3. Mencari Tahu

1682 Words
Entah sudah berapa kali Xabiru menarik napas begitu panjang. Tangan kanan pria itu terus saja memijat halus keningnya yang berdenyut nyeri. Dari semalam, ia sampai susah tidur. Kepikiran sekali dengan tugas yang ayahnya berikan. Entah kerasukan setann mana tiba-tiba seorang Leonard Massen menjodohkan Xabiru dengan wanita yang sama sekali tidak ia kenal. Jangankan itu, bertemu saja mereka baru sekali. Dan itu pun keduanya langsung terlibat pertengkaran sengit. Bagaimana caranya malah mau dijadikan pasangan suami istri. Sungguh, Biru benar-benar tidak habis pikir. Belum lagi waktu yang ayahnya beri hanya satu minggu untuk menakhlukkan hati wanita kuat tersebut. "Pak Biru, ini berkas yang bapak minta." Di seberang pria itu nampak Jonathan yang merupakan asisten pribadi Xabiru sedang berdiri sembari membawa sesuatu di tangannya. Dari semalam, ia memang diperintahkan untuk mencari tahu sedikit latar belakang wanita yang akan dijodohkan dengan atasannya tersebut. "Hanya ini yang bisa saya dapatkan semalam. Selebihnya akan saya laporkan segera." Biru yang sempat melamun akhirnya tersadar. Mendongak, pria berdarah Tionghoa itu gegas memberi perintah kepada asistennya. "Jo, kamu bacakan aja langsung kesimpulan dari penyidikan yang sudah kamu dapat semalam. Jujur, saya lagi malas ngapa-ngapain sekarang." Jonathan mengangguk. Detik itu juga menjalankan tugas yang Biru perintahkan kepadanya. Mulai membaca satu per satu poin penting dari hasil penelusurannya semalam. "Wanita ini bernama Giselle Maria Vennya. Umurnya baru menginjak usia 25 tahun. Saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Ilmu Komunikasi di salah satu Universitas Swasta. Bekerja sebagai freelancer di salah satu perusahaan digital dan juga menekuni profesi sebagai penulis naskah, skenario, serta penulis novel. Belum ada track record jelek sama sekali yang saya temukan." Sambil memasang sikap santai, Xabiru mengangguk-anggukkan kepala. Mendengarkan dengan seksama setiap informasi yang baru saja asistennya sampaikan. Berusaha mengingat serta menyimpan ke dalam memori ingatannya apa yang Jonathan sampaikan barusan. Semua ini penting. Paling tidak, untuk membaca kondisi serta menentukan langkah apa yang perlu Xabiru ambil setelah ini. "Giselle ini juga aktivis sosial. Sering membuat campaign terkait isu-isu sosial. Yang paling menarik dia merupakan altlet taekwondo sabuk hitam dan juga atlet panahan yang kemampuannya di atas rata-rata." Xabiru langsung berdecak. Ekspresi wajahnya seketika itu juga meringis. Mendengar ucapan Jonathan, ia langsung teringat kejadian kemarin di gedung Alexis. "Oh, dia atlet taekwondo? Pantas aja kemarin kuat banget tarik badan saya. Bahkan, kalau kamu nggak cepat-cepat lerai, mungkin tulang leher saya sudah patah karena dia hajar." Jonathan refleks tertawa. Ia juga tidak melewatkan sedikit pun momen tersebut. Bagaimana Xabiru yang jelas-jelas punya postur tubuh lebih besar dari Giselle, bisa kalah telak, bahkan tidak berkutik ketika diajak adu jotos kemarin. "Kalau nikah sama dia, fix saya bakal jadi Xapingky beneran, Jo," lanjut Xabiru. "Bayangin aja, tetiba buat salah dikit, dia langsung berubah jadi 'XENA' terus keluarin jurusnya buat hajar saya sampai babak belur jadi perkedel." Jonathan semakin tertawa. Ditambah melihat ekspresi yang Xabiru tunjukkan semakin membuat dirinya geleng-geleng kepala. Tapi, kalau diperhatikan bosnya itu memang tampak serius khawatir. "Ya kalau dia jadi Xena, bapak berubah aja jadi Hercules. Biar imbang gitu," seloroh Jonathan sambil tertawa. "Ngaco, kamu! Ya sudah, lanjut, Jo. Bacain lagi apa aja yang kamu dapat," perintah Xabiru kemudian. "Giselle ini penyuka warna pastel. Pecinta kuliner khas Indonesia. Gampang bergaul. Memiliki public speaking yang bagus ----" "Bentar-bentar," potong Xabiru. "Bisa nggak informasinya yang lebih pentingan dikit. Misal, rumahnya di mana. Orang tuanya siapa. Sodaranya ada berapa, sekarang dekatnya sama siapa, nomor handphone nya berapa." "Kalau informasi yang sifatnya personal, saya belum dapat sepenuhnya, Pak. Semalam, baru dapat gambaran secara umum aja." Xabiru mendesah. Berpikir, bagaimana caranya mendekati atau mungkin menarik perhatian Giselle kalau ia tidak tahu dengan jelas informasi penting wanita itu. "Terus, kalau saya mau ketemu dia, gimana? Masa iya di samperin ke kampus atau kantornya? Nomor handphone aja kamu belum dapat, kan?" Perkataan Xabiru ada benarnya. Kalau pun ingin melakukan pertemuan, sangat tidak elok dilakukan di kampus ada kantor. Seolah tidak ada tempat lain untuk membicarakan hal serius yang sifatnya sangat privasi. "Sebenarnya, Pak, kalau mau gampang bapak tanya ke Pak Robin aja. Saya yakin, Pak Leonard pasti sudah suruh asistennya untuk selidiki wanita yang mau dijodohkan dengan Pak Biru." Xabiru termenung. Menimbang sejenak apa perlu mengikuti saran yang baru saja Jonathan sampaikan. Tapi, kalau dipikir dengan cermat, hanya itu cara cepat untuknya mendapatkan informasi. Mengingat waktu yang diberikan oleh sang ayah tidak lagi banyak. "Bentar. Saya coba telpon aja Pak Robin dulu. Semoga beliau mau sharing data yang saya perlukan." Xabiru lantas meraih ponselnya. Mencari kontak bertuliskan Robin Mulya di sana. Lalu gegas mengubungi. Dan beruntung panggilan tersebut langsung direspons saat itu juga. "Selamat Siang, Pak Robin." "Selamat Siang, Pak Biru. Ada yang bisa saya bantu?" "Begini, Pak. Seperti yang Pak Robin tau, Papa ada ancang-ancang buat jodohin saya sama perempuan yang menemui beliau kemarin di ruangannya. Jadi, saya dikasih tugas dalam kurun waktu satu minggu harus berhasil ajak perempuan itu untuk menikah. Di sini, saya sangat butuh bantuan Pak Robin." "Bantuan seperti apa yang Pak Biru maksud?" tanya pria di seberang sana. "Sebelumnya, saya mau bertanya, apa Pak Robin sempat menyelidiki latar belakang perempuan tersebut? Karena saya yakin, Papa nggak mungkin sembarang menjodohkan anaknya dengan seorang perempuan tanpa tahu terlebih dahulu bibit, bebet, bobotnya seperti apa." "Ya, sebelumnya saya memang sudah menyelidiki lebih jauh siapa sosok wanita tersebut." "Nah! Kalau begitu, bolehkah Pak Robin membagi hasil penyelidikan tersebut kepada saya? Karena jujur, waktu saya sangat mepet kalau harus melakukan penyelidikan sendiri." "Maksudnya, Pak Biru minta saya untuk bagi dokumen hasil penyelidikan?" "Tepat sekali!" "Tapi, Pak ----" "Ayolah, Pak Robin. Tolong saya," pinta Xabiru memelas. Mana pernah ia memohon seperti ini kepada orang lain. "Saya nggak punya banyak waktu lagi. Saya benar-benar minta tolong. Kalau menurut Pak Robin berat membagi semua data kepsda saya, cukup informasikan alamat serta nomor handphone wanita itu agar saya bisa menemui atau menghubunginya secara langsung." Kali ini giliran Robin yang menimbang. Ia jadi tidak enak sendiri melihat anak bosnya malah memohon-mohon, meminta tolong kepada dirinya. Tapi, membocorkan data rahasia yang sudah ia dapat juga bukan tindakan yang tepat. Robin dilema, sekarang. "Pak Robin," panggil Xabiru sekali lagi. "Saya mohon. Tolong bantu saya. Cukup alamat dan nomor handphone-nya saja." Hening beberapa saat. Sedang Xabiru menunggu dengan sangat. Sampai akhirnya terdengar suara dehaman di ssberang sana diikuti suara berat dari Robin yang kembali berbicara. "Baiklah, Pak Biru. Saya hanya bisa bantu memberitahu alamat lengkap dan nomor hanphone. Untuk informasi lainnya, Pak Biru bisa coba cari sendiri." "Ah, demi Tuhan. Terima kasih, Pak Robin. Saya hargai bantuan bapak. Kalau begitu, saya tunggu segera informasinya." Yes! Xabiru bersorak senang. Hampir putus asa, akhirnya negosiasi yang ia lakukan dengan asisten sang ayah membuahkan hasil. Lima menit berselang, alamat serta nomor handphone yang pria itu minta langsung Robin kirim via pesan singkat. Sekarang, Xabiru kembali berpikir. Cara bagaimana yang harus ia ambil untuk mendekati wanita kuat yang dijodohkan dengannya tersebut. *** Giselle tampak sibuk sekali menulis sisa bab dari jalan cerita novel yang tengah ia garap beberapa waktu belakangan ini. Sebentar-sebentar terlihat wanita itu mengetik sesuatu di laptopnya. Sebentar-sebentar berhenti. Mengernyitkan kening beberapa saat. Mungkin tengah merangkai ide yang menari-nari di kepalanya agar dapat dituangkan menjadi jalan cerita yang menarik untuk dibaca. "Gi, kamu nggak pengen ikutan kompetisi ini?" Chelsea, sahabat sekaligus teman satu kos Giselle datang menghampiri wanita itu yang kini tengah berada di kamar. Membawa satu flyer berwarna biru di tangannya. Kemudian menunjukkan kertas tersebut kepada Giselle yang tengah sibuk menulis. "Kompetisi apaan?" tanya Giselle tanpa menoleh. Matanya masih terfokus pada layar laptop yang ada di depannya. "Kompetisi menulis cerita dan menggambar animasi untuk terbit di webtoon. Hadiahnya lumayan, loh. 10.000 dollar untuk pemenang pertama," ungkap wanita itu dengan menggebu-gebu dan penuh penekanan saat menyebut total hadiah yang akan di dapat. "10.000 dollar?" ulang Giselle. "Dollar Amerika atau Singapura?" "Dollar Amerika, cuy. Jelas-jelas di fyler ini tulisannya USD. Itu berarti kalau di konversikan ke rupiah, sekitar 140 sampai 150 jutaan. Semisal, nilai tukar dollar saat ini masih stabil di angka 14.000 sampai 14.500 rupiah." "Gede juga hadiahnya. Yang adain siapa?" "Alexis kolaborasi dengan DigiFame." "Ada keuntungan lain juga," tambah Chelsea kemudian. "Yang menang bisa jadi karyawan tetap di Alexis. Ini sih idaman banget. Bukannya masuk ke Alexis seleksinya super duper ketat dan jarang ada yang bisa lolos. Lagian, itu perusahaan punya idola kamu, kan? Pak Leonard Massen." Giselle menoleh kemudian menggangguk. Yang tadinya biasa saja, kini tampak memasang wajah mulai tertarik. "Periode kompetisinya kapan?" tanyanya ingin tahu. Chelsea diam saja. Alih-alih menjawab, wanita itu malah menunjuk tulisan merah yang berada pada baris paling bawah flyer yang sebelumnya ia berikan. "Ah, waktunya lumayan lama sebulan. Kayaknya, aku bisa ngejar buat ikutan," kata Giselle kemudian. "Ya udah, buruan daftar. Biar bisa masuk seleksi dan penjaringan. Tema kompetisinya juga udah jelas tertulis di sana. Dan aku yakin, tema ini udah paling gampang banget buat kamu." Asyik bercerita, kamar Giselle terdengar diketuk. Karena posisi Chelsea begitu dekat, ia dengan sigap langsung membuka dan mendapati teman kos mereka yang lain tampak berdiri di sana. "Bella, ada apa?" tanyanya penasaran. "Di bawah ada tamu. Katanya cari Giselle." Giselle langsung menelengkan kepalanya, melempar tatapan bingung lalu berdiri menghampiri. "Tamu? Cowok atau cewek, Bell?" tanyanya to the point. Tapi jadi penasaran juga siapa yang menemuinya sore-sore begini. Tumben saja tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. "Cowok, Gi," sahut Bella. "Pakaiannya rapi mirip bos-bos gitu. Naik mobil mahal juga." "Hah?" Gisella dan Chelsea sama-sama terperanjat. Saling tatap dan melemparkan ekspresi penuh tanya. "Buruan cek, Gi. Siapa tau emang tamu penting," perintah Chelsea. Giselle lantas melepas, kemudian menaruh terlebih dahulu kacamata yang sebelumnya bertengger di hidung mancungnya. Melangkah cepat, untuk segera pergi menuju ruang tamu. Sementara Chelsea dan Bella turut mengekor dari kejauhan. Mereka ikut penasaran siapa sosok yang saat ini bertamu dan ingin sekali menemui Giselle. Tumben saja. Karena dari semua penghuni, Giselle memang jarang menerima tamu seorang pria. Begitu sampai di lantai satu, dari kejauhan Giselle memang melihat sosok pria mengenakan jas berwarna navy tampak duduk membelakanginya. Penasaran, ia semakin melajukan langkah. Begitu sampai, tanpa banyak basa-basi lagi, Giselle langsung melayangkan sapaan. "Permisi, Anda yang cari saya?" Detik itu juga si pria langsung menoleh ke arah suara. Saat keduanya saling bersitatap, mata Giselle langsung membola. Ia kenal benar siapa pria yang kini berada di hadapannya. "Xapingky!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD