Semua orang terdiam, sampai akhirnya Griffin lah yang kemudian angkat bicara lebih dulu.
"Baiklah. Karena semuanya sudah berkumpul di sini. Izinkan saya berbicara lebih dulu. Sebelumnya, saya sebagai kepala keluarga, meminta maaf yang sebesar-besarnya, atas hal yang tidak mengenakkan, yang terjadi diantara putra putri kita. Kami sadari betul, bila kesalahan tersebut adalah murni kesalahan putra kami. Akan tetapi, malam ini juga, kami ingin menyelesaikan masalah ini secara baik-baik. Secara kekeluargaan. Karena bagaimanapun juga, ada nyawa lain yang terlibat di dalam masalah ini dan untuk itu, dengan segala rasa penyesalan atas apa yang sudah terjadi. Izinkan kami meminang putri Tuan, untuk menjadi menantu kami dan sebagai bentuk tanggung jawab, dari putra kami juga tentunya. Bagaimana menurut Tuan dan Nyonya Wilson?" tanya Griffin.
Rainer berdehem. Ia menghela napas panjang dan berkata, "Sebenarnya, saya tidak pernah menginginkan penyelesaian masalah yang seperti ini. Karena bagaimanapun, putri saya sudah tersakiti secara fisik maupun psikis. Hukum dan sanksi sosial, sudah sepatutnya dijalankan!" cetus Rainer.
"Iya, Tuan. Kami paham sekali. Tetapi, kita tidak bisa memikirkan kehendak kita sendiri bukan? Ada anak-anak, ada keluarga dan ada nama baik perusahaan juga, yang harus sekali kita pikirkan. Kami berharap sekali, bila Tuan mau menerima pinangan kami ini."
"Walaupun hal itu bersyarat??" tanya Rainer dan Griffin nampaknya tidak masalah dengan hal itu pada awalnya. Tetapi tidak dengan putranya.
"Ya boleh saja. Tetapi kalau boleh tahu, apa syaratnya, Tuan?"
"Setelah menikah. Putri kami akan tetap tinggal bersama dengan kami di sini dan masih banyak juga syarat lainnya lagi," ucapan yang Rainer lontarkan, sesuai dengan saran dari istrinya, Lily.
"Oh begitukah?? Jadi, putra saya akan tinggal di sini juga, bersama putri Tuan?" ucap Griffin, yang seketika membuat Samuel menoleh dan juga membeliak.
"Dad! I don't want it!" ucap Samuel dengan suara pelan, tetapi tetap saja bisa didengar oleh semua orang.
"Terserah. Mau tinggal ataupun tidak. Tetapi kami tegaskan, bila putri kami, tetaplah dalam pengawasan kami!" cetus Rainer.
Griffin menyunggingkan senyumnya. Tanpa mendengarkan kata-kata dari Samuel, ia hanya menimpali ucapan Rainer saja. "Tapi, Tuan. Sepertinya agak lucu juga. Bukankah, setelah menikah, pihak wanita akan ikut kemanapun suaminya pergi. Maksud saya, bukankah seharusnya, pihak wanita ikut dengan pihak lelaki dan menjadi tanggung jawab mereka?"
"Ya, memang. Tetapi saya tidak sampai hati, untuk membiarkan putri kesayangan saya, bersama dengan pria yang bahkan tidaklah dia kenal dengan baik ini," ucap Rainer sembari menatap Samuel, yang raut wajahnya nampak masam. Kalau bukan karena terpaksa, mana mungkin ia bisa berada di sini juga.
"Ya maka dari itulah, gunanya pernikahan ini. Mereka akan tinggal bersama. Mereka akan saling mengenal satu sama lain. Lagipula, bayi yang sedang dikandung oleh putri Tuan adalah milik putra kami juga. Masa iya, mereka dibiarkan tinggal terpisah dan tidak saling mengenali orang tua sendiri? Saya rasa, itu terlalu egois, Tuan. Kita memang orang tua. Pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anak kita. Tetapi, putra saya juga berhak dilihat. Jangan hanya karena nila setitik, maka rusak s**u sebelanga. Dia tidaklah seburuk itu. Meskipun, dia melakukan kesalahan yang cukup fatal. Tapi bukan berarti, dia tidak memiliki nilai yang bagus sedikitpun. Kami bisa jamin itu. Jadi kalau bisa dan tidak keberatan. Untuk sementara, bagaimana bila setelah menikah nanti, mereka tinggal di sini satu Minggu dan juga tinggal di tempat kami satu Minggu. Tidak berat sebelah kan? Kami juga akan memantaunya dengan baik di kediaman kami. Lagipula, ada istri dan juga anak perempuan kami di rumah. Saya rasa, Tuan tidak perlu khawatir. Bagaimana dengan saran saya ini??" tanya Griffin.
Rainer menghela napas dan mengembuskannya dengan kasar. Ia pandangi putrinya dulu yang tengah tertunduk diam, lalu menatap Griffin dan berbicara dengan sedikit berat hati.
"Ya sudah. Kita akan mencobanya. Tetapi, bila terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan kepada putri kami. Kami akan mengambilnya kembali dan akan mengambil jalur hukum."
"Iya, Tuan. Kami mengerti. Kami akan mengingat itu baik-baik. Jadi, bagaimana kalau kita langsung saja membicarakan tanggal pernikahan? Lebih cepat akan lebih bagus."
"Ya sudah," ucap Rainer yang kini hanya bisa pasrah.
Setelah pembicaraan yang cukup serius antar dua keluarga tersebut. Keluarga Anderson pun pamit undur diri.
Samuel masuk ke dalam mobilnya dengan bengis. Apa-apaan dengan kesepakatan gila tadi. Ia disuruh untuk tinggal, dengan lelaki yang sudah meninggalkan memar di wajahnya?? Apa ia tidak akan dibuat babak belur, bila harus tinggal di sana juga.
"Dad?? Kenapa Sam harus tinggal di sana??" protes Samuel, ketika sudah berada di dalam mobil dan ia duduk di kursi belakang bersama dengan sang ibu.
"Ya karena kamu akan menikah dengan putrinya!" cetus Griffin yang duduk di kursi depan bersama sopir.
"Ya iya. Tapi kenapa tidak ambil pilihan untuk tinggal di rumah masing-masing saja??" protes Samuel lagi.
"Kamu sudah tidak waras?? Kamu akan menjadi suaminya dan kamu malah membiarkan dia tinggal bersama dengan orang tuanya?? Kamu sudah dewasa, Sam. Putrinya adalah tanggung jawabmu! Bahkan, bukan hanya putrinya saja. Tapi bayi dalam kandungannya juga. Jangan lupa, itu adalah anakmu juga!!" seru Griffin.
Samuel menoleh kepada Grizelle dan mencoba untuk meminta sedikit bantuan. Walaupun ternyata sia-sia juga.
"Mom, help me. Please," pinta Samuel dengan raut wajah memelas.
"Untuk kali ini, Mommy setuju dengan ayahmu. Ini adalah konsekuensi, dari apa yang sudah kamu lakukan."
"Tapi Sam tidak sengaja, Mom."
"Mau sengaja ataupun tidak. Kamu memang sudah harus belajar untuk menjadi seorang suami dan juga ayah yang baik nanti. Sudah. Ikuti saja dan jangan pernah membantah!" cetus Grizelle.
Samuel mengembuskan napas dari mulutnya dan duduk bersandar, dengan hati yang tidak tenang. Sial sekali. Sudah harus menikah dan harus juga, tinggal bersama dengan orang tuanya, yang setiap ia ditatap, ia merasa akan dicekik sampai kehabisan napas.
Sementara itu di kediaman keluarga Wilson.
Livy diam membeku di dalam kamarnya. Sudah dijelaskan bagaimanapun, ia tetap tidak bisa menerimanya dengan mudah. Ini terlalu tiba-tiba dan masih terasa seperti mimpi juga. Hanya dalam hitungan hari, ia akan menjadi istri, dari lelaki yang bahkan telah menodainya. Kenapa orang tuanya begitu tega, sampai harus menikahkan mereka?? Meskipun, sudah diberitahu, bila akan tetap selalu diawasi, ia tetap merasa kehilangan masa-masa remajanya. Sudah direnggut dengan harus selalu diawasi bahkan sampai home schooling. Sekarang, malah dibelenggu bersama dengan laki-laki mengerikan itu.
"Livy?" panggil sang ibu, yang sudah mengetuk pintu berkali-kali, tetapi tidak juga disahuti. Jadi, ia langsung buka dengan lebih lebar lagi, pintu kamar yang sudah sempat terbuka separuh tadi.
"Iya, Mom?" sahut Livy sembari menatap sang ibu yang kini mendekat dan bahkan duduk di tepi tempat tidur, di dekat Livy duduk saat ini.
"Kamu belum tidur?" tanya Lily sembari menyelipkan helaian rambut yang menutupi sebagian wajah putrinya.
"Belum ngantuk, Mom," jawab Livy lemas, sembari menggelengkan kepalanya.
"Ingin Mommy temani? Supaya bisa tidur?" tanya Lily.
"Iya, Mom. Boleh," jawab Livy.
Livy bergeser dan Lily pun naik, serta merebahkan tubuhnya di sisi Livy dalam posisi menyamping. Tadinya, mereka sama-sama diam, hingga Livy yang pikirannya sedang tidak tenang itupun, akhirnya melontarkan kata-kata.
"Mom?" panggil Livy.
"Hm? Kenapa sayang?" tanya Lily.
"Apa Livy benar-benar harus menikah dengannya?"
"Kamu sudah dengar sendirikan tadi? Kita akan mengadakan pernikahannya di sini secara tertutup. Bukan tidak ingin membuat pesta yang besar untuk kamu. Tapi, media selalu saja mencari-cari berita, yang menyangkut kehidupan pribadi saja. Kasihan Dad nanti. Bukannya brand perusahaannya yang naik. Tetapi malah berita tentang kamu yang malah mencuat. Kamu juga, pasti tidak akan nyaman nanti. Jadi untuk sementara ini, tidak apa-apa ya, bila tidak dilakukan besar-besaran. Kakak kamu juga belum Mommy hubungi. Biar nanti saja, kita ceritakan saat dia libur panjang dan pulang ke sini."
"Apa tidak bisa dibatalkan saja, Mom? Livy, tidak mau menikah dengan orang seperti dia."
Lily menghela napas dalam-dalam dan kembali bicara lagi.
"Mommy paham sekali dengan apa yang kamu rasakan sekarang. Tetapi, kamu harus tahu, kami melakukan ini, bukan untuk menjerumuskan kamu. Kami lakukan ini, justru untuk kebaikan kamu juga. Kalau kita dari kalangan yang biasa-biasa saja, mungkin tidak akan jadi masalah. Tidak akan jadi berita. Tetapi, Dad bukanlah orang sembarangan. Hal semacam ini, pasti akan mengundang perhatian banyak orang. Kamu pasti akan dicari-cari oleh pemburu berita. Apa kamu mau seperti itu?" ucap Lily.
"Tidak mau, Mom," ucap Livy sembari menggelengkan kepalanya.
"Ya maka dari itu, kami memilih jalan ini. Sekali lagi, bukan karena tidak sayang. Justru, karena kami menyayangi kamu. Makanya kami ambil jalan seperti ini."
"Terus, Livy harus bagaimana nanti, Mom?? Livy takut," ucapnya yang mendapatkan belaian tangan Lily di rambutnya.
"Kalau ada apa-apa. Kamu segera beritahu Mom dan juga Dad. Kami akan langsung memberinya hukuman nanti. Tetapi untuk saat ini, kamu jalani dulu saja ya? Kami selalu berusaha untuk memantau kamu. Jadi tidak perlu takut. Mengerti?" ucap Lily yang dibalas anggukan berat hati oleh putrinya tersebut.
"Ya sudah. Ayo tidur. Ini sudah malam."
"Iya, Mom," balas Livy sembari memejamkan matanya.
Tiba di hari penting bagi Livy maupun Samuel.
Dua keluarga inti telah berkumpul. Mereka semua, nampak duduk dengan barisan yang rapi pada kursi-kursi yang telah tersedia di halaman belakang.
Livy sudah digandeng oleh sang ayah, untuk mencapai penghulu, dengan seorang lelaki yang sudah turut berada di sana juga. Sementara Lily sendiri, ia sudah duduk di barisan paling depan dan merasakan Dejavu yang kentara sekali. Seperti mengulangi masa lalu, yang berbeda hanya pengantinnya saja. Helaan napas yang begitu panjang Lily lakukan. Rasa emosional muncul, saat acara dimulai dan tengah berlangsung. Tiba-tiba saja, Lily merasakan usapan di punggungnya dan itu diberikan oleh suaminya, Rainer.
"Mas?" ucap Lily yang tidak kuasa menahan tangis, saat penghulu menyatakan, bila putrinya telah sah menjadi istri seseorang. Rainer memberinya dekapan, untuk menenangkan perasaannya yang juga sama tidak keruan.
"Sudah tidak apa-apa," ucap Rainer disertai usapan yang lembut di punggung Lily.
Setelah semua acara selesai. Samuel nampak kikuk. Orang tuanya bahkan sudah berpamitan dan ia, berusaha untuk masuk ke dalam mobil juga, dengan niat pergi bersama mereka.
"Kamu mau kemana??" tanya Griffin, saat kepala putranya sudah masuk ke dalam mobil.
"Ikut pulang, Dad. Sam tidak mau tinggal di sini," ucapnya sembari masuk ke dalam mobil.
Griffin yang sudah duduk di dekat kursi kemudi itupun menghela napas. Ia keluar lagi dan menarik paksa putranya dari dalam mobil.
"Ayo keluar!" cetus Griffin sembari menarik tubuh Samuel dan menghempaskannya keluar.
"Dad, come on. Don't kill me slowly like this."
"Kamu sudah menikah. Dimana istri kamu berada. Kamu juga harus ada bersamanya!" cetus Griffin.
"But...,"
"Tidak ada tapi tapi. Ayo, Dad antar kamu ke sana!" cetus Griffin lagi, sambil menyeret putranya ke hadapan Rainer dan Lily.
"Tuan dan nyonya Wilson. Ini putra saya. Kalau dia membuat ulah hukum saja!" ucap Griffin dengan enteng dan membuat Samuel membeliakkan mata sambil melirik kepadanya.
"Kalau begitu, saya permisi dulu," ucap Griffin yang langsung pergi cepat-cepat dengan mobilnya. Sementara Samuel hanya mematung di tempat, dengan raut wajah yang bingung. Apalagi, setelah orang tua dari gadis yang ia nikahi pergi dari hadapannya. Tetapi tidak lama setelahnya, seorang pelayan nampak menghampiri Samuel dan menunjukkan dimana letak kamarnya.
"Ini, Tuan. Di sini kamar, Tuan," ucapnya sembari membuka pintu kamar yang terlihat kosong.
"Baiklah. Terima kasih," ucap Samuel.
"Sama-sama, Tuan. Saya permisi," ucapnya yang sudah undur diri.
Samuel melepaskan tautan kancing jas di tubuhnya, lalu melemparkannya secara sembarangan. Setelah itu, ia melompat ke atas ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana dengan posisi tengkurap.
"Mudah-mudahan saja, aku tidak hanya tinggal nama nanti," ucap Samuel sembari menghela napas.