PART 11

2613 Words
"Kak Rafa sibuk banget ya? Dari semalem aku telfon gak diangkat-angkat. Padahal hp kamu aktif kok." Rafa terdiam dengan raut wajah bingung. "Sorry, gue sibuk," sahutnya beralasan. Sasa yang mendengarnya pun merasa bersalah. Akhirnya ia sendiri yang memberi tahu sang kekasih, namun tanpa suara. "Aku yang silent, sorry." Ia memberitahu kekasihnya jika ia lah yang menjadi dalang dari ketidak tahuan Rafa akan panggilan telepon dari Syela yang berulang-ulang. Rafa tidak marah. Ia menggelengkan kepalanya dan mengelus puncak kepala gadis itu sebelum beralih merangkulnya. "Duh, maaf Kak Rafa. Tapi ini penting banget. Papa semalem masuk rumah sakit, makanya orang rumah pada panik semua." Rafa dan Sasa terkejut mendengar ucapan Syela. Terutama Rafa yang terlihat khawatir, meskipun masih tertutupi dengan wajah flatnya. "Sekarang keadaannya gimana?" tanya Rafa mencoba tenang. Tangan Sasa meremas tangan Rafa yang memegang ponsel. Mencoba menguatkan laki-laki itu. "Papa masih dirawat. Papa belum sadar dari semalam. Bunda sama Syela lagi jagain papa di rumah sakit." Sasa terdiam. Ia semakin merasa bersalah karena telah egois men-silent ponsel Rafa. Hanya karena ingin bersama tanpa gangguan siapa pun. Sasa melirik takut-takut ke arah wajah Rafa yang menegang. Bagaimana jika Rafa marah? Selain itu, apa keadaan ayah Rafa juga baik-baik saja? "Gue belum bisa pulang--" Sasa semakin meremas tangan Rafa dan menatap mata laki-laki itu penuh peringatan. "Kak Rafa bisa pulang, kan? Bunda nanyain kamu terus, nih. Aku juga takut ngeliat kondisi papah yang gak sadar-sadar." Suara Syela terdengar gemetar. Itu membuat Sasa semakin merasa bersalah dan menyalahkan dirinya sendiri. "Oke! Gue pulang malam ini," putus Rafa cukup khawatir dengan keadaan sang ayah, namun juga sedikit tak rela untuk pulang. Tut! Tut! Rafa memutuskan sambungan telepon tanpa mau menunggu jawaban dari Syela lagi. Ia meremas tangan Sasa yang kini menatapnya. "Kamu gak salah," ucap Rafa begitu melihat sorot mata kekasihnya yang merasa bersalah dan khawatir. "Tapi Rafa---" "Sa! Ini bukan salah kamu," sela Rafa ketika Sasa ingin membantah dan tetap menyalahkan diri. "Ya udah kita pulang malam ini. Kasian papa kamu," ucap Sasa agak berat. Hey, mereka belum cukup dua hari di Bali dan malah harus pulang? Meskipun sudah jalan-jalan semalam, tapi itu masih.... belum cukup. "Kamu gak usah ikut pulang. Aku cuma mau ngecek kondisi papa, terus balik ke sini lagi," tukas Rafa menangkup pipi Sasa. Bukan tanpa alasan Rafa mengajak Sasa ke Bali. Ia telah merencanakan sesuatu, dan jika Sasa ikut pulang bersamanya hari ini, maka semuanya akan gagal. "Tapi papa kamu lagi sakit. Kamu harus di samping dia." "Aku di samping dia. Tapi selama beberapa hari aja. Aku masih punya janji sama kamu." "Tapi nanti kamu capek bolak-balik." "Enggak. Dion bakal tetap di sini. Aku suruh Nanda sama Azka ke sini juga nanti, supaya kamu ada temen," putus Rafa agak tidak ikhlas. Sasa berpikir sejenak. Namun pikirnya, keputusan Rafa juga ada baiknya. Biar pria itu lebih fokus pada sang ayah dulu baru menyusulnya kembali ke sini. “Ya udah tapi gimana kalau sekarang aja kamu berangkatnya, Rafa. Papa kamu belum sadar dari semalam, aku jadi ikut kepikiran. Apalagi Bunda pasti butuh kamu buat nguatin diri juga. Gak usah nunggu nanti malam, deh," putus Sasa masih merasa bersalah. Meskipun Rafa bilang jika Sasa tidak salah, tetap saja perasaan itu masih menghantui Sasa. "Tapi---" "Kali ini turutin, yah?" sela Sasa memelas. Jadi? Bagaimana bisa Rafa menolak? Menghela nafas pelan. Rafa beralih mengecup kening Sasa begitu lama. "Maaf sayang," bisik Rafa begitu lembut, tepat di depan wajah Sasa. Ia mengambil tangan Sasa dan memberikan kartu debitnya. "Selama aku gak di sini, puasin diri kamu belanja atau apapun. Maaf," ucap Rafa lagi-lagi meminta maaf. Sasa tersenyum kecil. Gadis itu mengecup punggung tangan Rafa untuk meredakan perasaan bersalah yang menghantui mereka. "Udah. Sana siap-siap," titah Sasa mendorong Rafa agar menjauh dari tubuhnya. Rafa dengan berat hati menelpon Dion untuk menyiapkan keberangkatannya. Untung saja ia menggunakan pesawat pribadi, jadi tidak akan terlalu repot. Sedangkan Sasa, ia tentu ikut mengantar Rafa pergi di bandara. "Telfon aku kalo udah nyampe," ucap Sasa berusaha terlihat riang. Karena jika tidak, Rafa pasti akan membatalkan keberangkatannya. Kali ini, Sasa tidak boleh egois. ... Di lain tempat, Dela tampak khawatir menunggu suaminya sadar. Semalam, Neal tiba-tiba pingsan di ruang kerja laki-laki itu. Karena faktor usia, Neal sering kali pingsan jika terlalu banyak beban pikiran. Itu juga menjadi salah satu alasan Rafa yang tidak begitu menekan ayahnya untuk menolak perjodohan. Setelah menempuh perjalanan selama 1 jam lebih, Rafa langsung ke Rumah sakit keluarganya tanpa mau mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Rafa langsung menuju ruang rawat inap Neal setelah menanyakan ruangannya pada resepsionis. Begitu sampai di sana, ia menemukan Syela yang duduk sendiri di depan ruangan sang ayah. "Syela," panggil Rafa. Syela yang tadinya fokus memandang ponselnya karena menunggu telefon Rafa, sontak mendongakan kepalanya cepat. "Kak Rafa," gumam Syela lega. Gadis itu berlari cepat dan memeluk Rafa yang agak kaget. Ia menangis sesegukkan di d**a Rafa terkejut akan serangan tiba-tiba itu. "A-aku takut, hikss semalam aku sama Bunda bingung gimana nganter papa ke Rumah sakit," cerita Syela di sela tangisnya. Tangan Rafa terjulur untuk mengelus punggung gadis itu. Meskipun sikapnya semakin dingin pada Syela karena perjodohan mereka, perasaan yang menganggap Syela adik masih ada di diri Rafa. Hal itu membuatnya tergerak untuk menenangkan Syela. Rafa bisa membayangkan bagaimana paniknya kedua perempuan berbeda usia itu semalam. Karena saat malam hari, para pembantu di rumah Rafa pasti sudah kembali ke paviliun khusus para pelayan yang ada di belakang Mansion. "Sorry," gumam Rafa. Setelah agak lama, ia melepaskan pelukannya dengan Syela. Menepuk pelan puncak kepala gadis itu, kemudian membuka pintu ruangan yang ditempati Neal. "Bunda," panggil Rafa pada Dela yang tengah duduk membelakangi pintu. Dela yang mendengar suara Rafa langsung berbalik dan memeluk Rafa. Ia mendekap erat sang putra dengan air mata yang telah bercucuran keluar. Sedangkan Rafa langsung mengelus punggung Bundanya dengan penuh kasih sayang, tanpa mengucapkan kalimat penenang. "Maaf ya nak, Bunda gangguin pekerjaan kamu," ucap Dela menatap Rafa merasa bersalah. Rafa tersenyum kecil. Ia menyeka air mata di pipi sang Bunda. Tak lupa mengecup kening wanita yang telah melahirkannya itu. "Gapapa, udah tugas Rafa." Rafa beralih menggiring Dela ke dekat ranjang pasien Neal. Kemudian tangannya meremas pelan tangan keriput sang ayah. "Jangan buat Bunda sama Rafa khawatir teru, pah," gumam Rafa begitu pelan, sehingga hanya dia yang mendengarnya. *** Sasa tidak tahu jika Rafa benar-benar seperhatian ini padanya. Tidak ingin membuat Sasa kesepian, ia meminta teman-teman Sasa untuk ke Bali. Kecuali Ghea, Claretta dan Alina yang tidak bisa, karena ketiga perempuan itu telah memiliki suami, jadi tidak sebebas teman-temannya yang masih gadis. Pagi ini mereka semua tengah berkeliling di Mall dengan masing-masing memegang tote bag hasil belanja. Oh, mereka semua dibelanjakan Rafa. Padahal Rafa sudah memberikan black card miliknya pada Sasa, namun ketika berbelanja malah Dion yang membayar, Sasa dilarang menggunakan kartunya. Kata Dion itu perintah Tuan Rafa, dan untuk black card yang Sasa pegang, hanya boleh digunakan untuk keperluan pribadi gadis itu sendiri. Itu sih kata Rafa yang disampaikan langsung oleh Dion. “Ah, gue capek banget sumpah keliling,” celetuk Riana begitu mereka telah berada di tempat makan. Mereka harus singgah untuk mengisi perut. Dion? Pria itu juga duduk di meja lain. Ia tidak mungkin bergabung, dan tidak mungkin pergi. Karena tugas Dion adalah mengawasi kekasih dari Tuannya. Bahkan Dion memaksa untuk membawa belanjaan Sasa. Katanya, Nona-nya itu tidak boleh lelah. Bisa-bisa kepalanya dipenggal Tuan Rafa. “Gapapa capek, yang penting dibelanjain sama holkay,” sahut Alexa songong dengan alis terangkat naik. “Kalian kek pacaran sama cowok miskin aja. Perasaan hampir tiap hari dibelanjain cowok masing-masing, kan?” Ah ya, Nanda pun ikut ke Bali. Untuk butik, Nanda serahkan pada salah satu karyawan terpercaya. Alexa, Nanda, Riana, dan Vela. Mereka berempat lah yang menyusul Sasa ke Bali. Riana si gadis pengangguran, tak apa. Sebentar lagi akan menikah dengan anak tunggal keluarga Mahardika. Kemudian Alexa yang seorang model, Nanda yang yatim piatu, namun sudah dianggap anak oleh kedua orang tua Sasa. Serta Vela, si gadis pendiam dan dingin itu merupakan seorang Guru di salah satu Sekolah Dasar. Awalnya saat kedatangan mereka, Sasa sempat diledek habis-habisan karena diam-diam liburan berdua dengan Rafa di Bali. Namun ia beralasan cepat jika menemani sang kekasih untuk urusan pekerjaan. Mereka--kecuali Nanda--sempat menentang saat tau jika Sasa malah balikan dengan Rafa yang sudah memiliki tunangan. Tapi setelah Sasa memberi tahu alasannya, mereka akhirnya mendukung apapun keputusan keduanya. Tak lupa memberi tahu jika membutuhkan bantuan, katakan saja pada mereka. “Cowok kalian emang gak protes, kalian ke sini?” tanya Sasa tiba-tiba. “Enggak, lah!” Mereka semua menggeleng cepat. Riana pun menyahut tanpa dosa. “Gue mesti ngancem Angga dulu gak mau nikah sama dia dua Minggu nanti kalo gak diijinin.” “Halaah, ditinggalin beneran, nyaho lu!” “Gak akan! Angga bucin sama gue!” Riana dan kekasihnya, Angga. Mereka berdua memang akan menikah dua Minggu ke depan. Mereka sudah bertunangan lama, dan saat itu Sasa tidak bisa menghadirinya. Ia hanya memberikan selamat dan mengirimkan hadiah untuk sahabat kecilnya itu. Saat sibuk berbincang-bincang, pesanan mereka akhirnya datang. Tentu mereka langsung makan, karena sedari tadi isi perut sudah berdemo minta makan. “Eh!! Coba liat SG nya si Syela!” pekik Nanda tertahan. Mereka semua langsung memajukan kepala untuk melihat isi ponsel Nanda. Gadis itu menyodorkan ponselnya yang memperlihatkan akun i********: Syela yang tengah memasang story dengan foto punggung Rafa. “Ini di rumah sakit gak, sih?” celetuk Riana yang fokus ke tempat. “Eh! Caption-nya!” heboh Alexa. “Makasih udah sabar nemenin, alay banget!” “Idih! Keliatan banget pengen dikata uwu!” “Itu aja pasti dia fotoin tanpa persetujuan si Rafa gak, sih?” “Mana sengaja banget nyodorin tangannya ke kamera supaya cincinnya keliatan.” Sasa menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Di sini yang kekasih Rafa adalah dirinya, yang tunangan Rafa adalah Syela. Tapi kenapa malah keempat temannya ini yang emosi dan malah kompak berjulid? “Rafa ada hubungin lo gak, Sa?” Sekarang mereka berganti menatap Sasa penuh selidik. Dan refleks Sasa menggeleng. “WAH! Maen-maen si Rafa!" “Woy, Dion!” panggil Alexa pada Dion yang baru menyelesaikan makannya. “Sini lo!” panggilnya lagi ketika Dion telah melihat ke arah mereka. “Gue ada rencana. Lo diem bae aja ye, Sa!” Sasa tak tau harus bagaimana. Ia hanya diam saat Alexa berjalan menuju meja seorang pria asing yang duduk sendirian. Sedangkan Vela dan Riana gencar mengancam Dion yang entah apa. Kemudian Nanda yang siap dengan ponsel di tangannya. “Kalian mau ngapain, sih?” jengah Sasa. Namun teman-temannya itu tidak ada yang menjawab. Hingga Alexa kembali dengan pria bule di sampingnya. “In here, Sir." Sasa tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba orang asing itu duduk di depan Sasa. Sedangkan temannya yang lain malah minggat dan agak menjauh. “Diem di situ, Sasa!” peringat Riana melotot ketika Sasa ingin ikut beranjak. Sasa keheranan. Terlebih saat melihat Dion yang ditahan Riana dan Vela. Sedangkan wajahnya nampak nelangsa, minta dikasihani. Menatap Sasa penuh permohonan, dan Sasa tidak mengerti artinya. Yang parahnya, laki-laki asing yang duduk di depannya itu, tak berhenti menatap wajah Sasa. “What’s your name, young lady?" Bersamaan dengan terdengarnya suara pria yang terdengar beraksen itu, Sasa pun menoleh ke arahnya. Dan dengan liciknya, Nanda memotret posisi Sasa yang seolah tengah berkencan berdua dengan pria bule itu. “Udah dapat, woy!” sorak Nanda mencak-mencak melihat hasil fotonya. “Aesthetic, nih!” balas Riana setelah melihat ponsel Nanda. Sasa dibuat kesal juga lama-lama akan tingkah teman-temannya ini. Sekarang Alexa menghampiri si pria bule tadi. “Thanks, for your help." “You’re welcome." Pria tersebut pergi setelah memberikan kedipan matanya pada Sasa. Begitu si pria yang Alexa mintai bantuan itu telah pergi, Sasa langsung menatap tajam teman-temannya, termasuk Dion yang akhirnya bergabung dengan para gadis-gadis itu. Kepalanya menunduk dalam. ‘Saya tidak melakukan apa-apa, Nona. Kenapa saya juga ditatap begitu,' protes Dion dalam hati. Ia ditatap tajam oleh Sasa seolah-olah ini semua rencananya. Padahal Dion tidak tau apa-apa. Ia hanya tiba-tiba dipanggil dan diancam untuk tidak mencegah rencana mereka. “Kalian sebenernya ngapain, sih? Untung aja tempat ini gak terlalu rame, kalau gak, kita udah jadi pusat perhatian,” ketus Sasa mengomel. “Udah lah, Sa. Diem aja selingkuhan,” sarkas Riana yang membuat Sasa menggeram pelan. “Selingkuhan yang paling dicintai,” celetuk Nanda dengan mata memejam, sok menerawang. “Ck, terserah. Ayo pulang!” Sasa berdecak sebelum langsung beranjak dari sana setelah mengenakan sling bag nya. Tidak perlu memikirkan belanjaannya, karena Dion pasti cepat-cepat mengekorinya. *** “Enak aja lu main tinggal-tinggal!” Sasa mengabaikan cibiran Riana ketika keempat temannya itu telah menyusulnya masuk ke mobil. Dion tengah menyetir dengan Nanda yang duduk di sampingnya, serta Riana yang duduk di paling belakang, sedangkan di bangku ketiga diduduki Vela, Sasa dan Alexa. “Rempong kalian." Vela bergumam pelan. Namun masih terdengar oleh Alexa yang tak terima. “Woah woah! Bisa-bisanya bilangin sahabat sendiri rempong?!” sembur Alexa berapi-api. “Ya kan emang gitu.“ Ting! Ponsel milik Sasa yang sedari tadi ia pegang, berdenting berkali-kali. Menandakan ada pesan masuk beruntun. Menghela nafas kasar disertai mood yang hancur, Sasa langsung membuka ponselnya. Ia pikir Rafa yang menjadi pelaku kebisingan ponselnya, rupanya.... benar-benar membuatnya cukup sebal. ___ Project Baby Gemoy Seumuran (PBGS) Anda telah ditambahkan ___ Sasa terdiam dengan lirikan sinis pada keempat temannya saat melihat nama group chat yang berisikan anggota selain ada dirinya, ada Ghea, Riana, Alexa, Claretta, Alina, Nanda, dan Vela. Mereka sibuk mengoceh di group chat tersebut, hingga mata Sasa membulat begitu melihat chat terakhir dari Claretta yang baru saja masuk di ponselnya. ____ Claretta | SASA! Lo harus nikah sama Rafa. Nikah aja di Bali, gak akan ada yang tau. Nanti si Rafa sama Gio yang ngurus! Cepetlah nikah, supaya bisa rasaian malam pertama. Enak loh! | _____ "Apaan, nih?" gumam Sasa dengan wajah yang sudah tak enak dilihat. Alexa dan Riana sudah menggerutu ketika membaca chat terakhir dari Claretta yang kini sudah off. 'Pasti langsung gelud-gelud enak sama Fano di ranjang, nih habis ini!' cibir mereka dalam hati. Memfitnah kedua suami istri itu. "Nyebelin ini anak," gumam Nanda yang entah sejak kapan sudah ngemil di kursi depan. “Ini apaan, sih?! Group chat apaan?!” pekik Sasa tertahan. “Aduh, aduh selingkuhan! Kita tuh buat projects baby gemoy seumuran! Harus buat baby sama-sama. Supaya anak-anak kita seumuran!” jelas Riana nyempil dari kursi belakang. “Ck, gampang banget ngomong. Lo semua mau hamil di luar nikah?!” “Astaghfirullah, mulut kamu berdosa sekali, huhu.” “Gak gitu juga lah, Sa! Maksudnya kita semua setelah nikah gitu. Terus program baby gemoy dan harus seumuran,” seloroh Alexa kesal. “Terus gue gimana? Gue jomblo kalau kalian lupa,” cibir Nanda dari depan. “Tuh si Dion ada,” sahut Vela dengan wajah datar. Membuat Dion tersentak. “K-kok saya, Nona?” “Ya kan lo jomblo! Gak laku!” Alexa yang menjawab, bukan Vela. “Saya bukan tidak laku, Nona. Hanya jodohnya belum ketemu,” sahut Dion tetap formal. “Ya elah, pinter juga bawahan lo ngejawab, Sa.” Riana menatap malas pada Dion yang fokus pada jalan di depannya. “Kalau dia gak pinter, gak mungkin lah jadi orang kepercayaannya Rafa,” gumam Sasa malas. Dion yang duduk di depan sontak tersenyum lebar. “Ah, terimakasih, Nona. Saya sangat--“ “Gak usah baper! Ntar lo dipenggal Rafa!” Dion menelan salivanya susah payah saat Riana menyela dengan ketus. Padahal ia cuma ingin berterimakasih. Nanda tertawa. “Miris banget lu, Dion!” Alexa kembali menyenggol lengan Sasa. “Harus ya, Sa? Kita buat baby supaya seumuran semua nanti pas brojol!” Sasa mendengus malas. "Gak waras lo semua."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD