi Rendy sudah mengetuk besi dengan koin sebagai tanda berhenti untuk sopir. Hanya saja Kian tidak menyadarinya. Sekarang pandangan para penumpang lain sedang tertuju ke arah mereka. "Ehh iya Kak, terimakasih banyak. Aku turun duluan ya." Kian turun dari bis dengan cepat sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Menutup rona merah yang bisa saja dilihat Rendy. Dasar bodoh! Bagaimana aku bisa bengong sambil menikmati aroma tubuhnya. Aku pasti sudah gila. Rutuk Kian. Tanpa Kian sadari dibalik punggungnya, ada seseorang yang tersenyum melihat tingkahnya. Dia terlihat manis saat tersipu malu. *** Keesokan harinya Kian memutuskan untuk tetap berangkat lebih pagi dari biasanya. Karena saat pagi bis kota belum terlalu ramai dijejali penumpang. Bagaimanapun, kejadian kemarin masih menyisakan trauma bagi Kian. Dia juga tak sempat sarapan, hanya meminum segelas teh hangat sebelum berangkat. Kian berjalan kaki cepat sampai di depan komplek, dimana dia bisa menaiki bis. Baru saja ia sampai didepan komplek, tiba-tiba seorang pengendara motor datang menghampirinya. Kian melirik sekilas. Pria itu menggunakan helm full face, membuat Kian tidak bisa melihat dengan jelas wajah dibalik helm itu. Kian berusaha untuk tidak menggubrisnya, tapi pengendara motor itu masih saja mengikutinya. Membuat Kian jengah. "Hai, boleh kenalan?" Pria itu berusaha menggoda Kian. Mendengar ucapan pria itu Kian mengepalkan tangannya geram. Belum hilang ingatan Kian tentang kejadian di bis kemarin, malah sekarang ada orang yang sedang berusaha menggodanya. Rasanya ia ingin memaki pria itu dan memberinya pukulan keras. Namun saat ia menoleh, Ehh tunggu, sorot mata itu sepertinya aku kenal. Dia seperti, "Kak Rendy." Suara Kian terdengar ragu, tapi ia tetap mengucapkannya untuk memastikan pria yang ada didepannya ini benar Rendy atau bukan. Lalu pria itu membuka helmnya dan tersenyum lebar melihat raut kesal sekaligus bingung diwajah Kian. Setelah melihat wajah siapa dibalik helm itu sebenarnya, Kian refleks melayangkan pukulan dibahu Rendy. Membuat pria itu mengerang kesakitan. "Aduhh." Ringis pria itu sambil mengusap bahunya yang nyeri. "Maaf Kak Rendy. Sakit ya?" Sambil ikut mengusap-usap bahu Rendy. Saat sadar, ia langsung mengangkat tangannya. Dasar tangan tak tahu diri. Beraninya menyentuh Kak Rendy. "Lagian siapa suruh pagi-pagi sudah iseng." "Iya..Iya maaf. Yauda ayo berangkat," ucap Rendy sambil menyerahkan helm lain yang dia bawa. "Kemana?" tanya Kian bingung. "Ke Kantor," jawabnya singkat sambil menyalakan mesin motor. Meskipun Kian heran apa penyebab Rendy ada didepan kompleknya pagi ini, dia tetap saja menurut dan menerima ajakan pria itu. Lumayan dapat tumpangan gratis, batinnya. Selama diperjalanan mereka saling diam membisu, hanya terdengar suara mesin kendaraan yang saling bersahutan di sisi mereka. Hari masih terlalu pagi. Jalanan belum begitu macet, jadi mereka hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai dihalaman kantor. Setelah melepas helm, Kian merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Lalu mengembalikan helm tersebut kepada Rendy, ia melirik gerobak bubur ayam yang ada di trotoar jalan sambil memegangi perutnya. Sepertinya cacing diperut Kian sudah menabuh genderang perang, berdemo minta diisi. "Kamu belum sarapan?" tanya Rendy selesai memarkirkan motornya. Dia melihat Kian yang sedang memegangi perut seperti menahan lapar. "Hehe iya Kak," jawabnya dengan polos. "Kalo gitu kita sarapan dulu, baru naik keatas," ajak Rendy sambil berjalan keluar halaman menuju trotoar dimana gerobak bubur ayam berada. Sedangkan Kian hanya mengikuti dari belakang. "Pak, bubur ayam dua ya," ucap Rendy sambil mengacungkan dua jarinya ke penjual paruh baya itu. "Oke mas siap," balasnya dengan senyum lebar, hingga deretan giginya terlihat jelas. Tidak butuh waktu lama 2 porsi bubur ayam sudah selesai dibuat. "Ini buat mas, ini buat mba." Sambil memberi mangkok bubur ayam dengan hati-hati. "Terimakasih, Pak," jawab Rendy dan Kian hampir bersamaan. Lalu mereka menyantap bubur mereka masing-masing dalam keheningan. "Rendy!" Terdengar seorang wanita memanggil nama Rendy dari kejauhan. Saat mereka menoleh, gadis itu sedang melambaikan tangannya kearah Rendy. Lalu berjalan menghampiri. Mereka berdua tersenyum saat gadis itu mendekat. Walaupun dengan makna yang berbeda. Rendy dengan senyum manisnya, sedangkan Kian dengan senyum kecutnya. Ya Kian tahu siapa wanita yang sedang berjalan menghampiri mereka. Itu kekasih Rendy. "Tumben kamu berangkat pagi banget, sayang," ucap wanita itu sambil tersenyum pada Rendy. Untuk sesaat dia tidak menyadari keberadaan Kian disebelahnya. Atau memang sengaja untuk tidak peduli. "Mmhh.. Ada pekerjaan yang harus ku kerjakan pagi ini. Kamu sudah sarapan?" tanya Rendy kikuk. Seperti sedang mengalihkan sesuatu. "Seandainya pun aku sudah sarapan, rasanya aku tetap ingin sarapan bersamamu. Tapi sayangnya aku sedang buru-buru. Mungkin next time, sayang," ucap wanita itu. Kalo buru-buru ngapain juga mampir kesini. Sudah sana pergi. Huss huss. "Hmm..baiklah," jawab Rendy. Sebentar gadis itu bercipika cipiki dengan Rendy lalu meninggalkan mereka berdua. Kian yang melihat pemandangan itu hanya bisa menelan ludah sendiri. Aaaahh aku juga mau dicium Kak Rendy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD