Chapt 7. Adyrta's Past 2

2934 Words
”Aku mendapat undangan langsung dari Rektor Utama Universitas Dubai. Mereka akan mengadakan seminar untuk minggu depan. Bisa kau mewakili aku ?” Tanya Dyrga dan direspon lirikan oleh Zu dan Anta.             Dyrta, dia menghela panjang nafasnya. Jemari tangannya berhenti dari gerakannya pada layar ponselnya.             Dia kembali membuka suaranya. ”Mewakili untuk berangkat ke Dubai ?” Tanya Dyrta dengan nada malas, mengambil gelas kristal bertangkai panjang, lalu menuang jus jeruk yang ada di dalam botol khusus ke dalam gelasnya.             Anta mulai duduk di kursinya tepat di sebelah suaminya, Zu. Mereka berdua saling melempar pandangan. ..**..             Mereka makan sambil bercerita sedikit. Begitu lah keluarga kecil mereka. Zu sangat beruntung. Memiliki keluarga kecil yang harmonis.             Istri yang selalu setia padanya. Bahkan saat beberapa tahun yang lalu dia koma dan dinyatakan lumpuh total. Istrinya, Anta tetap setia mendampingi dirinya.             Kedua putranya yang sangat pengertian. Bahkan tanpa Zu memaksa mereka untuk mengikuti jejaknya di dunia perbisnisan, kedua putranya sudah memutuskan untuk melanjutkan bisnis keluarga mereka.             Fakra dan Asyafa bahkan sama sekali tidak meminta bagian dari perusahaan Althafiance. Karena mereka mengakui, Althafiance maju pesat berkat usaha adik mereka, Azzura Abraham Althaf.             Tetapi Zu, dia tidak egois. Dia tetap memberikan bagian kepada kakak kandungnya, Asyafa. Sebagai warisan untuk anaknya yang akrab disapa Kak Zizil oleh kedua putranya, Dyrga dan Dyrta.             Zu juga mengajari kepada kedua putranya untuk tetap kompak menjalankan bisnis keluarga mereka. Dan dia sangat bersyukur karena kedua putranya membuatnya bangga.             Althafiance bahkan sudah semakin maju. Tidak hanya sampai disitu, kedua putranya bahkan membangun perusahaan sendiri atas nama Althafiance. Perusahaan penerbitan Novel dan juga perusahaan mobil sport.             Rasa syukurnya tidak pernah berhenti karena mendapat hadiah yang sangat indah dalam hidupnya. Walaupun sampai detik ini, tidak dia pungkiri kalau dia juga khawatir jika kedua putranya terlalu asyik sendiri. Dan melupakan bahwa mereka juga butuh seorang wanita sebagai pendamping hidup mereka. ---**--- 1 Minggu kemudian., Perumahan Cemara Hijau, Medan, Indonesia., Pagi hari.,             Di sebuah dapur luas dan bernuansa hijau putih itu, seorang wanita berusia 51 tahun tengah menghidangkan nasi goreng pada masing-masing piring yang sudah terbentang diatas meja makan bulat di dapur yang sangat luas itu. Sesekali gerakannya terhenti membantu dua orang lansia yang duduk di kursi meja makan, jika mereka membutuhkan bantuannya.             Melihat salah satu lansia hendak beranjak dari duduknya, dengan tangannya menjangkau selai yang berada di tengah meja. Dia mulai membuka suaranya. “Papa mau selai ?” Tanya wanita itu langsung menghampiri pria lansia berusia 74 tahun itu.           Pria itu langsung mengangguk iya. “Iya, itu selai kacang.” Jawab pria itu lalu duduk kembali di tempat duduknya.             Wanita itu kembali membuka suaranya.       “Biar Dila ambilkan.” Ucapnya lagi sambil mengambil selai kesukaan Papa nya.             Saat dia hendak mengambil selai kacang itu, seorang wanita lansia berusia 72 tahun ikut membuka suaranya. “Mama mau selai srikayanya.” Ucapnya dan diangguki iya oleh wanita itu. “Iya, Ma.” Jawabnya lagi, membawa dua botol selai yang dipinta oleh kedua orang tuanya.             Yah! Wanita itu bernama Dila, Adila Nawwar Rizky. Wanita yang sudah memiliki dua orang putri cantik yang tengah beranjak dewasa itu selalu melayani kedua orang tuanya dengan sangat baik.             Orang tuanya yang sudah lanjut usia. Arsyad Nawwar Rizky, pria yang disapa Arsyad dengan usianya sudah menginjak 74 tahun itu masih sanggup berdiri dan berjalan. Juga Ghaniah Hafizhah, wanita yang akrab disapa Ghaniah dengan usianya sudah menginjak 72 tahun. Dia juga masih sanggup berjalan tanpa menggunakan tongkat.             Kegiatan sehari-harinya adalah menjadi seorang ibu rumah tangga yang siap siaga. Juga mengurus keluarga kecilnya. Keputusan suaminya yang memang ingin menetap di Indonesia sangat diharapkan oleh wanita berdarah Medan itu.             Dengan membawa dua selai itu, dia berjalan mendekati kedua orang tuanya yang ada di sudut meja makan. Dia meletakkan dua botol selai itu di atas meja makan. Membuka dua botol selai itu, dan hendak mengoleskannya pada roti yang sudah tersedia di piring kecil milik kedua orang tuanya, Arsyad dan Ghaniah.             Ghaniah mencegahnya. “Kami bisa sendiri. Kamu siapkan dulu sarapan mereka. Ini sudah jam berapa.” Ucap Ghaniah dan diangguki iya oleh Dila. “Iya, Ma.” Jawab Dila singkat dan disambung oleh Arsyad. “Iya, lihat sudah jam tujuh kurang lima belas menit.” Ucap Arysad sambil melirik ke arah jam besar berwarna putih, bergambarkan kota Dubai disana.             Ghaniah dan Dila ikut melihat ke arah jam dinding.             Dila kembali membuka suaranya. “Kemana mereka semua. Kok belum pada turun ke bawah.” Ucap Dila lalu melangkahkan kakinya kembali ke meja masak dan mengambil satu teflon nasi gorengnya untuk kembali dia hidangkan di piring yang sudah berjajar diatas meja.             Saat Dila mulai melakukan kembali aktivitasnya yang tertunda, dia kembali membuka suaranya. “Tolong kalian panggilkan mereka semua. Dan suruh anak-anak memanggil Papanya di kamar.” Pinta Dila kepada salah satu pelayan yang ada disana.             Pelayan itu mengangguk iya. “Baik, Nyonya.” Jawab pelayan wanita itu. Dia hendak berjalan meninggalkan dapur dan menjalankan perintah Nyonya Besarnya, namun suara teriakan seseorang membuat mereka semua yang ada di dapur mengalihkan pandangan mereka ke sumber suara. “Mas Dyrta!! Balikin!!” Teriak suara cempreng seorang gadis yang berlari-lari dengan seragam putih abu-abunya.             Dan seorang gadis lagi, dengan rok lebar berwarna hitam dan hanya sebatas lututnya. Gadis itu tertawa lebar sambil melangkahkan kakinya menuju dapur.             Seorang pria berlari-lari menuju dapur. Dia mengitari meja dapur sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Menjauhkan ponsel yang dia genggam di tangan kanannya dari gadis yang saat ini tengah mengejarnya. “Mas Dyrta!!!” Rengek gadis itu menghentak-hentakkan kedua kakinya di lantai sambil memegang ransel berwarna pinknya. Karena lelah, gadis itu lalu duduk di kursi meja makan, duduk tepat di samping gadis yang usianya 2 tahun lebih tua darinya. Dia mengerucutkan bibirnya ke depan, dengan wajah sebalnya. Semua orang tertawa melihat tingkahnya yang selalu seperti itu jika sudah diganggu oleh abang sepupunya. Tidak peduli jika semua orang masih menganggapnya anak manja.             Pria yang berlari-lari itu akhirnya menghentikan langkah kakinya. Dan pria itu adalah Dyrta, Adyrta Abraham Althaf. Melihat gadis yang sedari tadi mengejarnya sudah ngos-ngosan dan duduk di kursi sebelah sana, dia tersenyum nakal. Dia lalu berjalan lambat mendekati pria lansia bernama Arsyad. Pria itu mulai membuka suaranya. “Pagi, Eyang.” Sapanya lalu mengecup puncak kepala Eyang kakungnya. “Pagi, Cucuku.” Balas Arsyad mengelus pelan lengan kekar cucu laki-lakinya yang sudah berbalut dengan kemeja biru dongker itu.             Dia lalu melangkahkan kakinya menuju Eyang Utinya. Dan kembali membuka suaranya. “Pagi, Eyang Uti. My love.” Sapa pria itu lalu mencium pipi kanan dan pipi kiri Eyang Utinya. “Pagi, Sayang.” Jawab wanita lansia bernama Ghaniah itu, sambil mengelus pelan wajah tampan salah satu cucu kebanggaannya selain Dyrga.             Dyrta, dia lalu mengecup singkat kening Eyang Utinya dengan penuh cinta. Dia kembali menegakkan tubuhnya dan berjalan menuju wanita yang tengah berada di meja masak.             Wanita berpakaian minim, dengan rok sebatas lututnya. Dia melangkahkan kakinya menuju Eyangnya. Dan mencium pipi kanan dan kirinya. “Pagi, Eyang kakung.” “Pagi, Eyang Uti.” Sapa gadis berusia 19 tahun itu kepada kedua Eyangnya.             Gadis yang masih dengan wajah cemberutnya itu, dia beranjak dari duduknya dan mulai melangkahkan kakinya menuju kedua Eyangnya. Dan juga mencium pipi kanan dan kiri kedua Eyangnya. “Pagi, Eyang kakung.” “Pagi, Eyang Uti.” Sapa gadis berusia 17 tahun itu dengan nada sebal, dan direspon tawa oleh seorang pria yang sudah berhasil membuatnya selalu sebal di pagi hari ini.             Pria bernama Dyrta itu memeluk wanita yang sedang asyik di depan meja masak. Dia memeluknya dari belakang. “Morning, Mom.” Sapanya lalu mengeratkan pelukannya seraya dirinya tengah memeluk Mommy nya, Anta. “Morning, Sayang.” Jawab wanita yang akrab disapa Dila itu. Dia kembali melanjutkan kalimatnya dengan suara berbisik yang hanya bisa didengar oleh Dyrta seorang. “Kau ini selalu mengganggu adikmu. Jangan godain mereka mulu. Nanti dia tidak mau sarapan seperti kemarin.” Ucap Dila lagi, dan direspon anggukan kepala oleh Dyrta.             Dyrta tersenyum kekeh. Lalu melepas pelukannya. Dia mendekati gadis berusia 17 tahun itu, yang hendak duduk di posisinya semula. “Ini. Lain kali, jangan seperti itu lagi. Mengerti ?” Ucap pria itu selembut mungkin, menundukkan tubuhnya tepat di hadapan gadis yang masih berwajah cemberut. Dan mengulurkan tangannya memberikan kembali ponsel bermerk Iphone itu kepadanya.             Gadis itu langsung mengambilnya dengan gerakan gontai, sambil menganggukan kepalanya seraya mengatakan iya.             Dan pria bernama Dyrta itu, dia menyodorkan pipi kanannya kepada gadis itu.             Seraya paham, gadis itu langsung mengecup pipinya. Dan mengangkat tangan kanannya membalikkan wajah pria yang sangat dia sayangi itu, lalu kembali mengecup pipi kirinya.             Pria itu tersenyum puas. Dia menegakkan kembali posisi membungkuknya, dan berjalan menuju kursi di sebelahnya. Dia menariknya sambil membuka suaranya. “Silahkan duduk Princess…” Ucapnya sambil memainkan tangan kanannya seraya mempersilahkan gadis yang masih berwajah cemberut itu untuk duduk di kursi yang sudah dia siapkan.             Gadis itu, mendapat perlakuan manis dari abang sepupunya. Lagi-lagi dia tersenyum jengkel.             Setelah terlihat duduk, Dyrta mengacak pelan rambutnya. Dan kembali membuka suaranya. “Jangan cemberut begitu. Nanti cantiknya diambil sama Kak Zehra loh.” Ucapnya lalu segera menghindar dari gadis bernama Zahra itu. “Mas Dyrta!!!” Teriaknya hingga bergema di seluruh ruangan dapur yang direspon lirikan dan juga tawaan dari beberapa pelayan di dapur, dan bodyguard yang berjaga di pintu belakang mansion.             Dan semua orang yang ada disana kembali menertawainya.             Yah! Gadis yang masih menekuk wajahnya itu bernama Zahra, Zahra William. Gadis berusia 17 tahun yang sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas kelas 3 di SMA Sutomo 1 Medan.             Dyrta, dia kembali berjalan menuju gadis dengan rok minimnya yang tengah asyik dengan ponselnya, yang duduk tepat dua kursi dari gadis yang bernama Zahra. Dia membungkukkan tubuhnya ke arahnya. “Kiss morning.” Ucap Dyrta singkat sambil menunjuk pipi kanannya dengan jari telunjuknya, seraya mengatakan untuk meminta ciuman pagi darinya.             Seraya paham, tanpa merespon dengan sebuah kata atau anggukan kepala. Gadis itu memalingkan wajahnya dari ponselnya dan mencium pipi kanan, lalu pipi kiri abang sepupunya. Dia kembali mengalihkan pandangannya pada ponselnya.             Dyrta menghela panjang nafasnya. Kalau adik sepupunya yang satu ini memang bersifat cuek. Dia langsung menundukkan kembali tubuhnya dan mengecup singkat puncak kepalanya. “Jangan selalu itu yang kau lihat, Baby. Ingat mata kuliahmu hari ini.” Ucap Dyrta seraya mengingatkan dengan tangan kanannya terulur mengacak pelan rambutnya.             Gadis itu mendesis pelan. “Mas Dyrta! Rambut Zehra nanti rusak!!” Ucap gadis itu sebal menepis pelan tangan kanan kekar abang sepupunya itu.             Yah! Gadis itu bernama Zehra, Zehra William. Gadis berusia 19 tahun yang merupakan mahasiswi semester 1 jurusan Akuntansi di Universitas Prima Medan.             Dyrta hanya tertawa mendapat kalimat desisan dari adik sepupu yang sangat dia sayangi dan dia jaga itu. Baginya, lelucon di pagi hari dapat membuat suasana rumah sebagai kampung halaman Mommy nya ini dapat selalu terlihat ramai.             Walaupun akan berhujung pada wajah cemberut dari kedua adik sepupu yang sangat dia sayangi itu, tidak masalah bagi Dyrta. Karena wajah sebal mereka akan segera dirayu oleh beberapa hal yang sangat disukai mereka. Dyrta sungguh memahami karakter dari kedua gadis yang selalu dia jaga ketat dengan orang-orang suruhannya.             Dyrta harus melakukan hal-hal aneh setiap harinya untuk membuat mansion ini terasa ramai. Mengingat mereka belum sempat berkunjung ke Indonesia, bahkan sudah hampir 3 bulan lamanya.             Dan Dyrta tidak mau membuat semua keluarga Mommy nya yang ada di Medan menjadi merasa terlupakan oleh mereka yang menetap di kota New York, USA. Dia berharap, apa yang dia lakukan setiap harinya dapat membuat keluarganya terhibur.             Dan Dyrta, dia selalu mengawasi keluarganya dari kejauhan. Walaupun mereka semua berada di New York. Dia paham betul tentang dunia perbisnisan yang bisa saling menjatuhkan bukan hanya dari sisi material. Tetapi dari sisi kebencian yang sudah mendarah daging. Dan bisa menyenggol salah satu keluarganya tanpa sepengetahuannya.             Itu lah sebabnya, Dyrga dan Dyrta sudah menyewa orang-orang khusus berpengalaman untuk melindungi keluarganya yang ada di Indonesia dan Dubai. Terutama sekali melindungi kedua adik sepupunya yang masih beranjak dewasa. Yang tidak menutup kemungkinan bisa dijadikan sebagai sasaran empuk bagi remaja yang ingin mencoba menikmati indahnya berpacaran.             Oh tentu saja Dyrta tahu akan hal itu. Jiwa bastard yang ada di dalam dirinya tidak bisa dibohongi oleh keadaan yang terlihat berpura-pura baik menyapa lingkungan. Sebab itu dia sangat mengawasi kedua adik sepupunya yang cantik dan cocok untuk masuk ke dalam kriteria model majalah dewasa.             Dyrta, mendengar teriakan adik sepupunya, dia hanya diam dan duduk santai di sebelahnya. Duduk tepat diantara kedua orang sepupunya yang sangat dia sayangi itu.             Mereka semua hanya menggelengkan pelan kepalanya, melihat tingkah Dyrta yang selalu saja mengusili kedua adik sepupunya itu. Tetapi mereka bertiga, para orang dewasa tahu kalau Dyrta memang bersifat seperti itu terhadap keluarganya. Sisi romantis selalu dia tekankan di dalam ruang lingkup keluarga mereka.             Dila yang sudah selesai dengan kegiatannya di meja dapur, lalu menaburi masing-masing piring berisi nasi goreng itu dengan irisan telur dadar, timun, dan tomat. Dia kembali membuka suaranya. “Jangan main hape aja. Cepat dihabiskan sarapan kalian, Sayang. Lihat sudah jam berapa ini!” Ucap Dila sedikit bernada satu oktaf.             Dyrta hanya senyum-senyum sendiri, sambil menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya.             Zehra kembali membuka suaranya. “Mas Dyrta lo, Ma. Gangguin aja dari tadi!” Ucap Zehra bersuara sebal, sambil meletakkan ponselnya diatas meja. Memainkan sendok dan garpunya untuk memainkan nasi goreng miliknya.             Zahra juga ikut menyambung. “Iya, Ma! Mama gak liat tadi Mas Dyrta gangguin kami! Kenapa kami pula yang dimarahi.” Ucap Zahra hendak menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya, dan disela cepat oleh Dyrta. “Baca doa dulu sebelum makan, Zahra, Zehra.” Ucap Dyrta santai tanpa menatap mereka berdua, dan seketika gerakan Zehra dan Zahra terhenti.             Mereka berdua pun mengerti, dan menengadahkan kedua tangan mereka untuk berdoa sebelum makan.             Dila melihat kedua putrinya sekilas. Begitu juga Arsyad dan Ghaniah yang melihat kedua cucu perempuan kesayangan mereka yang sangat patuh terhadap perintah abang sepupunya, Dyrta.             Dila sendiri tahu, bagaimana pun sikap jahil keponakannya, Dyrta. Ucapannya pasti selalu dituruti oleh kedua gadisnya itu, Zehra dan Zahra.             Saat mereka tengah menikmati sarapan mereka, Dila kembali membuka suaranya. “Hey kalian bertiga, kemana suamiku ? Kenapa dia belum turun juga ? Sudah jam berapa ini.” Tanya Dila yang masih berada di meja masak membuat bekal untuk Zehra dan Zahra.             Yah! Walaupun kehidupan mereka terhindar dari kata kekurangan. Tetapi Dila selalu membiasakan kedua putrinya untuk selalu membawa bekal, dan memakan bekal darinya. Apapun makanan yang diminta oleh kedua putrinya, dia siap untuk membuatnya.             Karena ini adalah nasehat dari kakaknya, Anta. Anta menasehati dirinya untuk membiasakan keluarganya memakan masakan rumahan. Sehingga lidah mereka terbiasa dengan masakan rumahan, dan tidak menagih masakan dari luar rumah.             Mengingat di zaman yang sudah maju pesat dan modern seperti ini, segala hal pasti sudah dibumbuhi dengan aneka rasa. Baik itu campuran perasa makanan, atau perasa obat-obatan yang berbahaya.             Sejak kecil, Dila membiasakan keluarga kecilnya memakan masakan rumahan buatan dirinya. Sehingga ketika mereka makan diluar rumah, lidah mereka sangat terasa asing dengan masakan luar. Dari situ Dila merasa sudah sukses membuat keluarganya terbiasa dengan masakan rumahan.             Mendengar kalimat pertanyaan dari wanita yang masih sibuk dengan kegiatannya itu, membuat mereka bertiga saling menyahut secara bergantian. “Itu kan suami Mama, kenapa harus tanya ke kami ?” Jawab Zahra bersuara santai sambil terus menyendokkan makanan di mulutnya, dan mengunyahnya. “Papa kan selalu begitu, Ma. Tidak rajin bangun pagi seperti kami.” Jawab Zehra menyambungkan kalimat Zahra, menyunyah makanannya, sambil sesekali melirik ponsel yang ada di atas meja, di hadapannya. “Mungkin Daddy sedang ngorok, Mom.” Jawab Dyrta santai hendak menyendokkan makanan di mulutnya.             Kalimatnya mengundang tawa pelan mereka semua yang duduk di meja makan. “Pphhhhffftttttt…” Zehra mengejek. “Ha aja.” Jawab Zahra singkat.             Saat Dila sudah selesai dengan kegiatannya. Dila lalu membuka apron yang dia pakai sedari tadi. “Okay. Selesai. Kalian bertiga cepat habiskan sarapannya. Gak perlu banyak melamun. Lihat sudah jam berapa. Aku mau memanggil si tukang tidur dulu.” Ucap Dila sambil melipat apron miliknya dan meletakkannya diatas rak khusus apron yang ada di sudut meja masak.             Saat dirinya masih mencuci kedua tangannya di wastaple, suara seseorang membuat mereka semua mengalihkan pandangannya ke sumber suara. “Tukang tidur ? Siapa si tukang tidur, Ma ?” Tanya pria itu dengan suara baritonnya.             Zehra dan Zahra melihat sekilas pria yang begitu menyayangi mereka berdua. Begitu juga Dyrta yang melihatnya sekilas, lalu kembali membuka suaranya. “Kebiasaan buruk Daddy bangun terlalu lama. Apa Daddy kelelahan ?” Tanya Dyrta santai dan mulai sengaja membuat topik pembicaraan baru.             Tiba-tiba sentilan ringan mendarat di telinganya. “Hey!” Ucap Dila menyentil pelan telinganya.             Arsyad kembali membuka suaranya. “Dyrta. Jangan memulai lagi.” Ucap Arsyad memperingatkannya sambil mengelap kedua tangannya dengan tissue basah yang ada disana.             Ghaniah hanya menggelengkan pelan kepalanya melihat tingkah cucu laki-lakinya itu.             Dan pria itu, pria yang masih melangkahkan lebar kakinya menuju dapur. Dia kembali membuka suaranya. “Habiskan sarapanmu, Dyrta.” Ucapnya bernada datar.             Dia lalu berjalan mendekati istrinya yang berada di samping Dyrta dan Zahra. Dia memeluknya dari belakang. “Morning, Ma.” Ucap pria itu memeluknya dari belakang, mengecup lama puncak kepalanya. “Morning, Sayang. Cepat duduk, Mas. Lihat sudah jam berapa ini. Katanya ada rapat penting.” Ucap Dila seraya mengingatkan dan membuka pelan pelukan sang suami dari pinggang rampingnya. Dia kembali berjalan menuju meja masak. Hendak mengambil bekal untuk kedua orang yang sangat dia sayangi itu. Namun lagi-lagi tangan kekar itu masih terus melingkarkan pada pinggangnya. Dia sedikit merundukkan tubuhnya. Membisikkan sesuatu di telinga istri yang sangat dia cintai itu. “Tadi malam, Mama sungguh luar biasa.” Bisiknya nakal lalu menghembuskan nafasnya disana.             Dyrta, dia mendengar bisikkan kecil itu. Dia ikut mengulum senyuman kecil di wajah tampan yang terlihat beringas itu. Sungguh, adik ipar Mommy nya persis seperti Daddy nya, Zu. Selalu suka menggoda makhluk lemah yang hobinya berdandan. Tapi sedetik kemudian, dia mengintropeksi diri. Sebab dirinya juga bersifat sama.             Dila, bulu kuduknya meremang. Dia sedikit terkekeh pelan. Dan kembali membuka suaranya. “Mas, sarapan dulu. Kita tidak bisa menarik waktu untuk kembali!” Ucap Dila mulai bernada sebal.             Ghaniah membuka suaranya. “Will. Sarapan dulu, Nak. Ini sudah jam berapa.” Ucap Ghaniah seraya mengingatkan menantu laki-lakinya itu.             Seketika pria itu membuka pelukan eratnya dengan mengecup singkat bahu sang istri.             Dila hanya menggelengkan pelan kepalanya saja.             Yah! Pria itu adalah William Richard. Pria berusia 54 tahun yang akrab disapa William itu sudah sah menjadi Warga Negara Indonesia. Dia melangkahkan kakinya menuju kursinya tepat di samping putri tertuanya, Zehra William. “Morning semuanya. Morning Princess-Princess Papa.” Ucap William menyapa kedua gadisnya yang berwajah datar karena sibuk dengan urusannya masing-masing diatas meja.             Karena tidak mendapat respon dari kedua gadisnya yang mengapit keponakannya, Dyrta. William kembali membuka suaranya. “Okay. Kalian berdua tidak boleh pergi dengan Mas Dyrta.” Ucap William bersuara datar seraya memutuskan.             Semua orang beralih menatapnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD