6. Ajakan Menikah

1402 Words
"Kita mau ke mana? Aku rasa, ini bukan jalan pulang ke kost ku." Giselle menatap ke luar jendela mobil. Memerhatikan sekitar, mencermati dengan sangat di mana ia saat ini. Setelah memastikan dengan teliti, dirinya yakin kalau saat ini bukan berada di jalur pulang seperti biasa. Setelah tadi menyetujui tawaran Leonard Massen untuk pulang diantar sang putra, Giselle tidak sedikit pun berpikir macam-macam. Tapi, setelah sepuluh menit mobil melaju, ia merasakan keanehan. Giselle yakin, pria di sebelahnya itu membawanya bukan untuk langsung pulang ke kost. "Ini emang bukan jalan ke kost kamu," sahut Xabiru santai tanpa dosa sambil terus fokus mengemudikan mobilnya. "Terus mau ke mana? Kamu mau culik aku?" tukas Giselle lalu menatap tajam ke arah Xabiru. Demi Tuhan, kalau sampai macam-macam, jangan salahkan dirinya menghajar atau mematahkan tulang pria di sebelahnya ini. "Ngapain aku culik kamu, sih?" "Ya terus ini mau ke mana? Mau ngapain? Gerak gerik kamu aja mencurigakan gitu." Xabiru sampai menoleh. Pria itu menatap sekilas sebelum akhirnya kembali memandang ke arah jalan yang ada di depannya. "Aku mau ajak kamu singgah ke cafe yang ada di depan sana." "Singgah ke cafe? Untuk urusan apa? Bukannya kita baru aja selesai makan malam?" "Udah, nggak usah banyak tanya. kalau udah sampai kamu juga bakal tau." Decakan keras terdengar dari bibir Giselle. Memilih diam sesaat sampai akhirnya mobil yang Xabiru kendarai benar-benar berhenti tepat di depan salah satu cafe. Pria itu kemudian buru-buru turun, mengitari mobil. Bantu membukakan pintu, lalu mempersilakan Giselle untuk melangkah keluar. "Ini bakal lama, nggak?" tanya Giselle sebelum melangkah masuk. "Tergantung. Kalau kamu nggak bisa diajak kerja sama, mungkin perbincangan kita di dalam bakal lama," sahut Xabiru cuek lalu melangkah masik lebih dulu. Sementara Giselle nampak mengekor. Menyeret kakinya sedikit malas, sampai akhirnya ia sampai di salah satu meja yang terletak di sudut ruangan, kemudian duduk di sana. "Langsung aja, deh. Nggak usah pakai basa-basi lagi. Serius waktu aku nggak banyak." Baru saja beberapa detik mendudukkan tubuhnya di sana. Belum lagi Xabiru sempat membuka percakapan, Giselle sudah bersungut-sungut memberikan peringatan. Memang dasarnya saja ia tidak sabaran. "Yaelah, minum dulu, kek. Buru-buru banget," tegur Xabiru sengaja. Melambaikan tangannya ke udara, maksud hati memanggil pelayan agar dirinya bisa memesan minuman terlebih dahulu sebelum mulai berbicara atau berdiskusi dengan gadis di depannya. "Kan udah dibilang, aku nggak punya banyak waktu. Makanya buruan. Kalau nggak mulai juga, aku bakal pergi, nih!" "I-iya. Ya ampun, nggak sabaran banget." "Cepetan, Xapinky! To the point aja." Pekikan Giselle sontak membuat Xabiru memasang sikap awas. Takut saja dirinya kalau Giselle kembali menghajar atau memiting tubuhnya seperti tempo hari. "Aku sengaja ngajak kamu ke sini karena mau ngomong sesuatu," kata Xabiru ragu-ragu. Sungguh ia saja bingung mau merangkai kta seperti apa. Demi Tuhan, dirinya takut salah-salah ucap yang mana nanti malah mengundang pertikaian. Lagi pula, ayahnya juga kenapa sih harus paksa dia nikah sama Giselle segala macam. "Ngomong apaan, yaelah. Langsung aja." "Aku mau ngajak kamu nikah." Demi mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibir Xabiru, Giselle sampai tersedak ludahnya sendiri. Untuk beberapa saat, ia sampai terbengong. Ini pria di depannya nggak lagi mabuk, kan? Kalau pun benar mengajak dirinya untuk menikah, kok santai sekali seperti ngajak nonton konser. Benar-benar over percaya diri, seolah tidak ada beban sedikit pun. "Kamu kesambet, ya?" Giselle sampai memastikan. Ya takutnya aja Xabiru kerasukan setann makanya ngomong sembarangan. "Kesambet? Siapa yang kesambet?" elak Xabiru. "Ya itu. Seenaknya aja ngajak nikah. Kenal aja nggak. Kok pede banget ngajakin aku nikah." "Tapi aku serius," kata Xabiru kemudian. Menatap serius ke arah Giselle, seolah memastikan ini dirinya 1000% serius bukan main-main. Giselle lantas menarik wajahnya. Memicingkan mata dengan tajam sembari memasang wajah begitu sinis. "Heh Xapinky, Xakuning, Xamerah. Kita saling kenal aja, nggak. Ketemu juga baru tiga kali." "Sorry kita udah empat kali ketemu sama malam ini," koreksi Xabiru buru-buru. Perlu banget dirinya mengklarifikasi soal ini. "Ya terserah lah. Intinya baru berapa kali ketemu. Gila aja kamu ngajak aku nikah tiba-tiba. Jangan bilang kamu jatuh cinta pada pandangan pertama sama aku?" Xabiru malah mendesah panjang. Sebenarnya malas sekali memberikan penjelasan panjang lebar. Lagi pula, kenapa tidak langsung diterima saja ajakannya? Padahal, kalau dilihat-lihat, kurang apa dirinya ini? Tampan, mapan, kompeten, bahkan punya segalanya. "Papaku yang maksa aku buat nikah sama kamu," ungkap Xabiru pada akhirnya. "Aku sendiri bahkan nggak tau, kelebihan kamu itu apa sampai-sampai papa maksa aku harus banget nikah sama kamu. Seperti kata kamu juga, kita bahkan nggak saling kenal sebelumnya." "Ya, kamu kan bisa nolak," seloroh Giselle dengan santai. Pikirnya Xabiru juga bukan anak kecil yang nurut aja kalau diberi perintah yang tidak masuk akal. Sebagai pria dewasa, bisa saja dirinya menyampaikan argumen atau memberi bantahan dengan alasan yang masuk akal, kan? "Kamu pikir aku nggak melakukan itu? Aku udah nolak mentah-mentah, ya. Lagian, kamu itu bukan tipeku juga. Jadi nggak usah GR. Aku juga sadar, mau deketin kamu pakai cara normal juga sepertinya percuma dan buang-buang waktu." Giselle mendelik lalu berdecak. Kurang ajar sekali pria di depannya ini. Belum apa-apa saja sudah berani merendahkan dirinya. "Terus, kalau aku bukan tipemu, ngapain masih ngajak nikah segala? Dasar aneh!" "Karena Papaku nggak terima penolakan," ungkap Xabiru dengan nada terdengar seolah frustrasi. Atau jangan-jangan pria itu memang sudah hampir gila? "Asal tau aja ..." sambung Xabiru kemudian. "Ini kalau aku nggak berhasil ngajak kamu nikah, hidupku bakal berantakan. Jabatan yang susah payah aku dapatkan di Alexis yang jadi taruhannya. Aku tau, kita emang nggak saling kenal. Pun, pertemuan pertama kita aja jauh dari kesan baik. Aku juga yakin, pasti kamu nggak mau nikah sama orang asing dan yang nggak kamu cinta, kan?" "Nahh, itu kamu tau sendiri jawabannya," sahut Giselle agak gemas. "Ya kalau nggak mau nikah serius, kita nikah pura-pura aja. Simple, kan?" Giselle terkesiap. Ia sampai mencerna baik-baik perkataan Xabiru barusan. "Apa katamu? Nikah pura-pura?" Xabiru lantas mengangguk yakin. "Iya, married with benefit. Nikah kontrak, nikah bersyarat, atau apalah itu nama dan istilahnya. Yang pasti bukan nikah beneran seperti pasangan pada umumnya." Giselle detik itu juga tertawa. Entah apa yang lucu dari perkataan Xabiru sebelumnya. Yang pasti, alih-alih memberi tanggapan, ia memilih menyesap terlebih dahulu minuman yang sudah dipesankan untuknya. "Gimana?" kejar Xabiru ketika mendapati Giselle yang malah tidak memberikan reaksi apa-apa. "Gimana apanya lagi, sih?" "Ya soal ajakan nikah tadi? Yang pasti, kita nggak nikah beneran. Nanti aku atur sebaik mungkin biar nggak merugikan kamu. Yang penting, tolong aku dulu biar Papa nggak ambil jabatan aku." Giselle memandangi wajah Xabiru yang tampak jelas memohon. Pria yang kemarin-kemarin terlihat begitu arogan itu, kini tak ubahnya anak kucing yang terus mengeong meminta diberi makan. Menyedihkan. Bahkan tampak sekilas seperti orang yang putus asa. "Kamu mau kan tolong aku?" kejar Xabiru sekali lagi. "Tenang aja, kamu mau minta syarat gimana? Apa pun itu, aku pastikan bakal kasih. Yang penting kamu setuju buat nikah sama aku." "Apa pun itu?" Xabiru kemudain mengangguk berulang kali dengan yakin. Ia pikir, paling permintaan Giselle tak jauh-jauh dari urusan uang atau materi. Kalau soalan itu, dirinya yakin mampu menyanggupi. "Apa pun itu yang kamu minta, aku bakal kasih. Apa pun itu tanpa terkecuali." Giselle mengembuskan napas panjang. Menarik sudutnya bibirnya, lalu tersenyum tipis. Kalau saja dirinya seperti gadis di luaran sana, tentu saja ia akan memanfaatkan momen ini untuk mendulang keuntungan besar. "Aku nggak mau nikah sama kamu." Singkat, padat, dan sangat teramat jelas. Giselle menolak mentah-mentah ajakan Xabiru. "Kenapa? Padahal kamu mau minta apa aja bakal aku kasih," sahut Xabiru sedikit tidak terima karena ajakannya ditolak begitu saja. "Kamu tanya kenapa? Ada banyak alasan kenapa aku tolak ajakan kamu. Yang pertama, kita nggak saling kenal." Giselle lantas melempar tatapan memindai. Memerhatikan penampilan Xabiru dari ujung rambut hingga kaki, lalu berbicara kembali. lMembayangkan nikah sama cowok modelan kamu, aku ngeri sendiri. Yang kedua, pernikahan itu sesuatu yang amat teramat sakral. Aku nggak mau hal-hal seperti itu malah dijadikan permainan. Dan ketiga, aku nggak mau bohong sama orang tua. Bahaya. Nanti kualat! Alasan ke empat, lima, dan seterusnya, kamu tambahin aja sendiri. Yang pasti aku nggak mau nikah sama kamu." Giselle kemudian bangkit dari duduknya. Tanpa ragu gadis itu bersiap untuk pergi. "Aku rasa pembicaraan kita cukup sampai di sini. Kalau perlu ini jadi pertemuan terakhir kita. Jangan coba-coba lagi muncul di hadapanku apalagi sampai berani ngajak nikah segala macam." Giselle kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan Xabiru yang masih betah duduk termenung sendirian di sana. Memikirkan bagaimana nasib dan hidupnya setelah ini. "Liat aja, Giselle. Besok-besok, aku yang bakal buat kamu mohon-mohon sama aku. Kamu tunggu aja!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD