2. Meet the Enemy

1827 Words
Suara derap langkah bersaut-saut terdengar mengentak lantai ubin yang mengkilap itu. Dengan perasaan sedikit gugup, Giselle membawa kakinya untuk segera melangkah menuju lift yang ada di sudut koridor lantai lima gedung pencakar langit yang terletak di kawasan Sudirman Central Business Distric (SCBD). Sebelumnya, Giselle memang telah dihubungi kembali oleh Robin Mulya. Beliau menyampaikan pesan kalau Leonard Massen mengundangnya untuk bertemu hari ini selepas jam makan siang di gedung Alexis. Namun, belum lagi sempat wanita cantik itu memasuki lift, seorang pria dari arah lain tampak kurang fokus hingga tabrakan pun akhirnya tidak dapat mereka berdua hindari. Bahkan, lembaran kertas yang sedari tadi Giselle bawa langsung terhambur begitu saja di lantai. "Arghh!" Giselle meringis. Namun, alih-alih membantu, pria bersetelan jas tersebut hanya melirik sekilas. Detik berikutnya melanjutkan langkah, bahkan tidak perduli ketika sepatu pantofel yang ia pakai jelas-jelas menginjak beberapa kertas milik Giselle yang berserakan di lantai. "Hei!" Kali ini Giselle berteriak. Maksud hati ingin menghadang pria itu agar menghentikan langkahnya. "Kamu punya mata, kan?" Yang ditegur dengan sedikit malas kembali menoleh. Dari raut wajahnya, terlihat jelas kalau ia seolah enggan menanggapi. "Kamu ngomong sama aku?" tanyanya santai. "Sama hantu!" Pria itu langsung berdecak pelan. "Kamu salah orang. Asal tau aja namaku Xabiru bukan hantu." "Bodo amat mau nama kamu Xabiru, Xapinky atau siapa pun itu, aku nggak perduli. Kamu pikir ada siapa lagi selain kita berdua di sini? Lagian, bukannya minta maaf karena udah nabrak, malah seenaknya pergi gitu aja," ketus Giselle tidak suka. Sementara Xabiru hanya menanggapi dengan tawa sinis. Tidak sedikit pun perduli dengan omelan yang jelas-jelas Giselle layangkan untuk dirinya. "Aku nggak punya waktu buat layanin orang yang nggak aku kenal." Berbalik badan, Xabiru malah memilih pergi begitu saja. Tapi, baru beberapa langkah maju, Giselle yang terlanjur gemas dan kesal berinisiatif untuk mengejar. Dengan sengaja menarik lengan pria tersebut agar kembali berhenti. "Kamu maunya apa, sih?" Keluh Xabiru dengan kesal. "Minta maaf, nggak! Kamu udah nabrak dan kotorin kertas-kertas penting yang aku bawa." Bukannya menuruti perintah Giselle, Xabiru kali ini malah tersenyum mengejek. "Minta maaf? Jangan mimpi! Siapa kamu sampai-sampai maksa aku buat minta maaf." Giselle tersenyum masam. Lalu tanpa diduga mendorong tubuh Xabiru hingga tersandar ke salah satu sudut dinding dengan keras. "Jangan kamu pikir aku perempuan terus aku nggak bisa hajar kamu!" Giselle melipat sikunya tepat di depan dadaa Xabiru. Percuma dari kecil ia menguasai berbagai macam jurus taekwondo kalau sekarang kemampuan itu tidak bisa diterapkan. Apalagi menghadapi pria menyebalkan macam Xabiru. "Kalau aku mau, sekarang pun aku bisa patahin leher kamu." Dari arah lain, tiba-tiba muncul pria berkaca mata yang langsung memisahkan keduanya. Berusaha sekali untuk melerai pertengkaran tersebut agar tidak semakin membesar. "Nona, apa pun masalah kalian berdua, saya yakin ini pasti hanya salah paham. Lebih baik kalian berdua saling memaafkan saja." Giselle yang masih terbakar emosi tentu saja langsung menatap kesal. Enak saja pikirnya langsung memaafkan setelah harga dirinya diinjak-injak. "Salah paham, katamu?" serunya tidak terima. "Tolong ajari temanmu untuk bersikap sopan. Hari ini mungkin dia selamat. Tapi kalau suatu hari nanti kita berdua bertemu dan sikapnya masih sama, jangan salahkan aku kalau beneran patahin lehernya!" Masih diliputi perasaan kesal, Giselle merampas tumpukan kertas yang sebelumnya dikumpulkan oleh pria berkaca mata itu. Yang ia lakukan berikutnya adalah pergi. Giselle pikir, berlama-lama di hadapan keduanya bisa memicu kembali emosinya. *** "Silakan masuk, Nona Giselle." Robin Mulya dengan sopan menuntun Giselle untuk segera masuk ke ruang pimpinan utama. Sebelumnya, ia memang sudah mendapat tugas dari Leonard untuk mengundang wanita berponi tersebut untuk menemui atasannya di gedung Alexis. Leonard juga meminta Robin menyelidiki latar belakang sosok yang telah membantu menyelamatkan nyawanya beberapa waktu yang lalu. "Ini hasil penyelidikan saya, Pak. Semuanya saya lampirkan jadi satu." Leonard yang saat itu tengah duduk di ruang baca langsung menerima sodoran berkas yang Robin berikan. Membacanya satu per satu dengan teliti. Menelisik informasi apa yang bisa ia dapatkan dari lembaran kertas tersebut. "Dari laporan ini ... " kata Robin. "Bisa saya simpulkan kalau Giselle Maria Vennya adalah seorang Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi di salah satu kampus ternama. Ia bahkan masuk dalam jajaran mahasiswi berprestasi. Terbukti Giselle bisa mendapatkan beasiswa full untuk menyelesaikan program study-nya dari strata satu bahkan mendapatkan tawaran melanjutkan program doktoral jika program magister kali ini terselesaikan tepat waktu. Selain itu, wanita ini juga berprofesi sebagai penulis novel. Beberapa karya tulisnya bahkan beberapa kali diadaptasi dalam bentuk film. Giselle juga aktif mengikuti kegiatan amal. Sudah lima tahun terakhir menjadi donatur salah satu panti asuhan Permata Hati." Leonard mengangguk anggukan kepala ketika mendengarkan Robin menyampaikan kesimpulkan dari apa yang ia laporkan. Sementara itu, Leonard terus saja membawa matanya untuk berpindah pada lembaran berikutnya. "Jadi, Giselle ini anak bungsu?" tanya Leonard. "Benar, Pak," jawab Robin seraya mengangguk. "Giselle anak kedua dari pasangan suami istri Benjamin Joshua Tjan dan Valeria Vennya. Selama ini, Giselle tinggal di sebuah kos-kosan murah yang letaknya tidak jauh dari kampus tempatnya menuntut ilmu." Leonard mendongak. Pria itu untuk sesaat membenarkan posisi kaca mata yang ia kenakan. "Benjamin Joshua Tjan?" Sekali lagi Robin mengangguk penuh yakin. "Informasi yang saya dapatkan sangat valid, Pak. Apa jangan-jangan bapak mengenal orang tua Giselle?" Leonard hanya tersenyum tipis. Bukannya menjawab, pria paruh baya itu malah mengajukan pertanyaan lain. "Bagaimana dengan pasangan? Apa saat ini wanita muda itu sudah memiliki pasangan? Pacar atau suami?" "Untuk yang satu itu, dari sumber yang saya dapat, Giselle sudah dua tahun terakhir tidak menjalin hubungan dengan pria mana pun. Bisa dikatakan ia sedang 'jomlo' sekarang." Atas segala informasi yang ia dapat, Leonard semakin tidak sabar untuk bertemu secara langsung dengan Giselle. Entah kenapa, ia malah berpikiran untuk menjodohkan wanita ini dengan sang anak. Feeling-nya mengatakan Giselle mampu merubah sikap Xabiru yang selama ini begitu dingin dan tidak tersentuh. "Permisi, Pak. Ini Nona Giselle yang tempo hari saya ceritakan pada Bapak." Leonard tersadar dari lamunannya. Pria paruh baya itu langsung bangkit lalu melangkah kecil menuju sofa tamu yang ada di sisi kanan ruangan. "Silakan duduk. Jangan sungkan," katanya dengan ramah. Giselle mengangguk. Lalu menuruti perintah untuk segera duduk. "Terima kasih banyak atas undangannya, Pak. Jujur saya sangat tersanjung." "Harusnya saya yang mengucapkan terima kasih. Secara nggak langsung, Nona Giselle sudah menyelamatkan nyawa saya saat anfal di seminar kemarin." "Saya hanya melakukan apa yang saya bisa, Pak. Kebetulan aja saya paham soal pertolongan pertama pada pasien yang terkena serangan jantung." Leonard terus mengulas senyum. Kesan pertama yang ia tangkap, Giselle adalah wanita muda yang sopan dan sangat ramah. "Saya dengar Nona Giselle seorang penulis yang handal. Bahkan karya tulisnya sudah diadaptasi ke beberapa film. Kenapa tidak coba untuk melamar di Alexis? Perusahaan kami sangat terbuka untuk creator-creator muda berbakat seperti Nona Giselle. Siapa tahu karya tulis berikutnya bisa diadaptasi dan masuk dalam jejeran film yang menembus pasar luar negeri." Giselle mengangguk malu. Sebenarnya tersanjung juga karena seorang Leonard bisa tahu menahu soal karyanya yang tidak seberapa. "Saya belum berani bermimpi yang terlalu tinggi. Alexis itu perusahaan bonafit, Pak. Semua orang tau nggak mudah bergabung di sana. Apalagi saya masih sangat amatir. Sepertinya belum pantas untuk—" "Kata Jonathan, Papa cari Biru?" Kata-kata Giselle menggantung begitu saja ketika dari arah pintu masuk sosok pria lain tanpa permisi dan langsung menyela pembicaraan antara dirinya dan Leonard Massen. Bahkan, ketika tatapan keduanya saling bertemu, ekspresi penuh keterkejutan tidak mampu lagi di hindari. "Kamu!" Keduanya tanpa tanpa sadar mengucap kata-kata yang sama secara bersamaan. Hal ini bahkan menarik perhatian Leonard dan Robin yang sedari tadi diam memperhatikan. "Kenapa perempuan ini ada di ruangan Papa?" tanya Xabiru kesal. "Karena dia tamu, Papa," jawab Leonard dengan santai. Tentu saja ia tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi antara Xabiru dan Giselle sebelumnya. "Kalau Papa mau melakukan kerja sama atau apa pun dengan perempuan ini, saran Biru, lebih baik dibatalkan aja. Dia nggak pantas berada di Alexis." Mata Giselle mengerjap pelan. Fokusnya terarah lurus pada netra sehitam jelaga milik Xabiru. Seolah berusaha menyelami makna dari ucapan sarkas pria tersebut. "Nggak pantas kamu bilang? Maksud kamu apa?" Xabiru tersenyum sinis. Matanya menatap Giselle dengan tatapan memindai dari ujung rambut hingga kaki. Dari raut wajahnya terlihat jelas ada kesan begitu meremehkan. "Perempuan nggak tau sopan santun macam kamu memang nggak pantas menginjakkan kaki di sini." "Biru!" Giliran Leonard yang berseru tidak suka. "Pa, Biru serius." Pandangan Xabiru beralih kepada sang ayah, lalu mengarahkan telunjuknya tepat ke wajah Giselle. "Perempuan ini, tadi bahkan secara terang-terangan mau menghajar Biru." "Pasti ada alasan sampai Nona Giselle memperlakukan kamu seperti itu. Mana mungkin ada orang yang tiba-tiba marah tanpa alasan yang jelas." "Tapi, Pa—" "Pak Leonard," potong Giselle. "Saya rasa cukup pertemuan hari ini. Ucapan terima kasih Bapak sudah saya terima. Karena tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya izin untuk pamit pergi. Mohon maaf jika perbuatan saya ada yang tidak berkenan di sini." Xabiru yang bisa melihat bagaimana kesalnya Giselle meninggalkan ruangan sang ayah, memilih tidak perduli. Salah sendiri, pikirnya. Kenapa juga sebelumnya sudah berani mempermalukan bahkan berusaha menghajarnya. "Kamu keterlaluan, Biru!" ketus Leonard. Pria paruh baya itu berulang kali menghela napas panjang agar tidak ikut tersulut emosi melihat sikap putranya. "Udahlah, Pa. Nggak usah dipikirin. Toh dia sudah pergi. Lagi pula, kenapa Papa panggil Biru kemari?" Leonard meminta Xabiru untuk segera duduk. Memang ada hal penting yang ia ingin sampaikan pada putra semata wayangnya itu. "Papa sudah ketemu calon istri yang pas untuk mendampingimu." Xabiru mengangguk pelan. Mau bagaimana pun, hari ini pasti akan tiba juga. Alih-alih menghindar, lebih baik ia terima saja keputusan Ayahnya itu. "Jadi, perempuan dari keluarga mana yang bakal Papa jodohin sama Biru?" Leonard menegakkan posisi duduknya. Meraih sebuah foto dari saku jas yang ia kenakan lalu menyerahkannya pada Xabiru. "Itu perempuan yang Papa pilhkan untukmu." Xabiru tanpa ragu menerima sodoran foto yang Leonard berikan. Detik kemudian, mata pria itu sukses membola. Bukannya senang, malah keterkejutan yang ia dapatkan. "Papa nggak salah pilih, kan?" tanyanya memastikan. "Nggak ... " Leonard berucap dengan yakin. "Pilihan Papa sudah bulat." "Tapi ini kan perempuan barusan yang Biru usir. Gimana caranya dia bisa jadi calon istri Biru, Pa?" "Karena menurut Papa dia yang pantas untukmu." "Pantas apanya? Dari penampilan aja, dia keliatan nggak setara sama kita." "Kamu pikir Papa perduli?" Xabiru mendesah frustrasi. Sudah bisa dipastikan ia tidak bisa menolak perintah sang ayah. Lagi pula, mana ada sejarahnya Leonard menerima negosiasi kalau sudah mengeluarkan titah. "Papa boleh jodohkan Biru sama perempuan mana pun, tapi tolong, Pa. Jangan sama perempuan tadi. Bisa habis Biru yang di KDRT sama dia. Lagian, setelah kejadian barusan, belum tentu juga dia mau terima Biru jadi calon suaminya." Leonard tak kuasa menahan tawa. Jadi ini alasan sang anak sampai bersusah payah mengajukan penolakan. "Keputusan Papa sudah bulat. Gimana pun caranya, kamu harus bisa jadikan dia calon istrimu. Perkara dia tolak atau gimana-gimananya, itu urusan kamu." "Astaga. Ini Papa serius jodohin Biru sama perempuan barusan?" Sekali lagi Leonard mengangguk. "Papa kasih waktu kamu seminggu. Kalau kamu gagal, siap-siap jabatan yang kamu pegang sekarang bakal Papa ambil juga." Xabiru mendesah pasrah. Dengan berat hati ia menuruti perintah sang ayah. Sekarang, tinggal bagaimana cara dirinya meminta Giselle agar mau menjadi calon istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD