Jonathan keheranan sendiri melihat Xabiru yang pagi ini nampak seperti orang kepusingan. Dari wajahnya saja, atasannya itu terlihat jelas frustrasi. Entah sebenarnya apa yang sekarang tengah dipikirkan pria itu.
"Mau kopi?" tawar Jonathan sengaja.
Xabiru menggeleng lesu. Membawa tangannya, kemudian memijat lembut keningnya yang terasa nyeri.
"Mikirin apa sih, Pak? Kok kayaknya pusing banget? Apa ada tender yang kelewat? Atau nggak lolos tinjauan?"
Jonathan yang memang dari tadi penasaran, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Siapa tahu saja dirinya bisa membantu memberikan solusi kalau pun Xabiru saat ini tengah terlibat masalah.
"Ini nggak ada hubungannya sama kerjaan."
"Terus Pak Biru mikirin apa? Kayak yang stress gitu?"
Mikirin Giselle, Jo," sahut Xabiru lemah. Tanpa semangat dan tentu saja tidak sedikit pun b*******h.
"Giselle? Memangnya kenapa dengan Giselle, Pak? Dinner semalam yang diatur Pak Leonard Gagal? Atau gimana?"
Xabiru menghela napas panjang. Masih teringat jelas di kepalanya seluruh ucapan dan ocehan Giselle semalam saat di cafe bersama dengannya.
"Dinner nya sih nggak gagal, Jo. Cuma, ngajak dia buat nikah aja yang nggak berhasil sama sekali."
"Pak Biru udah jelasin ke dia soal ajakan buat 'Married with Benefit' aja?"
Xabiru mengangguk lemah.
"Udah, Jo. Udaah. Aku udah jelasin ke dia panjang lebar sampe berbuih. Dari awal, aku jelaskan kalau ngajak nikah pura-pura aja. Dan sebagai kompensasi, dia boleh minta apa aja. Apa pun itu, aku bakal kasih asalkan dia mau diajak untuk kerja sama. Toh, apa susahnya sih jadi istri pura-pura. Kan nanti dia bakal dapat fasilitas mewah juga."
"Terus?"
"Ya dia nggak setuju."
"Mungkin si Giselle setujunya nikah beneran sama bapak, kali," seloroh Jonathan dan langsung disahut decakan oleh Xabiru.
"Ngawur! Pura-pura aja dia kayaknya nggak sudi. Apalagi beneran."
"Itu artinya si Giselle ini bukan cewek matre, Pak."
Ya, mungkin saja ucapan Jonathan ini ada benarnya. Kalau di luar sana banyak perempuan antri untuk jadi pasangan atau teman kencan Xabiru, ini kenapa Giselle lain sendiri. Gadis itu menolaknya mentah-mentah.
"Lagian, menurut kamu, emangnya saya ini kurang apa, sih? Segitu jeleknya, kah?" tanya Xabiru memastikan. Demi Tuhan, perkara penolakan Giselle semalam, ia jadi insecure sendiri dibuatnya.
Jonathan sebenarnya ingin tertawa. Tiga tahun mengabdikan diri dengan Xabiru, mana pernah ia melihat atasannya itu frustrasi apalgi sampai insecure seperti sekarang.
Lagi pula, sepanjang sejarah yang ada, Xabiru memang tidak pernah sekali pun ditolak oleh wanita mana pun. Dan Giselle satu-satunya gadis yang sama sekali tidak tertarik kepadanya.
"Pak Biru nggak ada kurangnya. Almost Perfect malahan," ungkap Jonathan. Ia berkata jujur. Bukan karena ingin menyenangkan hati atasannya yang sedang galau itu.
"Tuh, kan. Saya ini sadar diri, Jo," sahut Xabiru segera. "Di luar sana banyak yang antri mau jadi pacar atau bahkan calon istri saya. Tapi kenapa Giselle malah menolak saya seolah-olah saya ini nggak ada harganya?"
"Sabar, Pak. Perempuan macam Giselle itu memang sedikit langka. Ngedeketin dan ambil hatinya juga harus pelan-pelan. Nggak bisa sat set sat set."
Xabiru menghela napasnya berulang kali. Kepalanya serasa mau pecah. Pusing sekali setelah ini harus mengambil langkah seperti apa.
"Ya terus ini deadline dari papa gimana? Bisa-bisa jabatan saya beneran diambil dalam waktu dekat kalau nggak berhasil ngajak Giselle nikah. Lagian, dalam rangka apa juga terus kesambet setann apa sih bisa-bisanya Papa maksa buat jodohin saya sama perempuan nggak jelas begini."
Jonathan bingung mau menyahut seperti apa. Mana ia tahu alasan kenapa Leonard Massen sampai tiba-tiba menjodohkan putranya dengan gadis antah berantah yang baru dikenal. Mungkin saja ada maksud dan tujuan terselubung yang hanya diketahui oleh Leonard dan asistennya.
"Pak Biru sabar dulu. Saya bantu mikir. Asal bapak tau, ini si Giselle ikutan kompetisi Webtoon yang perusahaan kita adakan. Bisa aja Pak Biru pakai momen ini buat pelan-pelan dekatin dia. Atau, kalau mau cara instan, saya punya sedikit solusi. Tapi, terserah mau diikuti atau tidak."
Xabiru yang tadinya kepusingan, kemudian terperanjat. Wajahnya yang sendu detik itu juga berubah antusias.
"Memang solusi seperti apa yang kamu maksud?"
Jonathan mengulum senyum, kemudian mendekat. Dengan sopan memajukan wajah, lalu berbisik pelan tepat di telinga Xabiru. Yang mana beberapa detik setelahnya membuat pria bermata sipit itu terkesiap. Lalu pelan-pelan berpikir atas penjelasan Jonathan yang salah satu rencananya ia yakini mampu menakhlukkan Giselle nantinya.
***
"Gi, form pendaftaran kompetisi Webtoon tempo hari, udah kamu kirim, kan?"
Giselle yang saat itu tengah sibuk menggambar, langsung mengangguk. Ia paham form apa yang ditanyakan dan dimaksud oleh Chelsea barusan.
Setelah berdiskusi cukup serius. Saling bertukar pikiran sembari memikirkan segala bentuk kemungkinan yang ada, Giselle dan Chelsea memutuskan untuk membentuk tim yang kemudian mendaftarkan diri untuk ikut kompetisi bergengsi yang Alexis dan Digifame adakan dalam waktu dekat.
Entah kenapa, Giselle kali ini begitu percaya diri. Walaupun banyak senior yang juga ikut serta, dirinya merasa bisa bersaing dalam kompetisi tersebut. Dan lagi ajang ini juga sebagai pembuktikan sudah sejauh apa kemampuan menulis serta menggambarnya saat ini.
"Udah, tenang aja. Udah dari kapan hari aku daftar dan kirim karya kita. Tinggal tunggu hasil seleksinya weekend ini."
"Deg-degan nggak, sih?" kata Chelsea kemudian. "Bayangin, saingan kita bakal banyak nantinya. Apalagi senior-senior pada ikut juga. Mana tim jurinya juga nggak main-main."
Giselle mengangguk santai. Masih sembari menyelesaikan kegiatan menggambarnya, ia pun menanggapi ucapan Chelsea barusan.
"Udah tenang aja. Yakin, bakal lolos. Lagian, karya kita udah bagus banget kok. Aku pede banget kali ini."
"Etapi, kalau mau tim kita yakin lolos, bisa aja sih kamu minta bantuan Pak Leonard," saran Chelsea kemudian. Mengingat Giselle sudah menyelamatkan nyawa pemilik Alexis tersebut, siapa tahu saja kalau gadis itu meminta tolong agar timnya diloloskan sebagai bentuk balas budi, Leonard Massen langsung menyetujuinya. Kan lumayan tidak perlu susah-susah bersaing.
"Sembarangan! Aku bukan tipe-tipe orang yang culas gitu, ya. Lagian, malu banget minta tolong sama Pak Leonard perkara diloloskan kompetisi. Macam nggak percaya diri sama kemampuan sendiri aja."
Giselle bersungut-sungut. Tentu saja ia menolak mentah-mentah saran yang Chelsea beri. Memang sudah sepantasnya mereka bersaing secara fair dalam kompetisi ini.
"Ya udah, kalau nggak mau minta tolong Pak Leonard, kamu minta tolong anaknya aja, Gi. Si siapa itu? Yang cakep? Xabiru, kan?"
Giselle langsung menarik wajahnya lalu berdecak. Ini kenapa tiba-tiba malah bahas soal Xabiru.
"Ngapain bawa-bawa cowok nyebelin itu segala?"
"Eh, jangan salah. Kan dia juga jadi juri dalam kompetisi ini. Kalau kamu nggak tau, si Xabiru ini dulu beberapa kali juara dalam kompetisi Webtoon se-Asia Pasific."
"Ya terus?"
"Terus mulu ya bakalan nabrak, Giselle!"
"Dasar nggak jelas," decak Giselle kemudian.
"Kan semalam kamu sendiri yang cerita kalau Xabiru nggak ada angin nggak ada hujan ngajak nikah pura-pura. Dan sebagai imbalannya, kalau boleh minta apa aja. Gih, minta menang di kompetisi ini, pasti langsung dia kabulin."
Giselle menggelengkan kepala tidak habis pikir. Emang udah paling benar, Chelsea itu diam aja nggak usah kebanyakan ngomong apalagi kasih saran. Nggak ada yang benar, soalnya.
Salah Giselle juga semalam cerita soal dirinya yang diantar Xabiru pulang. Lalu pria itu mengajak untuk singgah ke salah satu cafe hanya untuk mengajaknya menikah pura-pura demi mempertahankan sebuah jabatan.
"Dan perkara kompetisi beginian, aku harus pertaruhkan hidupku buat jadi istri pura-pura dia sampai waktu yang nggak bisa ditentukan, begitu maumu?"
Chelsea malah mengangguk tanpa dosa.
"Bukannya itu kesempatan emas?"
"Kesempatan emas YOUR EYES, Chel!"
"Loh, iya kan? Di luar sana siapa yang nggak mau jadi pacar atau pasangan seorang Xabiru Massen, Gisella? Bayangin aja, dia itu udah pegang tiga kartu Good," kata Gadis itu berapi-api. Semangat sekali rupanya memprovokasi Gisella. "Dilihat dari visualnya aja udah good looking. Pokoknya kalau nikah sama Xabiru, terjamin bisa memperbaiki keturunan. Dari kita yang butek ini bisa glowing terus kinclong macam piring yang habis dicuci sama sabun colek merk ekonomi. Kalau tanya soal kekayaan, sudah jelas dia masuk golongan good rekening. Mungkin hartanya nggak habis di makan sampe tujuh turunan, tanjakan, gundukan, dan lain-lainnya. Dan terakhir, good track record. Selama ini mana pernah Xabiru terlibat skandal atau pemberitaan miring. Pokoknya, dia bersih tanpa noda."
Chelsea bukan main antusias menjelaskan segala kelebihan yang Xabiru punya. Entah sudah sejak kapan gadis itu mengamati, hingga tahu segala macam t***k bengek mengenai Xabiru.
"Kalau emang dia sesempurna itu, kenapa nggak kamu aja yang nikah dan jadi istri pura-pura dia, Chel?"
"Seandainya aku yang memang beruntung terpilih, demi Tuhan, aku nggak bakal sia-siakan kesempatan itu, Gisella Maria Vennya. Sayangnya, yang dipilih malah kamu, kan? Eh, bukannya diterima, malah jual mahal."
"Aku nggak jual mahal, Chel. Jelek-jelek gini, aku juga punya standarisasi. Dan dia emang nggak levelan sama selera aku."
"Nggak usah takabur. Nanti Tuhan marah. Jangan sampai besok-besok kamu banting harga terus mohon-mohon jadi pasangan dia."
Giselle merotasi bola matanya malas. Lelah memang berdiskusi dengan sahabatnya itu yang jarang sekali menemukan titik temu. Malahan seringnya berujung dengan tidak jelas.
"Udah, ah. Stop. Jangan bahas Xabiru lagi. Buat mood aku hancur aja."
Giselle lantas kembali melanjut kegiatan menggambarnya. Baru lima menit berjalan, ponselnya terdengar berdering. Di lihat dari nama yang muncul berasal dari panti asuhan, Giselle pun buru-buru mengangkatnya.
"Halo, Bu Dian, ada apa?"
"Giselle. Bisa temui ibu saat ini juga? Ibu butuh bantuan kamu."
Giselle yang tadinya tenang berubah cemas. Bukannya apa, tumben sekali Ibu pengasuh panti asuhan tempat ia selama ini berderma tiba-tiba menghubungi seolah ada hal darurat yang tengah terjadi.
Maka tanpa berpikir panjang, Giselle detik itu juga mematikan tabletnya. Bergegas bangkit untuk segera pergi menuju panti asuhan.