bab 8
Satu hari setelah penikahannya sudah berjalan dengan sangat sempurna. Meski tidak sesempurna kisah cintanya. Setelah pernikahan itu, Bagas pergi meninggalkan dirinya. Bahkan, sampai sekarang dia masih belum juga pulang. Dia juga tidak mengirimkan kabar padanya.
Saat Ini Fina yang baru saja bangun dari tidurnya. Dia mencoba membuka matanya, melihat sekelilingnya. Antara takut dan kesal saat suaminya sama sekali tidak berada disisinya. Meski dalam hati dia berharap suaminya pulang. Dia mencoba untuk menjadi istri yang baik untuknya. Fina beranjak duduk, dia mengusap wajahnya berkali-kali. Tanpa memperdulikan rambutnya yang sedikit berantakan. Fina bangkit dari ranjangnya, berjalan perlahan membuka tirai yang menutup dinding kaca kamarnya. Sinar matahari menembus langsung kaca tepat mengenai sekujur tubuhnya.
“Sudah siang?” ucap Fina. Senyum tipis terukir indah di wajahnya. Fina menyambut matahari pagi. Fina membalikkan badanya, duduk di atas king size miliknya.
Fina yang merasa bingung harus melakukan apa saat dia berada di rumah mertuanya. Semua hanya diam padanya, seolah dirinya tidak ada. Dan, hanya ada satu pelayan yang baik padanya. Dia memberikan makan dan merawatnya. Fina kini hanya bisa berdiam diri di dalam kamarnya. Tanpa berani keluar sama sekali, ke dua orang tua Bagas sama sekali tidak peduli dengannya. Melihatnya saja mereka seolah tidak sudi. Hanya seorang pelayan yang mengantarkan makanan dan minuman ke dalam kamarnya. Dia sebenarnya ingin sekali keluar dari rumah itu.
Tetapi, keadaan tidak mendukungnya. Seolah sekarang dia berada di sebuah kandang singa, yang kapan saja siap mengintai, atau memangsanya hidup-hidup. Dia, juga malu dengan keluarga Bagas yang acuh tak acuh padanya. Meski keluarganya tidak terlalu peduli dengannya. Mereka sepertinya hanya peduli dengan dunianya sendiri. Bapak mertua yang tidak pernah di rumah. Dan, ibu mertuanya selalu pergi pagi-pagi hanya untuk bersenang-senang. Atau entahlah kemana. Dia juga tidak peduli dengan kehidupan mereka.
***
Tok.. Tok.. Tok…
“Non, saya Bi Ratna,” suara dari luar kamarnya mengejutkan Fina.
“Iya.. Bi.”
“Saya hanya ingin mengantar sarapan untuk non.”
“Masuklah, bi.”
Pandangan mata Fina terlatih saat terdengar suara pintu mulai terbuka.
“Non, anda belum makan dari tadi.” Ucap Bi Ratna wanita paruh baya yang sekarang peduli dengannya. Dia meletakan beberapa makanan di atas meja kamarnya. Dan, duduk di bawah sembari menunggu dirinya untuk memakannya.
Fina sedari tadi hanya duduk diam di ranjangnya. Melamun menatap ke dinding kaca tepat di depannya.
“Taruh saja disitu, nanti aku akan memakannya, bi.” Ucap Fina lirih. Seolah dia tidak ada daya untuk mengeluarkan suaranya.
“Baiklah, tapi Non Fina jangan lupa makan.” Ucap Bi Ratna, dia beranjak berdiri.
“Iya…”
“Bibi pergi dulu. Nanti jika ada hal yang diinginkan lagi. Bisa panggil bi Ratna.”
Fina menatap ke arah Bi Ratna. Dia mengeluarkan senyum tipisnya. “Iya, bi… Nanti aku akan mencari bibi.” Ucap Fina ramah. Setelah melihat Bi ratna keluar dari kamarnya, Fina masih duduk di king size miliknya. Dia teringat tentang keluarganya, apalagi tentang apa yang ayahnya ucapkan kemarin. Hatinya masih merasa sakit, dia menyesal telah membuat orang tuanya malu.
“Apa yang ayahku lakukan sekarang? Apa dia mengingatku, atau sama sekali tidak peduli denganku lagi.” Fina tidak hentinya mengingat kejadian saat di pesta pernikahannya.
“Entahlah, aku harap ibu bisa meredakan amarah ayah.” Ucap Fina mencoba untuk tersenyum kembali. “Sekarang, aku juga sangat merindukan sahabatku.” lanjutnya
Fina yang masih ingat jika dirinya membawa ponselnya yang sekarang berada di dalam tas miliknya. Dia segera mengambil tas di atas meja miliknya, mencari ponselnya. Setelah mendapatkan ponselnya. Fina segera membuka ponselnya. Melihat beberapa pesan dari temannya. Bahkan group yang mereka buat di akun chatnya terlihat sangat ramai. Meski hanya beranggotakan 5 orang dengan dirinya.
Fina mencoba untuk tetap tersenyum saat melihat sebuah chat dari Kino. Dengan segera Fina membalasnya sebelum suaminya datang dan marah saat melihat dia terus bermain ponsel. Lagian, Fina juga tahu sifat aslinya. Yang dia tahu dia laki-laki dingin arogan, dan juga sangat kasar.
Chat :
“ Fina, apa yang kamu lakukan sekarang?” Tanya Kini.
“Aku masih di rumah. Suamiku dari kemarin tidak pulang. Gimana keadaan kalian.”
“Kami semua baik-baik saja, nanti aku berencana untuk bertemu yang lainya.”
“Apa kamu mau ikut?” Tanya Kino.
“Tidak, aku tidak mungkin pergi. Kamu tahu sendiri. Aku disini tidak bisa keluar kemanapun.” Balas Fina.
“Buka chat group sekarang.”
Dengan segera Fina membuka chat group miliknya yang sudah beberapa pesan belum dibaca. Sementara Kino dia sudah menyambutnya untuk gabung.
“Fina…” sapa Kino.
“Apa Fina on sekarang?” Tanya Vivi.
“Iya, kita tunggu saja dia bicara.”
“Fina… Ayo, kita kumpul lagi. Aku kangen.” Saut Gio.
“Iya, kita semua merasa sepi dari kemarin tidak ada kamu dalam group.” Timpal Virgo.
“Iya, tapi. Maaf. Aku tidak bisa lagi kumpul dengan kalian.” Jawab Fina.
“Kenapa?” Tanya Vivi.
“Apa suami kamu marah?” saut Gio.
“Atau mertua kamu juga galak?” timpal Vivi.
“Kalau ada apa-apa, bilang sama kita.” Saut Kino tak mau kalah.
“Iya, kita siap membantu kamu. Atau kamu ingin pergi diam-diam dari rumah kamu. Kami siap jemput. Tinggal bilang dimana alamat rumah kamu. Dan, kita langsung meluncur ke sana.” Balas VIvi.
“Tidak usah, lagian aku juga tidak bisa keluar. Maaf!” jawab Fina. Meski hanya pesan chat, dalam hati Fina merasa masih sangat bersalah dengan teman-temannya. Akibat ulahnya yang egois membuat mereka semua ikut terlibat dengan masalahnya.
“Oh, ya! Maaf jika aku membuat kalian merasa tertekan. Pasti kalian juga di marahin orang tua kalian. Maafkan aku! Aku memang begitu bodohnya sama sekali tidak menghiraukan ucapan kalian kemarin. Jika aku menurut, mungkin semua tidak akan seperti ini.”
“Aku tidak bisa lagi keluar. Kalian tahu sendiri bagaimana suamiku.”
“Jangan pernah menyalahkan diri kamu sendiri. Kita semua tidak keberatan. Sama sekali kamu tidak salah. Kita semua yang salah.” Jawab Kino.
“Iya.. benar kata Kino. Kita tidak pernah menyalahkan kamu.” Saut Gio.
“Iya.. Fina.. kamu jangan pernah lagi berpikir seperti itu. Apapun yang terjadi kita tetap akan jadi sahabat.” Timpal Vivi.
“Benar itu, jangan sedih.” Saut Virgo.
“Makasih untuk kalian.” Ucap Fina, memberikan pesan suara pada teman-temannya.
----
“Fina… Dimana kamu?” teriak seorang laki-laki. Fina seketika terjingkat dari duduknya. Dengan segera merapikan rambutnya.
Brak!
Pintu terbuka sangat keras, Fina yang sibuk merapikan rambutnya dengan kedua tagannya. Langkah kaki itu semakincepat mendekatinya. Belum sempat membalikkan badannya, sebuah tangan kekar mencengkeram pergelangan tangannya. Menarik kasar tubuh Fina keluar dari kamarnya.
“Apa kamu tidak bisa lebih lembut sedikit?” Tanya Fina, dia mencoba memberanikan dirinya mengungkapkan apa yang mengganjal pada dirinya beberapa hari ini.
Bagas menarik sudut bibirnya sinis. “Untuk apa, aku lembut pada pembunuh sepertimu. Sekarang kamu masuk dalam duniaku. ” kata Bagas. “Dan, Orang tua kamu sepertinya sudah tidak peduli lagi denganmu. Maka, jangan pernah lagi salahkan jika aku mencoba membuatmu menderita disini.”
Fina mengangkat kepalanya. Dia mencoba untuk memberanikan dirinya menatap ke wajah Bagas. Jika aku bisa bertahan disini, apa kamu akan mencintaiku. Dan, menerimaku tulus sebagai istrimu?” Tanya Fina, meski dia sedikit ragu mendengar jawaban yang pastinya ‘tidak’.
Bagas menarik kasar tangannya ke atas, mendorong tubuhnya membentur dinding di belakangnya. Tangan kanan yang semula hanya diam, dia mencengkram rahang Fina. “Apa yang kamu katakana? Apa kamu masih berharap cinta dari manusia yang kejam sepertiku?” Tanya Bagass, semakin mempererat cengkramannya. Napas Fina hamper saja habis.
Fina menatap lekat, dia hanya memberikannya tatapan seolah meminta untuk dilepaskan. Lehernya perlahan terasa dicekik. Sedikit saja suara tak keluar dari bibirnya. “Ingat satu hal.” Bagas mendekatkan wajahnya, hanya berjarak satu telunjuk tangannya. Helaan napas kasarnya saling beradu. Fina hanya diam, menundukkan matanya. Mencoba mengalihkan pandangan matanya. Dia tak sanggup melihat tatapan menakutkan darinya.
“Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah mencintaimu. Ingat itu!” bisik Bagas di telinga kiri Fina. Dia menatap lekat ke dua mata Fina. Kali ini detak jantung mereka seolah berlomba untuk saling berpacu satu sama lain. Desiran nafas Bagas, menyeruak masuk ke dalam pori-pori kulit wajahnya. Rasa yang semua dingin terasa lebih hangat. Desiran nafas berat Bagas membuat bulu kuduknya merinding.
Mulai besok, kamu yang siapkan semua makanan untukku.” Pinta Bagas. Dia melepaskan cengkraman di rahang Fina. Menghela nafasnya kesal berkali-kali.
Fina memicingkan matanya. Dia mengerutkan keningnya, dia melihat wajah yang begitu seram itu membuatnya maju mundur untuk mengatakan sebenarnya.
“Untuk semua orang yang ada disini?” Tanya Fina memastikan. Dia memegang lehernya yang masih terasa sakit.
“Iya, tapi besok aku akan mengajak kamu pindah. Setelah aku membeli rumah baru.”
“I—iya..” ucap gugup Fina.
***
“Apa yang kalian lakukan, ayo cepat turun. Kita makan bersama.” Ucap papa Bagas yang kebetulan baru saja keluar dari kamarnya. Dia melihat dari balik lorong mereka saling menatap dalam diam.
“Iya.. Pa.” jawab Bagas, sesekali dia melirik tajam ke arah Fina.
“Ayo, pergi.” Pinta kasar Bagas.
“Iya, aku bisa jalan sendiri. Tolong jangan menyentuhku atau membantuku untuk jalan.” Fina menarik nafasnya dalam-dalam. Dia berusaha tetap tegar bagaimanapun yang terjadi nantinya.
Melihat Fina masih saja diam mematung. Bagas menarik paksa tangan Fina berjalan dengan langkah cepat menuju ke ruang makan. Bagas menarik salah satu kursi kosong. Mendorong paksa tubuh Fina untuk duduk.
“Apa yang kamu lakukan?” Tanya Bagas, menarik dua sudut bibirnya tipis.
“Bi Ratna sudah membawakan aku makanan di kamar, sepertinya aku makan di kamar saja.” Ucap Fina. Menarik sudut bibirnya. Membentuk senyuman simpul.
“Siapa yang meminta kamu makan di kamar?” tajam Bagas, mencengkram pergelangan tangan Fina.
“Aku bukan bagian dari keluarga kalian. Lebih baik kalian makan saja.” Ucap Fina lagi.
“Kamu istriku sekarang. Cepat ikut aku.” Pekik Bagas, menarik kasar lagi tangan Fina. Dia terus memaksanya untuk mengikuti semua kemauannya..
"Baiklah, baik... Aku akan menurut apa yang kamu katakan. Tapi, tolong lepaskan tanganmu." ucap Fina memohon. Dia mengeluarkan wajah memelasnya.
Bagas menatap tajam ke arah Fina. Dengan terpaksa dia melepaskan tangan Fina. "Cepat! jalan." pinta Bagas.
Fina masih terdiam, dia terlihat sangat ragu, dengan terpaksa dia berjalan perlahan menuruni anak tangga menuju ke meja makan.