Kegiatan sudah selesai berarti Indira harus pulang bersama Fajar dan mendatangi diruangan kemarin sesuai dengan permintaan Fajar. Indira tidak tahu maksud dan tujuan Fajar dengan membuat status mereka menjadi berpacaran, sedangkan Indira sendiri belum memutuskan apapun bahkan tidak memberikan jawaban. Fajar seolah tidak peduli dengan jawaban dari Indira karena baginya adalah sudah mengungkapkan dan tidak perlu jawaban hanya berupa pembuktian jika perkataannya benar adanya.
"Pulang dijemput, Dir?" tanya Shinta membuyarkan lamunan Indira dan seketika menggelengkan kepala pelan "turun bareng atau lo masih mau disini?."
"Turun aja masih ada yang harus gue kerjakan" Shinta mengangguk paham meninggalkan Indira disini.
Indira menatap sekitar yang sudah tampak sepi karena semua sudah turun ke bawah untuk pulang dan sekarang hari melelahkan secara perlahan Indira menuju ruangan kemarin dengan mengetuk perlahan agar bisa masuk kedalam
"Mas Fajar di dalam, masuk aja" ucap Ryan dari belakang mengagetkan Indira "gue belum pulang masih ada urusan sama Mas Fajar" lanjut Ryan seakan menjawab pertanyaan yang tanpa Indira mengucapkannya.
Ryan membuka pintu terlebih dahulu dimana Indira melihat Fajar tampak sibuk dengan kegiatannya yaitu membaca dan membuat tidak menyadari keberadaan mereka berdua. Indira hanya mengikuti langkah Ryan dan langsung duduk tidak jauh dari Fajar. Indira menatap Ryan yang hanya diam dan tidak tahu keperluan apa Ryan pada Fajar
"Mas, pulang duluan titip Indira teman gue" ucap Ryan yang membuat Fajar seketika menatap Indira dan detik berikutnya tersenyum sedangkan Indira langsung menatap Ryan bingung "Mas Fajar minta gue bantuin lo biar gak ada yang mikir negatif" seolah paham dengan pikiran Indira
"Ayo pulang" Fajar merapikan bawaannya dan mengajak keluar dari kampus.
Indira berjalan di belakang Fajar bukan takut anak-anak tahu atau berpikir negatif hanya saja Indira merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian dan juga Indira orang baru disini, Fajar mengarah ke parkiran mobil membuatnya hanya bisa diam. Mobil sederhana yang sesuai dengan karakter Fajar berdasarkan penilaian.
"Masuk" Fajar menatap Indira yang hanya diam.
"Bukannya motor?" tanya Indira setelah masuk kedalam mobilnya.
"Kenapa? gak suka naik mobil?" Fajar menatap lembut dan tiba-tiba jantung Indira berdetak kencang.
"Bukan, kakak bukannya naik motor kemarin?" tanya Indira setelah menormalkan perasaan.
"Kemarin memang naik motor karena buru-buru kalau sekarang masa mau antar pacar naik motor nanti jatuh nilai di mata calon mertua" Indira yakin wajahnya langsung memerah mendengar perkataan Fajar.
Indira melihat dalam mobil seketika langsung menilai bagaimana Fajar di mana bagian tengah isinya buku dan tas. Tidak berantakan hanya saja isinya banyak dan pemandangan ini termasuk bersih untuk ukuran cowok.
"Kalau mau nyalain lagu silahkan, dik" ucap Fajar menghentikan penelusuran mata Indira "tulis alamat di sini" memberikan ponselnya pada Indira dengan segera Indira menulis alamat rumah lalu menyerahkan ke Fajar.
"Jadi ada yang mau dibicarakan, kak?" tanya Indira langsung karena memang ini tujuan mengantarkan pulang.
"To the poin banget kamu" balas Fajar sambil tersenyum.
"Aku gak bisa ikut psycho camp karena pasti gak diijinin. Lagian aku ada alergi dingin kalau disana kumat gimana?" terang Indira langsung.
"Bawa obat, dik" Fajar mencoba bernegosiasi.
"Obatnya harus ke dokter gak bisa pakai obat di pasaran" Indira masih berusaha untuk tidak ikut.
"Memang gak bisa kasih resep dokternya?" Fajar menatap Indira sekilas yang langsung menggelengkan kepala "apa ini ada hubungan dengan wajah pucatmu tadi?" Indira langsung diam tidak tahu harus menjawab apa tapi selanjutnya Indira dapat mendengar hembusan nafas panjang Fajar "bawa surat dokter kalau kamu tidak diperbolehkan ikut" putus Fajar membuat Indira menatap tidak percaya "bukti jika kamu benaran tidak bisa ikut karena sakit nanti aku yang bilang sama Wahyu dan aku berikan dispensasi" Fajar langsung melanjutkan sebelum Indira sempat protes "temani aku makan ya" sambil menatap Indira sekilas yang hanya bisa mengangguk pasrah.
Fajar mengajak makan di warung kecil tapi ramai banget, bukan hal yang baru Indira berada di tempat makanan pinggir jalan ini karena dari dulu memang suka makan di warung kecil. Fajar menjelaskan ini adalah tempat makan ketika waktu kuliah bersama teman satu angkatan.
"Mau makan apa?" tanya Fajar menatap Indira lembut.
"Ayam dan tempe aja, kak" jawab Indira setelah melihat beberapa lauk yang ada diluar.
"Minumnya?"
"Es teh"
Fajar memesankan makanan untuk kami berdua sedangkan Indira mencari tempat duduk yang nyaman agar bisa berbicara dan juga makan tentunya, ada satu tempat yang masih kosong dengan segera duduk disana. Sambil menunggu Indira sambil membuka ponsel yang ternyata dari mama dengan segera Indira membalasnya jika dari ibu ratu.
Mama
Sudah pulang? kenapa belum sampai rumah? mama dan papa masih nunggu mbakmu di rumah sakit.
Indira
Sudah sama teman ini lagi makan dulu dan salam buat mbak ya, ma.
Mama
Kalau sudah selesai buruan pulang udah malam.
Indira
Ya.
Indira tidak menyadari jika Fajar sudah duduk di depan ketika membalas pesan mamanya dan membuka beberapa pesan yang lain, ketika Indira menatap Fajar menatapnya dalam membuat jadi salah tingkah.
"Serius banget lagi hubungi pacar ya?" tanya Fajar "tapi pacar kamu kan aku."
Indira menggelengkan kepala melihat Fajar dengan perkataan tidak jelasnya "mama, kasih kabar kalau lagi makan dan udah pulang" jawab Indira "kenapa kakak bilang kita pacaran? padahal kita baru kenal dan langsung bilang pacaran".
Fajar tersenyum "untuk pacaran bukan suatu masalah kan? siapa tahu ada getar-getar yang tumbuh di hati suatu saat nanti".
Ingin rasanya Indira bertanya lebih tapi makanan sudah datang membuat menghentikan pembicaraan mengenai hal yang mungkin tidak penting bagi mereka. Mereka berdua makan dalam diam walaupun sekali-sekali dapat di lihat Fajar menatap Indira dan Indira mencoba bersikap biasa saja.
"Besok aku ke rumah sakit jiwa kemungkinan agak sore ke kampus" terang Fajar begitu kami masuk ke dalam mobil membuat Indira menatap bingung "melihat perkembangan dari mereka karena fakultas kita rutin melihat kondisi mereka. Nanti ada waktunya kalian akan diperkenalkan dengan pasien yang ada disana" jelas Fajar seakan membaca pikiran "hari ini gak dijemput kenapa?" Fajar menatap sekilas.
"Oh mbak aku yang pertama abis melahirkan anak kedua semalem jadinya mobilnya dipakai mondar-mandir."
Fajar mengangguk "besok berangkat naik apa?" Indira hanya mengangkat bahu "aku jemput ya" ucap Fajar menatap sekilas "tidak ada penolakan jam 6 aku jemput" saat Indira akan menolak perkataannya membuat Indira hanya bisa mengangguk pasrah.
"Rumah pagar kuning itu, kak" jelas Indira sambil menunjuk rumah pagar kuning
"Ini?" tanya Fajar memastikan dan Indira mengangguk "warnanya beda ya?."
Indira mengangguk "papa suka gitu gonta ganti warna pagar tiap tahun" Indira tersenyum ketika mengingat sang papa "makasih banyak atas tumpangan dan makanan. Kakak mau mampir dulu?."
"Ada siapa dirumah?."
"Kayaknya gak ada orang" jawab Indira sambil melihat kedalam pagar "mungkin cuman bibi aja."
"Gak usah kamu istirahat saja sampai ketemu besok jam 6" Indira hanya mengangguk dan turun dari mobil.
Indira menatap kepergian Fajar yang sudah jauh dari rumah dan seperti prediksi jika hanya ada bibi dirumah. Indira langsung masuk kedalam kamar setelah menolak tawaran makan dari bibi untuk membersihkan diri dan beristirahat namun pesan di group jika ada tugas yang harus dikumpulkan besok dengan segera aku mengerjakan agar bisa istirahat secepatnya.
Senior Fajar
Jangan lupa besok jam 6 aku jemput, kamu jangan lupa istirahat.
❤
"Ra, belum tidur?" tanya Aris sang papa dari luar kamar sambil mengetuk pintu.
Indira membuka pintu melihat Aris dengan wajah kusut "ada apa, pa?" tanya Indira.
"Ya sudah kalau udah datang jangan terlalu malam kalau tidur" Indira mengangguk memeluk Aria erat "papa mau istirahat besok kerja lagi oh ya mama tidur di rumah sakit nemenin Mbak Tina" mencium kepala Indira lembut.
Aris selalu menyempatkan diri untuk memperhatikan anak-anaknya di waktunya yang sibuk dan Indira berharap mempunyai pasangan seperti sang papa tapi Indira tidak yakin jika ada pria yang mau dengan dirinya karena penyakit ini, mungkin sang pria tidak masalah tapi keluarganya hal yang Indira alami bersama Dimas.
****
Pagi hari selalu menjadi hal tersibuk walaupun Indira sudah bangun dari subuh menyiapkan semuanya. Keluar dari kamar sudah ada Nadia yaitu mbak kedua di dapur menyiapkan makanan dengan bibi.
"Udah bangun?" Nadia menatap Indira sekilas "keponakan kamu perempuan lagi tu namanya Gendis" Indira mengangguk "buruan makan sana itu pacar kamu sudah datang lagi bicara sama papa."
Perkataan Nadia berhasil membuat Indira menghentikan gerakan mengambil nasi ketika melihat jam sudah lebih dari jam 6 berarti Fajar ada diluar. Indira melangkah keluar menatap Fajar yang mendengarkan Aris berbicara, Fajar yang menyadari kedatangan Indira langsung tersenyum lembut.
"Kakak jam berapa datang?" tanya Indira perlahan karena tidak enak.
Aris menatap Indira "barusan datang, kamu udah makan?" Aris yang menjawab sambil menatap Indira dan Indira hanya bisa menggelengkan kepala "makan dulu aja nanti sakit perutmu."
"Gak papa makan aja dulu aku masih bisa nunggu dan ada waktu" Fajar memotong perkataan Indira yang hanya bisa mengangguk pasrah.
Indira langsung masuk kedalam mengambil makanan sedikit dan langsung memakannya dengan cepat agar Fajar tidak terlalu lama menunggu. Nadia hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Indira tersebut, setelah selesai Indira langsung keluar dan masih melihat mereka berdua berbicara ditambah suami Nadia yaitu Anto.
"Pa, Dira berangkat" ucap Indira yang mendekati Aris dan mencium tangannya "Assalamualaikum."
Fajar melakukan hal yang sama
"Mari om mas" pamit Fajar yang juga mencium tangan Aris.
Selama perjalanan tidak ada pembicaraan yang mendominasi kami hanya suara musik dan Indira baru tahu selera musik Fajar adalah lagu jaman dahulu walaupun Indira tidak paham siapa penyanyi dan lagunya tapi Indira mengerti karena Dimas juga menyukai lagu jaman dulu.
"Nanti pulang aku antar lagi" ucap Fajar "tadi sudah ijin om buat antar kamu" Indira hanya bisa mengangguk pasrah.
"Makasih, kak" ucap Indira begitu sudah sampai parkiran kampus "kakak masuk dulu atau langsung?."
"Ada yang mau aku urus sebentar" Indira mengangguk "ayo keluar."
Kamipun keluar dengan Indira jalan terlebih dahulu di depan Fajar tapi pandangan Indira mengarah pada Wahyu dan pria disebelahnya yang Indira yakini sebagai senior ketika sekolah dulu dan juga idaman teman-temanku wanita karena sikapnya.
"Mas Romi" Indira mendatanginya membuat kedua cowok tersebut menatapnya.
"Akhirnya ketemu juga ya padahal baru kemarin teman kamu Ana kabari mas" ucap Romi menatapku "gak pakai jilbab ni?"
Indira menggelengkan kepala "belum ada hidayah, mas" Romi tersenyum maklum dengan jawaban Indira "waktu pertama masuk Ana juga bilang gitu bahkan semalam tanya mas mulu."
"Kalian saling kenal?" tanya Wahyu membuyarkan percakapan kami membuat kami menatap Wahyu tapi pandangan Wahyu mengarah dibelakangku "ngapain lo disini, mas?" Indira secara otomatis menatap Fajar yang berada di belakangnya.
Indira baru sadar jika Fajar mengikutinya dari belakang dan ketika Indira melihatnya saat ini di mana tatapan dingin lebih mendominasi berbeda dengan tadi yang hangat. Indira juga tidak menyadari beberapa anak menatap kami berempat yang ada di gazebo.
"Kenal lah ini adik kelas gue SMA, dia kelas 1 gue kelas 3. Tapi gue lebih deket sama teman-temannya jarang dekat sama dia" jelas Romi menjawab pertanyaan Wahyu seolah tidak peduli dengan keberadaan Fajar dan Indira hanya mengangguk otomatis "kapan-kapan kita bicara lagi sekalian bicara mengenai Erry" Indira langsung diam mendengar nama tersebut tapi hanya bisa mengangguk pasrah.
"Erry" ulang Fajar membuat kami menatapnya.
"Erry cowok yang pernah suka sama Dira tapi ditolak malah milih sama Dimas" jawab Romi tanpa beban "dia masih tanya-tanya kamu semenjak lulus itu" dengan menatap Indira yang hanya bisa diam.
Hal yang tidak diketahui banyak orang termasuk ketiga sahabatnya adalah pengakuan Erry ketika Indira mengikuti ekstrakurikuler SMA dulu serta alasan Indira menolaknya karena salah satu temannya juga menyukai Erry, alasan yang kekanak-kanakan karena memang Indira tidak mau ribut dengan orang lain.
"Kalian berdua ada hubungan apa?" tanya Romi menatap kami berdua membuat Indira hanya bisa diam tidak berani menjawab.
"Hubungan spesial lebih dari senior dan junior" jawab Fajar tegas dan menatap Romi tajam "kamu masuk sana sudah waktunya" tatapan Fajar kearah Indira dimana tatapannya sudah berubah lembut.
Indira menghembuskan nafas pelan "kapan-kapan disambung mas dan Ana pasti heboh kalau kita udah ketemu" Indira tersenyum menatap Romi "duluan semua" Indira tidak menyadari jika Fajar menatap Romi tajam.
Indira meninggalkan mereka bertiga menuju kelas sebelum meninggalkan mereka Indira sempat dengar sekilas perkataan Fajar mengenai status hubungan kita di depan mereka berdua dan Indira hanya bisa menghembuskan nafas perlahan karena takut berharap lebih atas apa yang Fajar perbuat.