Ayo Kita Berteriak Bersama

1090 Words
Menjelang tengah malam. Kelopak mata Livy tiba-tiba terbuka. Ia melirik ke arah jam pada dinding kamar dan bangun, lalu duduk di atas tempat tidur. Saliva yang terasa pahit ia telan dan perut yang terasa lapar ia usap-usap. Ingin pergi mencari makanan. Tetapi tidak enak, bila harus menggeledah isi dapur. Baru satu hari berada di sini dan ia belum berani melakukan hal tersebut. Livy lirik Samuel yang sudah tertidur dengan pulas, lalu memberanikan diri, untuk mengguncangkan bahunya. "Hey, bangun," ucap Livy disela guncangan yang ia lakukan. "Hmm." Hanya suara deheman dengan mata yang masih masih tertutup dengan rapat, yang hanya Samuel lakukan. Livy menelan salivanya sendiri dan kembali mengguncangkan bahu Samuel lagi. "Ayo bangun. Tolong ambilkan aku atau belikan juga boleh. Aku mau makanan yang manis. Aku ingin memakan makanan manis," ucap Livy. "Minta saja kepada pelayan sana! Jangan menggangguku. Aku mengantuk sekali!" cetus Samuel sembari berbalik dan menarik guling yang kini ia dekap dengan erat. Livy mengembuskan napas kesal dan langsung memekik dengan kencang. "Ya sudah! Aku telepon Dad saja dan minta untuk membelikannya!" Sontak Samuel membeliak. Ia bangkit dengan gerakan yang sangat cepat dan segera mengambil ponsel, yang sedang Livy genggam. "Iya iya! Ya sudah! Tunggulah di sini! Aku ambilkan!" cetus Samuel yang kini memaksa tubuhnya untuk turun dari atas tempat tidur. Sudah berdiri tegak, tetapi saat berjalan tetap saja sempoyongan. Samuel sudah keluar dari pintu kamar. Namun hanya beberapa saat saja, ia sudah kembali lagi ke dalam kamar. "Kok cepat?? Makanan manisnya mana??" tanya Livy. "Kamu ingin makanan manis apa??" tanya Samuel. "Adanya apa??" tanya balik Livy. "Entahlah. Aku belum mengecek ke dapur. Sini, mana handphone-mu!?" pinta Samuel dengan tangan kanan yang terulur. "Untuk apa??" tanya Livy. "Ayo sini cepat!" cetus Samuel yang akhirnya dituruti oleh Livy. Ponsel ia berikan dan Samuel kini entah sedang mengetik apa. Ponsel yang berada di dalam laci nakas tiba-tiba saja berdering singkat. "Sudah. Aku ke bawah dulu," ucap Samuel sembari mengembalikan ponsel milik Livy dan mengambil ponsel dari dalam laci nakas, lalu setelah itu baru kembali keluar dari dalam kamar. Ditunggu-tunggu beberapa menit. Panggilan video masuk di ponsel Livy. Ia terima panggilan tersebut dan melihat Samuel di sana. "Ayo pilih. Kamu ingin yang mana!" cetus Samuel sembari mengarahkan kamera pada makanan yang sudah berjajar di atas meja. "Ini?" ucap Samuel sambil mengarahkan pada sebuah cake cokelat. "Tidak mau," jawab Livy. "Yang ini?" tanya Samuel sambil mengarahkan ke arah cake yang lain dan begitu saja seterusnya. "Yang itu apa?? Aku mau yang itu!" seru Livy saat kamera mengarah ke sebuah cake dengan topping buah-buahan. "Ini strawberry chiffon cake. Tidak terlalu manis dan agak asam dari buahnya. Kamu ingin yang manis kan??" ucap Samuel menjelaskan. "Tidak apa-apa, yang itu saja." "Ya sudah. Tunggu sebentar, aku bawakan." Panggilan Samuel akhiri dan ia pun mulai membawakan cake, yang Livy inginkan tadi dan menyimpan sisanya. Tidak lupa juga, ia bawa pisau, piring kecil maupun sendok. Karena ukuran cake yang masih lumayan besar, yaitu setengah lingkaran dengan diameter delapan belas sentimeter. "Ini, jangan di atas tempat tidur nanti banyak semut," ucap Samuel sembari meletakkan cake di atas meja. Livy turun dari atas tempat tidur dan ke meja. Sementara Samuel kembali naik ke atas tempat tidur dan merebahkan tubuhnya lagi. "Kamu tidak mau?" tanya Livy menawarkan, ketika Samuel baru saja akan memejamkan matanya. "Aku sudah bosan. Ibuku hampir setiap hari membuatnya!" cetus Samuel sembari memejamkan mata. "Benarkah? Jadi, cake-nya buatan sendiri??" tanya Livy. "Iya. Coba saja," ucap Samuel dengan mata terpejam. Livy ambil pisau dan potong sedikit, lalu ia simpan di dalam piringnya. Selanjutnya ia coba masukkan ke dalam mulut dan membeliakkan mata, saat cake itu menyentuh lidah. "Ini enak sekali! Lembut, wangi, agak asam dari buahnya tapi enak!" seru Livy dengan takjub. "Ya sudah habiskan saja." "Apa tidak akan dimarahi??" tanya Livy. "Siapa yang akan marah? Mommy malah senang kalau kue buatannya habis." "Oh begitu," ucap Livy pelan sembari menikmati cake itu lagi suapan demi suapan. Tidak sampai habis. Hanya sepertiganya saja dan Livy sudah merasa kenyang sekali. Ia letakkan piring kecil di atas meja dan mengusap-usap perutnya yang terasa penuh. Kebiasaan baru, yang ia jalani beberapa pekan terakhir adalah mencari makanan menjelang tengah malam. Jadi cepat sekali lapar dan cepat kenyang juga. Apa semua itu, karena sosok yang terus bertumbuh di dalam rahimnya?? Livy bergeming dengan tangan kiri yang masih berada di atas perutnya sendiri, lalu kemudian memutar kepada orang yang tengah memejamkan matanya di atas ranjang, dalam posisi tengkurap. Masih tidak habis pikir, bila ia tengah mengandung benih dari lelaki itu. Lelaki yang bahkan tidak ia kenal sama sekali. Tetapi sekarang, malah menjadi suaminya begini. Suami sementara, hingga waktu yang sudah ditentukan itu tiba. Keesokan harinya. Livy tengah memejamkan mata dengan dahi yang mengerut, saat merasakan sesuatu yang aneh. Ia coba menyadarkan dirinya dari tidurnya semalam. Ia perjelas lagi apa yang sedang terjadi, lalu kemudian membeliak dan memutar bola matanya ke bawah. Ada sebuah tangan yang tengah menyusup ke dalam piyamanya dan kini bahkan, tengah meremas dua perbukitan miliknya secara bergantian. "Aaaaaaaaaahhhhhhhhhh!!!!" teriak yang cukup kencang, hingga membuat mata yang sedang terpejam itupun terbuka dengan lebar. "Ih! Lepas! Lepas! Lepas!" seru Livy sembari memukuli tangan yang berada di dalam bajunya. "Aduh! Hey, kamu apa-apaan!" seru Samuel sembari menarik tangannya. "Kamu yang apa-apaan! Kenapa pegang-pegang!!" seru Livy yang kini menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. "Pegang apa?" ucap Samuel seperti orang yang polos. "Pegang apa?? Tadi kamu pegang-pegang...," ucap Livy sambil mengeratkan silangan tangan di dadanya. "Astaga! Kenapa memangnya?? Hanya pegang. Memangnya dilarang??" ucap Samuel. "Iya! Aku tidak mau dipegang!" "Ya terus, untuk apa menikah?? Kita ini sudah sah. Sudah jadi hal yang lumrah. Baru dipegang belum di...," "Ihh!! Mesumm sekali kamu itu!" seru Livy lagi sembari memukuli Samuel dengan guling. "Hey, aku ini masih normal!" seru Samuel sembari menghalangi bantal yang membabi buta ke arahnya, lalu cepat-cepat turun dari tempat tidur, agar Livy tidak bisa menggapainya. Samuel bertolak pinggang dan mengembuskan napas dengan kasar. Sebenarnya, wanita macam apa yang ia nikahi ini?? Ia pandangi wanita tersebut dalam beberapa saat, lalu kemudian malah membuka kancing piyama di tubuhnya sendiri. "Lho, kamu mau apa??" ucap Livy dengan mata yang membeliak. "Hm?? Tidak melakukan apa-apa," ucap Samuel sembari menanggalkan pakaian bagian atas, lalu kemudian berlanjut dengan yang di bawah. "Hanya ingin mengingatkan, tugas seorang wanita yang sudah menikah, terhadap lelaki yang sudah menikahinya," ucap Samuel sembari tersenyum menyeringai. "Jangan macam-macam! Nanti aku teriak!" seru Livy. Samuel menyunggingkan senyumnya dan kemudian mendekat kepada Livy. "Ayo, kita teriak bersama," ucapnya, yang kini sudah mulai merangkak naik ke atas tempat tidur lagi dan menarik selimut dari atas tubuh Livy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD