Bab 3

1061 Words
Aku menaiki angkutan umum berwarna abu-abu tua seperti yang dikatakan oleh bang Aoman. Saat menyebutkan lokasi tujuan 'Al-Waliyy' pada sopir angkutan umum, sopir itu langsung mengangguk, tak bertanya, nampak sudah paham sekali dengan tempat yang aku sebutkan. Angkutan umum berhenti di salah satu gang setelah beberapa menit aku naik, sopir angkot melirik ke belakang. "Kak, sudah sampai!" Aku mengangguk cepat, langsung turun dari angkot, menyerahkan selembar uang berwarna kuning. Sopir angkot itu dengan cepat menyerahkan uang berwarna abu-abu padaku, sebagai kembalian. "Kakak tinggal jalan 20 meter saja dari sini." Sopir angkot menunjuk gang, menjelaskan lokasi tujuanku. Aku kembali mengangguk, berterima kasih. Tempat ini cukup sepi, hanya ada beberapa rumah penduduk sejauh mata memandang, berdiri dengan sederhana, hanya satu lantai, beberapa rumah bukan dari semen dan bata, tapi dari kayu, rumah jenjang. Jemariku mulai kuat menarik tas besar, menyandangkannya ke punggung. Aku mulai masuk ke gang yang diarahkan oleh sopir angkot, berjalan sampai 20 meter. Langkahku terhenti pada sebuah bangunan dengan cat berwarna hijau, menyatu dengan semak-semak yang ada di sebelah rumah itu. Rumah ini tidak terlalu besar, hanya berukuran 5×6 meter. Di atas pintu bangunan itu tertulis 'Rumah Relawan Al-Waliyy' ini tempat yang aku tuju. Seorang laki-laki berkulit sawo matang dan berambut gondrong dengan tubuh kekar berusia sekitar 35 tahunan sudah menungguku di depan rumah, melempar senyum lebarnya, melambaikan tangan. "Bang Aoman?" tanyaku memastikan. Aku tak pernah bertemu langsung dengan bang Aoman, pelatih pramukaku di sekolah hanya memberikan nomor telepon bang Aoman dan satu slide foto muda bang Aoman. Laki-laki bertubuh kekar itu mengangguk, menepuk-nepuk lenganku yang letih karena menyandang tas besarku sejak tadi. "Ayo masuk Nadira! Yang lain sudah menunggu!" ajak bang Aoman bersemangat. Aku tersenyum tipis, formalitas. Mengikuti langkah bang Aoman masuk ke dalam rumah, atau lebih tepatnya rumah relawan ini. Ruangan depan rumah ini sangat luas. Ada beberapa anak muda di dalam rumah sederhana ini, mereka semua adalah anggota relawan Al-Waliyy. Mereka menatap bingung diriku, bertanya-tanya siapa aku. Bang Aoman berdiri di tengah ruangan, menghirup udara di sekelilingnya, membuangnya perlahan. Bang Aoman menepuk tangannya 3 kali, aku hanya diam memperhatikan, tidak sampai berpikir bahwa bang Aoman sedang menarik perhatian semua anak muda itu untuk memperkenalkanku. "Teman-teman semua! Ini Nadira, rekan baru kita! Dia berasal dari kota, dan siap mengabdikan diri sebagai relawan!" Bang Aoman tersenyum bangga, seolah dia adalah seorang ayah yang sedang memamerkan prestasi putrinya. Aku menyeringai tipis melihat gaya bang Aoman yang sampai mengembangkan tangannya. Semua anak muda yang ada di ruangan ini bertepuk tangan. Memasang wajah bersahabat mereka saat melihatku, aku membungkukkan tubuh, salam hormat pada mereka semua. Bang Aoman menyuruhku langsung bergabung dengan anak muda lainnya, mereka semua adalah relawan, dengan rentang usia 20 sampai 35 tahun, bisa dibilang, aku yang paling muda di sini. "Jika Nadira sudah sampai di sini, Nadira tak perlu sungkan-sungkan dengan kami, anggap saja kami keluarga Nadira sendiri. Di sini tak ada senioritas, semuanya sama." Perempuan yang duduk di sebelahku menjelaskan, kami sudah berkenalan sejak bang Aoman menyuruhku duduk bersama anak muda yang lainnya. Nama perempuan ini adalah Umi, usianya 20 tahun, dia sempat kuliah di universitas negeri di kota dengan jurusan manajemen, tapi karena terkendala biaya, dia memutuskan berhenti setelah 3 semester berkuliah. Aku mengangguk, tetap tersenyum tipis sejak tadi. "Omong-omong, Nadira kenapa memutuskan untuk menjadi relawan?" tanya laki-laki yang duduk di depanku. Dia adalah sahabat baik bang Aoman, sudah menjadi relawan bersama bang Aoman sejak remaja, sampai akhirnya memutuskan untuk mengumpulkan pemuda-pemuda di seluruh negeri, bersama menjadi relawan dan berkumpul di rumah relawan Al-Waliyy ini sebagai markas mereka. Sampai saat ini, anggota relawan Al-Waliyy sudah 25 orang, belum termasuk aku. Tentu saja menjadi relawan tidak semudah yang dibayangkan, fisik kita harus kuat, otak kita harus bisa berpikir cepat untuk menyesuaikan keadaan di lokasi bencana, hati kita juga harus bersih, dan yang terpenting, jiwa sosialisasi kita harus tinggi. Rumah relawan Al-Waliyy sangat membutuhkan tinggi 4 hal itu sebagai persyaratan untuk menjadi relawan di rumah relawan Al-Waliyy ini. "Nadira, sekarang kau boleh istirahat dulu. Besok pagi-pagi ikut abang sama beberapa tim relawan ke dalam hutan, kau akan menjalani tes pertama untuk bergabung dengan tim relawan kami," jelas bang Aoman yang baru saja menghabiskan makan siangnya. Menyelamatkanku dari pertanyaan rekannya. Aku mengangguk mantap. "Baik Bang!" seruku yakin, penuh semangat. Bang Aoman tertawa, kembali menepuk-nepuk lenganku. "Abang suka melihat semangat kau!" Aku menyeringai kecil, berusaha menahan sakit di lenganku karena ditepuk oleh bang Aoman, tangan besarnya benar-benar penuh tenaga. Umi tertawa kecil melihatku menyeringai menahan sakit, seolah dia sudah tau betapa menyakitkannya tepukan bang Aoman. Di rumah berukuran 5×6 meter ini, terdapat 4 kamar mandi dan satu dapur, tidak ada kamar di sini, semua anggota relawan tidur di ruang depan, beralasan kasur kemah dan selimut. Laki-laki tidur di pojok kanan, sedangkan perempuan tidur di pojok kiri. Umi menjelaskan padaku, dari 25 anggota relawan, ada 18 laki-laki dan 7 orang perempuan. Terkadang ada beberapa organisasi mahasiswa yang ikut membantu kegiatan relawan kami, mereka mengajukan diri untuk menjadi anggota pembantu, sebagai kegiatan dari organisasi mereka. Sumber pendanaan kegiatan relawan Al-Waliyy dibantu langsung oleh pemerintah. Jadi, tak perlu memusingkan biaya. Anggota relawan Al-Waliyy tetap melakukan aktivitas harian seperti orang-orang pada umumnya, karena ada beberapa anggota relawan yang punya rumah sendiri di daerah ini, bahkan ada yang sudah menatap di luar kota, ada yang sudah mempunyai keluarga juga, ada yang memiliki pekerjaan tetap dan paruh waktu. Walau begitu, semuanya kompak berkumpul apabila ada kegiatan. Malam hari, Umi dan anggota relawan lainnya mengajakku keluar rumah, memanggang daging di sebelah rumah. Kata Umi, tadi pagi anggota relawan banyak mendapat sumbangan daging dari kota sebelah, sebagai ungkapan terima kasih mereka karena anggota relawan sudah membantu mereka saat banjir besar minggu lalu. "Bagaimana Nadira? Enak bukan?" tanya bang Aoman bersemangat. Dia tidak lagi menepuk-nepuk lenganku, tangannya sudah dipenuhi oleh daging, sibuk mengunyah. Aku mengangguk, lanjut menelan daging yang sudah masuk ke mulutku sejak bang Aoman bertanya. "Kau makanlah yang banyak Nadira! Karena besok pagi-pagi buta kau sudah harus melaksanakan tes masuk, sekarang kumpulkanlah kekuatanmu dulu." Bang Aoman menyeringai, melangkah ke tempat pemanggangan, meminta daging pada rekannya. Aku memperhatikan laki-laki 35 tahun itu yang nampak sangat akrab dengan anggota relawan lainnya, wajahnya saat tertawa seolah bercahaya, penuh dengan ketenangan. Aku tersenyum tipis, baru kali ini aku bertemu dengan orang yang punya aura positif seperti bang Aoman. Aku bertanya-tanya dalam hati, tentang hal besar apa yang telah terjadi dalam hidup bang Aoman sampai dia bisa seperti ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD