Ting!
Suara pintu lift yang berdenting pertanda lift telah terbuka, membuat Sasa segera keluar dari sana. Tapi bersamaan dengan itu, lift khusus yang berada di sampingnya pun ikut terbuka.
Ah ya, setelah dari reuni, Sasa langsung pulang ke Apartemen yang telah ia sewa sejak kembali ke Indonesia beberapa hari yang lalu, tanpa keberadaan Nanda. Sahabatnya itu katanya ada urusan. Entah urusan apa.
Perihal pintu lift khusus di sampingnya itu, merupakan lift yang hanya bisa digunakan oleh pemilik gedung Apartemen SRZ ini. Tepat di lantai paling atas, lantai 20. Dan unit Apartemen Sasa pun berada di lantai yang sama.
Anehnya, di lantai ini hanya ada dua unit Apartemen. Unit milik Sasa dan pemilik gedung.
Setelah keluar dari lift yang ia masuki tadi, Sasa langsung melirik lift khusus itu, matanya langsung bertemu dengan mata tajam pria yang selama hampir enam tahun ini menjalin kasih dengannya.
Rafa...
Pria itu menatap tajam mata Sasa, kemudian berlalu pergi dengan langkah tegasnya. Meninggalkan Sasa yang berjalan mengekor di belakangnya.
Sasa terus memandang punggung Rafa yang tampak tegap. Dia adalah pria yang selalu menjadi sandaran Sasa selama ini.
Dan ternyata..... Gedung apartemen yang Sasa sewa merupakan milik Rafa. Itu tandanya, Rafa menempati Apartemen yang ada di lantai 20 ini.
Saat di unit Apartemennya, Sasa bukannya berbelok, ia malah meneruskan langkahnya
dengan masih menatap tajam punggung Rafa.
Ketika Rafa berhenti untuk menekan sandi Apartemen, Sasa juga berhenti tepat di belakang laki-laki itu.
Pintu Apartemen Rafa terbuka, namun pria itu tidak langsung masuk. Ia masih diam memunggungi Sasa yang juga tidak mengeluarkan suara.
Bermenit-menit terlewat, Sasa tersenyum kecil.
"Lo nunggu gue ngomong?" Sasa bertanya dengan seperti biasa. Tapi Rafa tak kunjung
membuka suara.
Dengan lancang, Sasa berjalan melewati Rafa dan langsung masuk ke dalam unit Apartemen pria itu. Meninggalkan Rafa yang berdiri di depan pintu.
Sasa tidak peduli. Ia malah memerhatikan seluruh isi Apartemen Rafa yang memang sangat berbeda jauh dengan miliknya.
Apartemen Rafa lebih luas. Ditambah barang-barangnya diletakkan dengan sangat rapi. Selain itu, luas Apartemen Rafa sepertinya memang bisa menampung sekeluarga.
Mungkin setelah menikah dengan Syela, pria itu akan memboyongnya kemari? Ah! Tidak, tidak! Tidak akan ada pernikahan di antara mereka..... Iya kan?
Sasa tetap berdiri membelakangi pintu masuk, ketika ia mendengar langkah kaki yang mendekat. Pertanda jika Rafa ikut masuk ke dalam Apartemennya.
Lamunan Sasa langsung buyar ketika mendengar pintu Apartemen yang tertutup. Menandakan jika ia hanya berdua dengan Rafa di tempat yang tertutup dan pencahayaan temaram.
Tubuh Sasa agak menegang saat Rafa berjalan melewatinya untuk pergi ke dapur. Sedangkan mata Sasa tetap memerhatikan punggung Rafa yang terlihat tegap.
Sasa menghela nafas pelan untuk menenangkan diri. Ini keputusan Sasa sendiri. Dia yang ingin menemui Rafa, maka harusnya dia bisa bersikap lebih santai.
Akhirnya Sasa memilih mendudukkan bokongnya pada sofa ruang tengah Apartemen Rafa. Menunggu si pemilik menghampirinya yang menjadi tamu tiba-tiba.
Rafa kembali, dengan dua gelas minuman di tangannya. Pria itu mendekati Sasa, dan menunduk untuk meletakkan satu gelas di depan meja gadis itu.
Tuk!
Sasa sontak mendongak saat jarak tubuhnya dan tubuh Rafa sangat tipis. Kepalanya yang mendongak, berjarak sangat dekat dengan Rafa yang menunduk menatap matanya. Sasa baru tersadar saat Rafa kembali beranjak dan memilih duduk di seberangnya.
Pria itu duduk dengan meletakkan kaki kanannya ke atas kaki kirinya. Sedangkan punggungnya bersandar pada sandaran begitu pun lengan kanannya. Tangan kirinya memegang satu gelas minuman yang Sasa tidak tau apakah itu minuman beralkohol ataukah bukan.
Rafa menatap Sasa tenang. "Perlu apa?”
Suara berat Rafa berhasil menggetarkan relung hati Sasa. Gadis itu terpejam sejenak, kemudian menatap mata Rafa.
‘Jangan nangis, Sa!’ Jerit Sasa dalam hati.
Ketika ia merasa tubuhnya mulai santai, Sasa akhirnya duduk dengan angkuh di tempatnya. Ia juga menatap Rafa dengan tajam.
"Gak boleh ngunjungin pacar sendiri?” desis Sasa dengan menekan kata pacar pada kalimatnya.
‘Jadi pelakor dulu deh. Gue bakal rebut Rafa dari Syela.’
Rafa tetap tenang. Pria itu menyesap minumannya, kemudian meletakkan gelas itu ke meja. Menimbulkan suara di tengah-tengah keheningan malam.
Saat melihat Rafa menaikkan sebelah alisnya, Sasa harus menahan segala emosi yang ingin keluar. Merasa jika laki-laki itu seolah ingin menantangnya.
Sasa terkekeh pelan. Kenapa sulit sekali membuat Rafa goyah? Sejak pacaran dulu, Rafa memang sangat-sangat pandai mengontrol dirinya. Tapi saat itu Sasa sangat menyukainya, errr mungkin sampai sekarang.
Sasa tiba-tiba saja berdiri, membuat Rafa sontak mendongak untuk menatap wajah gadis itu.
Di mana gadis itu berjalan ke arahnya dengan langkah anggun dan terlihat sangat cantik di tengah-tengah temaramnya ruangan.
Rupanya, Sasa melewati Rafa dan berdiri di belakang pria itu. Ia menyentuh lelaki itu, dimulai dari pundak kemudian beralih ke leher Rafa. Sebelum menunduk untuk berbisik di telinganya.
"Lo gak ada perasaan apa-apa sama Syela," bisik Sasa hingga nafasnya mengenai leher Rafa. Memancing pembicaraan mengenai Rafa dan Syela.
Bukan pertanyaan yang Sasa berikan, melainkan pernyataan.
Rafa tetap tenang , membuat Sasa terkekeh pelan sebelum kembali menegakkan tubuhnya. Ia berjalan dan kini berdiri tepat di depan Rafa yang tetap duduk.
Kepala Rafa mendongak, sehingga mereka saling menatap dengan ekspresi yang sama-sama datar tanpa emosi.
"Lo mau apa?" tanya Rafa akhirnya.
Sasa tersenyum. "Gue bukan kek cewek di luaran sana, Raf. Yang berusaha ngikhlasin cowok gue semudah itu. Apalagi, alasan lo ninggalin gue karena cewek lain. No! Gue orang yang egois, dan lo tau itu, Raf." Terpancar kemarahan di mata gadis itu, dan Rafa menyadarinya.
Dengan tenang, Rafa berdiri di depan Sasa yang tingginya hanya sampai dadanya. Mereka saling menatap dengan Sasa yang mendongak, serta Rafa yang menunduk. Menatap dalam manik mata yang dulu selalu ia tatap tanpa bosan.
Tangan Rafa terangkat, dan dengan sendirinya menyentuh pipi Sasa yang dulu sering ia elus lembut.
Bersamaan dengan itu, tatapan Sasa meredup. Tergantikan dengan sorot matanya yang terluka.
Rafa mengelus pipi Sasa begitu lembut. "Itu udah gak penting.” Hanya itu respon dari
Rafa.
Bukannya sakit hati hingga menangis dengan perkataan Rafa, Sasa malah melangkah semakin maju hingga tubuh mereka hampir menempel.
Tangan Sasa terangkat dan menyentuh d**a bidang Rafa yang masih terbalut jas.
Dengan telaten, Sasa melepaskan jas yang melekat di tubuh Rafa. Tidak ada penolakan. Pria itu membiarkan saat Sasa melempar jas nya ke sofa dan berganti menepuk-nepuk dadanya dengan lembut.
"Jangan bohongin diri lo, Raf. Kasian Syela," ucap Sasa menatap mata Rafa dengan serius.
Tangan Sasa merambat naik hingga melingkari leher Rafa, kakinya berjinjit pelan agar bisa mencapai telinga Rafa.
"Gue gak akan tinggal diem. Lo tau banget gue orangnya kaya gimana," desis Sasa tajam, sebelum menjauhkan tubuhnya dan menatap Rafa tenang. Seolah ia tidak mengatakan apa-apa barusan.
Sasa berjalan anggun, mengambil gelas yang Rafa bawakan tadi. Menenggak minuman itu
sedikit, kemudian berjalan kembali menghampiri Rafa. Ia menarik tangan Rafa, dan memberikan gelas minumnya ke tangan pria itu.
"Kalo lo kangen sama gue, minum aja bekasan gue," ucap Sasa tersenyum kecil.
Dengan senyum culas yang terpatri di wajahnya, Sasa langsung berjalan menuju pintu, berniat keluar dari
Apartemen Rafa.
Tapi, kepanikan langsung melandanya saat menyadari jika pintu Apartemen Rafa terkunci.
Sasa berbalik dan berniat marah, tapi ia menemukan Rafa yang menatapnya dingin.
Rafa menenggak habis minuman dari gelas Sasa. Tepat di mana bibir Sasa menyentuh gelas itu, Rafa juga menempelkan bibirnya di sana. Pria itu seolah sengaja, sembari menatap Sasa dengan tajam. Kemudian menaruh kembali gelas tersebut ke atas meja.
Selanjutnya, Rafa menghampiri Sasa yang semakin keras berusaha membuka pintu yang rasanya sia-sia saja.
Rafa mencekal tangan Sasa kemudian membalik tubuh mungil gadis itu dan menempelkan punggungnya ke pintu. Sedangkan kedua tangannya mengurung Sasa di tengah-tengah nya.
Sasa menahan nafas saat wajah Rafa tepat di depan wajahnya. Hidung mereka bersentuhan, nafas mereka saling beradu.
"Lo yang mulai, jangan nyesel kalo gue nekat nanti," desis Rafa dengan matanya yang menyorot mata Sasa tajam.
Sasa mengepalkan tangannya untuk mengalihkan kegugupan yang melanda. Ia menelan salivanya susah payah kemudian balas menatap mata Rafa dengan berani.
"Kenapa gue harus nyesel?" Tanya Sasa mengangkat dagunya tinggi.
Rafa tersenyum miring, tangannya menyentuh pipi Sasa yang sedikit tirus. Mengelusnya lembut, membuat Sasa memejamkan matanya terlena.
Tapi itu terjadi hanya terhitung lima detik, karena setelahnya Rafa menarik kuat tangan Sasa kasar dan menghempaskan gadis itu ke kursi sofa ruang tengah Apartemennya.
"Shh." Sasa sedikit meringis karena lengannya membentur pinggiran sofa. Tapi, rasa sakit itu bukanlah apa-apa. Karena saat ini, Rafa tengah menatapnya tajam.
Mata Sasa membola ketika Rafa menunduk dan memenjarakan tubuh Sasa dengan meletakkan tangan pria itu ke sisi kanan dan kiri tubuh Sasa. Tidak ada lagi raut wajah tenang di
wajah pria itu. Hanya ada tatapan tajam, dan rahang yang mengatup kuat.
Rafa mengurung Sasa di sofa dengan posisi pria itu yang berdiri dan tubuhnya condong ke depan, sedangkan Sasa yang masih duduk di sofa, refleks memundurkan tubuhnya hingga menyentuh sandaran sofa.
Mereka saling menatap dengan posisi yang cukup intim. Rafa dengan amarah yang berkilat dari matanya, dan Sasa yang masih dalam mode kagetnya.
"L-lo---"
"Servis, huh?"
Sasa mengernyit. Tapi ia kembali mengingat ucapan Vino saat di acara reuni tadi. Sontak ia menelan salivanya susah payah ketika melihat Rafa berdesis di depan wajahnya.
Pria itu semakin mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka bersentuhan, bahkan jika Sasa bergerak sedikit saja, bibir mereka akan langsung bertemu.
Astaga, sejak dulu Sasa selalu gugup jika Rafa sudah mengeluarkan aura kemarahan seperti ini. Marahnya Rafa sangat meresahkan. Karena jika marah, pria itu tidak membentak atau berlaku kasar memang, tapi ia akan berbicara dengan nada rendah nan tajam juga dengan aksinya yang.... Yah seperti ini.
"Sengaja, hm?"
Sasa mengerjap, mencoba menguasai diri. Tapi kenapa ia tidak bisa?! Kegugupan selalu melandanya. Tadi ia terlihat mendominasi dan Rafa yang selalu diam. Ternyata laki-laki itu tengah berdiam diri, menunggu waktu yang pas untuk mengamuk.
"R-raf---"
"Sejauh mana Vino nyentuh lo?" Rafa menyela ucapan Sasa dengan suaranya yang tetap rendah, tidak meninggi.
Sasa berniat menjauhkan wajahnya, tapi tangan kiri Rafa sudah lebih dulu menahan tengkuknya.
Cup!
Mata Sasa membola. Bibir mereka bersentuhan karena tarikan Rafa. Tapi hanya sebatas itu.
"Jawab gue!” Lamunan Sasa langsung buyar saat suara berat Rafa kembali keluar.
Ketika Rafa berbicara, bibir mereka pasti bersentuhan. Tapi kenapa Sasa tidak menolak?
'Oh? Gue kan mau jadi pelakor dulu. Gapapa lah.' Sasa merutuki diri dalam hati.
"Lo gak capek nunduk?" Sasa bertanya dengan mata terpejam. Mencoba mengalihkan kegugupan. Menikmati deru nafas yang menerpa wajah mereka.
Oh, sudah berapa lama mereka tidak sedekat ini lagi? Mungkin sejak Rafa pindah ke Oxford, kemudian Sasa ikut pindah ke Berlin.
Mereka menjalin hubungan LDR tanpa adanya pertemuan. Kontak fisik seperti ini adalah yang paling mereka rindukan. Entah Rafa merindukannya juga, ataukah tidak.
Merasa Rafa tidak akan menjawab pertanyaannya, Sasa kemudian lanjut berkata, "gue sama Vino udah sejauh mana? Hmm.... mungkin lebih dari Cium----hmmp!” Mata Sasa yang tadinya terpejam, sontak langsung terbuka lebar saat Rafa meraup bibirnya dengan cepat.
Tidak! Ini bukan lagi hanya sebatas saling menempel, tapi Rafa melumatnya.
"Hmmp Raf--"
Rafa seolah tuli, ia melumat bibir Sasa dengan ganas, bahkan pria itu mengubah posisi Sasa dengan membawa gadis itu berdiri. Karena lelah terus menunduk sedari tadi.
"Raf--"
"Nikmatin Sa!" Rafa menyela ucapan Sasa di sela-sela ciuman sepihaknya.
Kali ini Sasa tidak memberontak ketika Rafa kembali menciumnya. Ciuman Rafa juga tidak se-kasar sebelumnya, pria itu mulai melumat lembut bibir Sasa dengan tangannya yang melingkari pinggang gadis itu.
Rafa menarik tangan Sasa agar melingkar di lehernya. Gadis itu menurut, dan perlahan membalas ciuman Rafa dengan kaku. Tangannya pun merambat naik dan sedikit meremas rambut Rafa hingga kusut. Sedangkan tangan Rafa meremas pinggang Sasa.
Ciuman mereka semakin panas ketika Rafa mendorong tubuh Sasa hingga terbaring di atas sofa kemudian menindihnya.
"Emhh." Sasa kelepasan melenguh saat Rafa memindahkan ciumannya ke leher gadis itu.
Sedangkan tangan Rafa meremas pundak Sasa karena sekuat tenaga menahan diri untuk tidak meremas aset pribadi milik gadis itu.
"R-raf." Sasa memanggil dengan gugup. Sasa takut mereka semakin jauh.
Dan ya, Rafa menghentikan kegiatannya itu di leher Sasa. Tapi ia masih menenggelamkan wajahnya di sana. Masih mempertahankan posisi intim mereka.
Bahkan gaun Sasa yang modelnya memang memperlihatkan kakinya, sudah tersingkap hingga ke paha gadis itu.
"Tinggalin gue, Sa. Jangan nungguin gue, gue pernah bilang gitu, kan?" bisik Rafa tepat di depan wajah Sasa yang matanya masih terpejam kala mengingat perkataan gadis itu yang tidak akan menyerah.
Sasa tersenyum culas, matanya masih terpejam. "Lo mutusin gue sepihak? Sedangkan kita pacaran aja lo harus nunggu persetujuan gue dulu," ucapnya tenang.
Rafa beralih menatap wajah dan mengelus pipinya. Usapannya semakin turun ke leher gadis itu.
Mengelus area leher Sasa dengan sensual. Mata Rafa terpejam ketika keningnya menyentuh kening Sasa. Kepalanya semakin menunduk hingga wajahnya tenggelam ke area leher gadis itu.
Nafas Rafa menggelitik leher Sasa yang terekspos. Hidungnya menyentuh kulit leher Sasa yang tiba-tiba saja terasa dingin. Satu tangan Rafa merambat menyentuh pinggang Sasa dan meremasnya pelan.
Cup!
Sasa terpejam dengan tangannya yang mengepal kuat, ketika benda lunak nan basah milik Rafa menyentuh kulit lehernya.
Iya, Rafa mengecup leher Sasa dengan singkat. Kemudian menjauhkan wajahnya dari sana.
Rafa beralih menatap wajah Sasa dari depan. Dengan mata terpejam, ia mendekatkan wajahnya pada Sasa yang juga refleks memejamkan matanya.
Tidak, mereka tidak akan berciuman. Tapi Rafa menempelkan kening mereka kembali. Kali ini, mereka berdua berada di posisi itu cukup lama, sebelum Rafa tiba-tiba bangkit dan menuju pintu Apartemen.
"Keluar!” usir Rafa dengan datar.
Seketika Sasa membuka matanya dan menatap mata Rafa yang menatap ke arah lain. Pria itu sudah membuka pintu Apartemennya.
Gadis itu ikut bangun dari posisi terlentangnya di sofa, ia segera melangkah maju dan
tangannya langsung mencengkeram baju bagian depan Rafa ketika telah sampai di depan pria itu.
Sasa berjinjit dan menarik baju Rafa hingga d**a mereka bersentuhan.
"Gue bukan cewek yang pasrah sama keadaan. Gue pastiin lo bakal balik ke gue," desis Sasa sebelum mengecup rahang Rafa.
Sasa menepuk-nepuk pundak Rafa setelah melepaskan kecupannya. Ia langsung berjalan keluar setelah membuka pintu Apartemen.
Meninggalkan Rafa yang hanya terdiam dan menatap punggungnya yang menjauh.
Sasa bahkan tidak menoleh lagi setelah ia sampai di depan unit Apartemennya.
Gadis itu langsung masuk tanpa peduli jika Rafa masih menatapnya lama dari kejauhan.
Sasa tersenyum mengingat kejadian di dalam Apartemen Rafa barusan. Sedangkan memikirkan perasaan bersalah yang sempat menggerogoti dirinya pada tunangan Rafa, Sasa tidak peduli.
No! Rafa masih kekasih Sasa. Tapi pria itu juga tunangan Syela.
Sasa hampir enam tahun berhubungan dengan Rafa, sedangkan Syela baru empat tahun lalu.
Sasa bodoh? Mungkin iya. Tapi Sasa bukan perempuan yang akan pasrah dan mengalah. Ia akan merebut sesuatu yang harusnya menjadi miliknya.