Kita Gunakan Kamar Ini Bersama

1714 Words
Malam harinya. Samuel yang sempat terlelap. Kini tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya. Ia mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling kamar dan juga pada jam, yang menempel pada dinding kamar yang ia tempati ini. "Sudah pukul satu? Pulas sekali aku tidur," gumam Samuel yang kini turun dari atas tempat tidur dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Wajah telah dibasuh serta dikeringkan. Kini, Samuel nampak kembali lagi ke dalam kamar dan duduk di tepian tempat tidur. Seperti ada yang aneh dan terasa kurang. Oh iya, kemana wanita yang sudah ia nikahi itu?? Kenapa tidak berada di dalam kamar ini juga?? Apa jangan-jangan, ia ada di kamar terpisah? Ah menikah ataupun tidak, kalau begini caranya ya sama saja. Samuel menghela napas dan mengusap-usap perutnya yang terasa lapar. Sore tadi saat acara, ia tidak memakan apapun. Saking tidak bernafsunya, karena harus menghadapi penghulu dan sekarang, ia jadi merasa lapar sekali. Samuel bangkit dari tempat tidur dan memutuskan untuk keluar dari dalam kamar. Ia lihat lantai atas yang begitu luas. Bahkan, dua kali lipat lebih luas dari rumah orang tuanya. Ia cari tangga dan segera turun ke bawah. Sudah sampai di lantai bawah, nampaknya ia masih juga kebingungan. Dimana letak dapurnya?? Tiba-tiba saja ada suara gaduh yang terdengar dari sisi kiri, Samuel coba untuk dekati dan ternyata malah membawanya ke dapur. Bukan hanya dapur saja yang ia temukan. Namun juga, sosok si pembuat gaduh tadi, yang tidak lain adalah wanita yang kini berstatus sebagai istrinya. "Apa ada makanan di sini??" tanya Samuel yang membuat Livy melonjak kaget, serta menoleh dan menatap Samuel yang kini semakin dekat dan berada di hadapannya. "Kenapa?? Kenapa melihatku seperti melihat hantu begitu??" tanya Samuel. Livy menggeleng cepat. Ingin bergegas pergi, tapi ia sedang tanggung menyantap makanan dan memang sedang lapar-laparnya. Tidak bisa tidur nanti, kalau perutnya belum penuh terisi. Samuel tidak lagi peduli dengan wanita yang sama sekali tidak bicara ini. Ia sibuk membawa bola matanya berkeliling, untuk mencari makanan dan akhirnya dapat juga. Ada sebuah keranjang berisi buah-buahan, yang langsung saja ia hampiri. Ia ambil satu buah apel dan cuci terlebih dahulu. Sementara Livy melanjutkan untuk menyantap spaghetti buatnya sambil duduk di kursi. Dua gigitan pada buah Samuel lakukan, sambil bersandar pada sisi wastafel. Ia perhatikan wanita yang sedang lahap-lahapnya menyantap makanan. Ingin minta sedikit, rasa gengsinya yang terlalu banyak. Jadi, ia hanya pandangi saja, tiap untaian pasta yang masuk ke dalam mulut wanita, yang sedang tersapu oleh sepasang bola matanya. Sudah habis ia lahap semua. Livy nampak tertegun dulu di tempat. Ingin pergi ke wastafel untuk menyimpan piring kotor. Tetapi ada orang yang sejak tadi tidak pergi kemanapun dan hanya berdiri, sambil bersandar saja di dekat wastafel sana. Dengan sekali mengembuskan napas, Livy mengumpulkan keberaniannya. Ia datang ke arah wastafel dan menyimpan piring kotor di sana. "Buatkan satu untukku," ucap Samuel, saat Livy sudah berdiri di sisinya. Livy menoleh dan tertegun. Sementara Samuel melemparkan sisa bagian tengah apel ke dalam tempat sampah yang berada di dekatnya. "Kenapa diam? Ayo buatkan satu. Yang tadi kamu memasaknya sendiri kan??" "Kenapa harus aku??" ucap Livy yang baru mulai bersuara. Samuel tersenyum sambil geleng-geleng kepala. "Kenapa masih bertanya juga?? Kamu lupa, tadi siang kita sudah melakukan apa di depan penghulu?? Sepertinya, sudah seharusnya kamu melakukan apa yang aku perintahkan." "Tapi aku bukan pelayan," ucap Livy tidak terima. "Siapa yang mengatakan, bila kamu adalah pelayan?? Ibuku, seringkali memasak untuk ayahku. Kenapa kamu tidak?? Apa kamu hanya Nona muda dari keluarga kaya, yang tidak bisa apa-apa?? Jangan-jangan, yang tadi bukan kamu yang membuatnya," cibiran yang akhirnya membuat Livy ingin membuktikan, bila apa yang dikatakan lelaki ini tidaklah benar. Livy menyiapkan bahan-bahan dari dalam kulkas, lalu menyalakan kompor dan merebus air dalam panci. Ia masukan pasta ke dalam panci yang air di dalamnya sudah mendidih. Setelah pasta yang kaku menjadi lemas, ia pun tiriskan dan buat sausnya juga, yang kemudian ia siramkan ke bagian atasnya, lalu ia sajikan di depan orang yang sudah menunggu dengan tidak sabar di kursi. "Enak. Masakan kamu boleh juga ternyata," ucap Samuel saat mencoba satu suapan. Livy menghela napas dulu dan kemudian pergi mengambil segelas air putih, lalu meminumnya. Setelah itu, ia pun pergi meninggalkan orang yang sedang makan dengan cukup lahap masakan buatannya. Samuel nampak menyunggingkan bibirnya. Baru kali ini, ia mencoba masakan seorang wanita, selain masakan ibunya. Cindy saja tidak pernah memasak dan hanya tahunya meminta uang saja. Tetapi memang, kalau masalah pelayanan di atas ranjang. Cindy lah yang paling unggul. Samuel tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Jadi membayangkan yang tidak-tidak. Jadi ingat juga, bila ia belum memberitahu Cindy tentang pernikahannya ini. Ah tapi, ia rasa tidak perlu. Toh hanya status saja. Tidak ada hal lainnya yang berubah. Bahkan terasa sama saja. Karena walaupun sudah menikah, mereka tetap menggunakan kamar yang terpisah dan kalau bukan karena dipaksa orang tuanya pun, ia mana mau menjalani pernikahan ini. Pagi harinya. Samuel ikut sarapan bersama dengan keluarga Livy, sebelum ia berangkat ke kantor. Tapi, suasana sarapan pagi di sini, kenapa bak seperti tengah melakukan pelatihan militer?? Begitu serius dan seperti diawasi terus pergerakannya. Sial sekali, karena ia harus menjalani ini sampai satu pekan ke depan. Padahal baru sehari saja, ia rasanya sudah tidak tahan dan ingin pulang ke rumah orang tuanya. Sepertinya, ia harus mencari cara agar bisa terbebas. Tidak mungkin selamanya ia hanya mondar-mandir tinggal dengan keluarga ini. Setelah sarapan pagi usai. Lily pergi untuk mengantarkan sang suami ke pintu utama. Sementara Livy yang hendak naik ke lantai atas, malah ditahan oleh orang yang tiba-tiba saja menarik tangannya. "Kemarilah. Aku ingin bicara," ucap Samuel yang membawa Livy ke tempat yang lebih tersembunyi dan itu di belakang tangga. "Lepas. Kamu mau apa!??" seru Livy yang membuat Samuel membeliak dan meletakkan jari telunjuk di ujung bibirnya sendiri. "Ssttt... Jangan berteriak. Ayahmu belum jauh dari sini," bisik Samuel. "Kalau begitu lepaskan aku!" seru Livy lagi. "Akan aku lepaskan tetapi diam ya?? Aku ingin membicarakan hal yang penting," ucap Samuel sembari melepaskan cekalan pada tangan Livy. "Hey, dengarkan. Aku tidak betah sekali di sini. Bagaimana, kalau kamu mengatakan kepada orang tuamu, bila kamu ingin tinggal di rumah orang tuaku saja??" "Tidak mau!!" tolak Livy mentah-mentah. "Kenapa tidak mau??" "Aku tidak suka kamu. Aku mau di sini. Tidak mau tinggal bersama kamu!" cetus Livy. "Memangnya kamu pikir aku suka?? Aku menyuruh kamu pindah, karena aku muak di sini. Tapi orang tuaku pasti mengamuk, kalau aku tidak membawa kamu bersamaku. Jadi, katakan pada mereka, kalau kamu ingin tinggal di rumah orang tuaku saja. Bagaimana??" "Tidak mau!!" cetus Livy yang membuat Samuel semakin jengkel. "Kenapa masih tidak mau juga?? Kamu ini...," "Mommy!!! Dad!!" pekik Livy yang dalam sekejap membuat Samuel membeliak. Apalagi, setelah terdengar suara ayah dari wanita ini, dari belakang tubuhnya. "Ada apa?? Apa dia menyakiti kamu!!??" seru Rainer. Livy berlari kepada sang ibu dan merangkul tangannya. Sementara Samuel menelan salivanya sendiri dan berbalik, lalu melihat lelaki, yang sudah menatapnya dengan sinis. "S-saya tidak melakukan apa-apa. Sungguh!" cetus Samuel. Kerah kemeja Samuel ditarik dan dicengkeram oleh Rainer, bola matanya memancarkan kekesalan juga dan Samuel hanya bisa menelan salivanya sembari berharap, bila hari ini bukanlah hari terakhir ia menghirup udara. "Mas, ini sudah siang. Kamu berangkat dulu saja ya? Nanti malah terlambat. Bukannya hari ini, kamu ada rapat," ucap Lily mengingatkan. Rainer menatap dengan bola mata yang hampir membulat dengan sempurna, kepada Samuel yang terlihat mati kutu. "Jangan berbuat macam-macam terhadap putriku!" seru Rainer sembari menghempaskan Samuel dari cengkeramannya. "Ya sudah. Aku berangkat dulu," ucap Rainer sembari menatap Samuel lagi sekilas, baru pergi setelahnya. Samuel menghela napas lega, saat dirinya sudah ditinggalkan oleh semua orang. Benar-benar. Tinggal di rumah ini, lebih-lebih dari tinggal di penjara rasanya. Meskipun ia belum pernah mencobanya sendiri. Tetapi ia yakin sekali, lebih nyaman tinggal di penjara saja, daripada tinggal di rumah mertua rasa singa. Satu pekan yang berat dan terasa lama untuk Samuel pun usai sudah. Sekarang, ia bisa tersenyum dengan lebar, saat mobil ia kemudikan, dengan wanita yang tidak berkutik, yang duduk di sisinya sekarang. Ia pandangi wanita tersebut dengan senyuman menyeringai. Akhirnya, tiba juga waktu pembalasan ini. Kemarin-kemarin, ia sudah dibuat kesulitan, saat berada di rumahnya. Dan kini, giliran ia yang akan melakukan hal yang sama dan lebih parah kalau bisa. "Silahkan, Tuan putri," ucap Samuel yang kini membuka pintu mobil dan malah membuat Livy bergidik. Feeling-nya jadi tidak enak. Apalagi, ia melihat senyuman licik di bibir lelaki tersebut. "Selamat datang di rumah kami. Semoga kamu betah ya?" sambut Grizelle di pintu depan, saat kedatangan Livy bersama dengan Samuel. "Iya," balas Livy sembari tersenyum tipis dan mengangguk pelan. "Hai, aku Samantha. Adiknya Kak Samuel. Kamu masih muda sekali. Tapi cantik dan imut ya?" puji Samantha. "Terima kasih," jawab Livy sembari mempertahankan senyumannya. "Sam, ajak menantu Dad ke kamar ya? Mungkin dia lelah dan ingin beristirahat dulu," perintah Griffin. "Siap, Dad. Ayo," ajak Samuel yang langsung mengajak Livy ke lantai atas. Livy nampak keheranan, saat ia digiring ke dalam sebuah kamar, yang terlihat seperti kamar laki-laki, dari berbagai macam aksesoris di dalamnya. "Apa ini kamarku?" tanya Livy. "Iya. Ini kamarmu dan kamarku juga. Kamar KITA," ucap Samuel dengan penuh penekanan dan sambil tersenyum menyeringai. Livy mengernyitkan dahinya. Ini mimpi buruk. Kenapa kamar mereka disatukan?? "Aku ingin kamar lain!" cetus Livy. "Tidak ada kamar lain. Rumah ini memang lumayan luas. Tapi tidak didesain dengan banyak kamar," ucap Samuel yang bak sebuah bualan. "Yang benar!?? Pasti ada kamar tamu kan???" ucap Livy. "Aku rasa, kamar tamu khusus untuk tamu. Kamu bukan tamu di sini. Jadi, kita gunakan kamar ini bersama," ucap Samuel sembari membuka kaus yang melekat di tubuhnya. "Kenapa kamu buka baju!?? Kamu mau apa!!!" seru Livy panik. "Aku mau mandi dan aku tidak keberatan, bila mungkin kamu ingin mandi bersamaku," ucap Samuel menaik-turunkan alisnya, tetapi Livy malah melarikan diri dengan mencoba membuka pintu kamar, yang saat diturunkan malah tidak terbuka. "Pintunya kamu kunci??" tanya Livy, sembari menoleh lagi dan menatap orang yang sudah berada di ambang pintu kamar mandi. "Kamu cari ini??" ucap Samuel sembari mengacungkan tangannya, dengan sebuah kunci yang ada di genggaman tangannya tersebut. "Masuklah ke sini. Aku tunggu di dalam. Mungkin, kamu bisa membantuku untuk menggosok punggung," ucap Samuel yang kini menutup pintu kamar mandi. Tetapi muncul lagi beberapa saat kemudian. "Pintunya tidak aku kunci. Masuk saja," ucapnya yang membuat Livy bergidik ngeri dan duduk di tepian tempat tidur, sambil membelakangi kamar mandi dan juga sambil mengusap-usap bulu-bulu tangannya yang berdiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD