Bab 2

1046 Words
Cahaya ruangan apartemen samar-samar, aku terus melanjutkan langkah ke kamar Nay, mendorong pelan pintu kamar, mendapati Nay dan kakak yang menjaga Nay sudah tertidur lelap. Aku duduk di sebelah Nay, menatap wajah adikku yang tertidur pulas, wajah polosnya yang tak tau apa-apa tentang kondisi keluarga kami sekarang. Kedua sudut bibirku terangkat, tersenyum tipis, bersyukur Nay baik-baik saja. Aku sudah mendapat kabar dari pengacara papa, bahwa papa akan melakukan sidang besok pagi. Mama hilang kabar sejak panggilan terakhirnya kemarin, mungkin dia sedang liburan ke luar negeri sampai skandal perselingkuhannya dilupakan oleh negeri ini. Besok pagi aku perlu pergi ke pengadilan, menyaksikan sidang papa, walau sebenarnya aku malas sekali ke sana. Tapi mau bagaimana lagi, aku butuh informasi jelas, aku butuh penjelasan papa tentang perbuatan hinanya. Dan, aku juga akan mengatakan sampai jumpa pada papa, aku tidak bisa menjaga Nay, aku tak bisa mencari mama, dan aku tak bisa mengurus usaha papa dan mama. Aku akan pergi dari rumah dan apartemen itu, setelah menghadiri sidang papa esok pagi. Aku sudah muak berlama di kota ini, mengurung diri berhari-hari di apartemen, aku sungguh muak. oOo Sorotan kamera memenuhi gerbang depan kantor pengadilan. Teriknya mentari pagi ini sampai terhalang karena bayang-bayang setiap orang berseragam yang berdesak-desakan di depan bangunan besar ini. Aku membetulkan posisi masker, sedikit menaikkan kacamata hitamku, melewati kerumunan wartawan pagi ini. Hari ini sidang papa, penentuan hukuman untuk papa. Papa dan pengacaranya sudah duduk di depan hakim, aku memperhatikan sidang yang baru berjalan ini di belakang, menatap ekspresi datar papa, tidak ada rasa menyesal sedikitpun dari sorot matanya. Aku melirik pengacara papa, dia amat hebat bersilat lidah dengan hakim. Ini hanya sidang basa-basi, toh aku juga tau papa hanya dikurung beberapa bulan saja di penjara, dan media akan mempublikasikan bahwa papa dikurung di penjara bertahun-tahun, omong kosong. Jika mau, papa bisa tetap tinggal di rumah, atau sembunyi di apartemen, kembali ke penjara apabila ada pemeriksaan. Papa punya banyak uang untuk memonopoli statusnya sebagai tahanan, papa tidak pernah takut tertangkap, dia tak pernah takut masuk penjara, karena dia tau, penjara untuknya tidak lain hanya isolasi mandiri di ruangan kecil bak hotel bintang 5. Aku menutup rapat-rapat kupingnya di sidang ini, sudah puas melihat ekspresi acuh tak acuh papa, sudah muak mendengar bacotan pengacara papa. Tak cukup satu jam, hakim sok-sokan mengetuk palu, menyatakan hukuman untuk papa. Sidang berakhir. Papa dan pengacaranya berjalan mendekat ke arahku, sejak tadi mereka sudah tau aku datang ke sini. Menonton acara tidak berguna itu. "Mama kamu mana?" tanya papa dengan nada datar. Lihat, dia bahkan tak peduli padaku dan Nay, padahal sudah berhari-hari ia tak melihat putrinya. Aku menggeleng. Tidak tau mama ada di mana. Papa menghela nafas, mengusap wajahnya. Dia sudah tau mama terjerat berita perselingkuhan, dicap pelakor pula. Mungkin setelah bebas, papa akan menceraikan mama. Papa menatapku sejenak, aku balas menatap mata papa. Papa tidak mengatakan apa-apa lagi, sejak kecil aku dan papa memang tidak akrab, papa terlalu sibuk dengan pekerjaannya, mama pun begitu, terlalu sibuk dengan kegiatan sosialitanya jika sedang tidak ada jadwal syuting. "Sekolahmu sudah selesai bukan?" Aku mengangguk. Papa memalingkan muka, kembali mengusap wajahnya. Setidaknya papa lebih tau tentang sekolahku dari pada mama. "Aku akan pergi hari ini." Jari-jari tanganku mengepal erat, hentakan nafasku masih baik-baik saja saat menyampaikan kalimat itu. Papa melirikku kembali, mengernyitkan keningnya. "Ke mana?" "Tempat yang jauh." "Bagaimana dengan Nay?" Aku menggeleng. "Aku tidak bisa menjaga Nay. Tenang saja, bibi dan kak Asri akan selalu menjaga Nay." Papa menghela nafasnya. Melirik pengacaranya yang diam-diam juga merangkap sebagai manajer papa, dia sejak tadi tak beranjak sedikitpun dari sisi papa. "Urus sekolah Nay di luar negeri." Pengacara papa langsung mengangguk, meraih ponselnya, mengetik sesuatu. "Kamu dibully di sekolah?" tanya papa kembali. Aku menggeleng. Berbohong. Ya, aku memang dibully, tapi aku tak perlu mengiyakannya, papa pasti tau bahwa aku dibully. Pertanyaannya tadi hanya basa-basi. "Aku pamit." Aku segera melangkah ke luar ruang sidang, meninggalkan papa dan pengacaranya kini. Tujuanku datang ke sini sudah terpenuhi, aku akan pergi dari kota ini di detik ini juga. Maaf Nay, kakak tak sempat pamit padamu. Kamu jaga diri baik-baik ya. Selamat tinggal, dan sampai jumpa. oOo Keluargaku berantakan, teman-temanku menjauhiku, tetangga-tetanggaku mencap diriku buruk, aku tak punya muka lagi untuk berlama-lama di kota ini. Semua dunia tau apa yang telah diperbuat oleh papa dan mamaku. Aku tak tahan dengan semua itu, aku akan menjalani hidup baru untuk melupakan semuanya. Pesawat yang aku naiki sudah lepas landas sejak 1 jam yang lalu, aku masih mengenakan masker dan kacamata hitam, melihat bongkah awan putih di balik kaca jendela pesawat. Pesawat akan mendarat 1 jam lagi di Kota Lama, tempat aku akan memulai kehidupan baruku, markas besar relawan yang terlatih dan berlisensi. Aku telah memutuskan untuk menjadi relawan, membantu banyak orang di luar sana. Ini adalah impian yang sudah aku rancang sejak SMA, dan berkat masalah-masalah dalam keluargaku, genap sudah impianku itu, aku akan mulai mewujudkannya. Dan tentu saja, sesampainya di sana aku harus menyelesaikan serangkaian latihan dulu, seleksi diri. Pesawat sudah mendarat di bandara, aku merangkul tas besarku yang hanya berisi pakaian dan peralatan mandi, keluar dari bandara, mencari angkutan umum untuk ke Kota Lama, lebih tepatnya ke markas relawan. Sebelum itu aku harus menghubungi seseorang dulu, bang Aoman. Bang Aoman adalah kepala tim relawan di Kota Lama, dia adalah sahabat dari pelatih ekstrakulikuler pramuka yang aku ikuti sejak SMA. Saat tau aku punya impian menjadi relawan, pelatih jadi banyak bercerita tentang sahabat lamanya, yang sudah berkali-kali keliling kota, ke tempat di mana terjadi bencana alam, menyelamatkan ribuan jiwa, mempertaruhkan nyawa, pulang dengan bahagia. "Halo Bang," sapaku dibalik telepon. Aku duduk di trotoar, memperhatikan angkutan umum yang lewat, sekalian bertanya pada bang Aoman warna angkutan umum yang harus aku naiki untuk sampai ke markas relawan. "Oh Nadira! Sudah sampai kah!?" Suara bang Aoman terdengar bersemangat, keras dan penuh intonasi bahagia. Aku mengangguk, memain-mainkan kerikil di depan sepatuku. "Sudah Bang." "Baguslah kalau begitu, kau di mana sekarang? Biar Abang jemput." "Ah tidak perlu Bang, Nadira bisa sendiri, terima kasih Bang." Aku tersenyum tipis, senang ditawarkan. "Omong-omong Bang, Nadira harus naik angkutan umum warna apa?" Suara tawa menggelegar bang Aoman langsung terdengar jelas di telingaku. Aku segera menjauhkan ponsel dari telinga, takut pekak. "Kau naik saja angkot warna abu-abu tua Nadira, katakan pada sopirnya untuk berhenti di Al-Waliyy." Aku mengangguk, otak kecilku sedang berpikir, 'Al-Waliyy?'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD