Bukan Perempuan Biasa

988 Words
“Brandon. Bisakah aku ikut ke pesta dansa ini? Aku ingin ikut bersamamu, Brandon.” Veronica memberikan undangan tersebut kepada Brandon. “Hah? Aku tidak salah dengar? Kau ingin ikut ke pesta yang dikhususkan hanya untuk orang kaya raya seperti kami? Jangan bermimpi, Veronica!” ucap Agnes—kakak tertua Brandon. Sementara Brandon Attarick—pria tampan nan sukses tapi juga angkuh berusia tiga puluh tiga tahun hanya diam saja tak menanggapi ucapan Agnes, seolah membenarkan ucapan kakaknya itu. Veronica menatap Brandon. “Apakah aku benar-benar tidak diizinkan untuk ikut bersamamu, Brandon?” tanya Veronica. Meski ia tahu akan mendapat penolakan, namun ia tetap berpikir positif suaminya akan berubah. “Tidak bisa. Kuotanya sudah penuh. Kau harus memiliki undangan yang baru jika ingin ikut,” ucap Brandon menolak permintaan Veronica. Wanita itu akhirnya diam penuh dengan keputusasaan. “Sudahlah, Veronica. Kau ikut saja dengan kami ke mall, untuk membeli beberapa gaun yang harus kami kenakan. Setidaknya kau bisa membeli baju baru untukmu.” Agnes mengajak Veronica untuk ikut bersamanya membeli gaun di mall. Veronica mengangguk, menuruti ajakan tersebut. Sebab memang ia tidak pernah menolak apa pun yang diperintahkan oleh keluarga Brandon meski itu sangat menyakitkan. Sesampainya di mall. Seperti biasa, Veronica dijadikan kacung di sana. Kedua tangannya penuh dengan tas belanjaan milik kakak ipar, suami dan juga ibu mertuanya. “Hi, Brandon. Senang rasanya bisa bertemu kau di sini. Apa kabar?” Luna—kerabat dekat Brandon menghampiri lelaki itu. “Hi, Luna. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?” tanyanya ramah. Veronica memandang dengan hati yang sangat rapuh, melihat suaminya yang begitu akrab dengan seorang wanita. Sangat berbanding terbalik jika memperlakukan dirinya. Bahkan saat tangan bergelendotan di tangan Brandon, tak sedikit pun lelaki itu melepaskan tangan Luna. Mereka malah asyik mengobrol sampai membuat ubun-ubun Veronica mendidih. “Aku tunggu kabar baiknya, Brandon. Jika bisa, secepatnya.” Luna mengusap pundak Brandon dengan lembut seraya mengulas senyum manisnya. Tak lupa ia melirik Veronica penuh dengan intimidasi. Memperlihatkan ketidaksukaannya pada wanita itu. ** Dua hari setelah pertemuan Brandon dengan Luna di mall. Seperti ada sesuatu yang memang mereka bicarakan. Tiba-tiba, tidak ada angin, tidak ada hujan. Brandon melemparkan surat cerai kepada Veronica yang sedang membersihkan piring sisa makan malam tadi. “Mulai detik ini, kau bukan lagi istriku. Kita bercerai dan jangan pernah injakkan kakimu di rumah ini lagi!” “Apa maksudmu, Brandon? Mengapa kau tega menceraikanku? Apa salahku padamu?” ucap Veronica memelas. “Masih bertanya, mengapa aku menceraikanmu? Tanya pada dirimu sendiri. Mengapa hingga saat ini, di usia pernikahan kita yang ketiga, kau belum juga memberiku keturunan! Kau berbohong padaku jika kau memiliki harta di desamu, kau telah menipuku, Veronica!” Veronica menghela napas dalam-dalam sembari memegang erat-erat surat perceraian itu. “Sekarang kemas pakaianmu, dan pergi dari rumah ini!” titah Brandon yang sepertinya tidak ingin lagi melihat wajah Veronica ada di rumah itu. Agnes—kakak tertua Brandon melihat dengan angkuh Veronica yang diceraikan oleh adiknya itu. Ia sangat puas karena Brandon telah membuang wanita kampungan itu di rumah megah mereka. “Good, Brandon. Seharusnya kau lakukan sejak lama, membuang sampah busuk ini!” ucap Agnes penuh hina. Hembusan angin malam yang dingin membelai jendela kamar Veronica saat dia duduk sendiri di tepi ranjang. Pikirannya terombang-ambing di antara kenangan manis dan kepahitan yang telah dia alami selama tiga tahun pernikahannya dengan suaminya, Brandon. “Semuanya hanya sia-sia,” ucap Veronica lirih. Tiga tahun yang lalu, di hari pernikahannya, Veronica merasa seperti melayang di atas awan. Cinta yang tulus dan bersemi di antara mereka membuatnya yakin bahwa mereka akan memiliki hidup yang bahagia bersama. Namun, kenyataan yang pahit mulai menampakkan diri ketika Veronica mulai memahami dinamika keluarga suaminya. Sebagai seorang gadis desa yang tumbuh dalam keterbatasan, Veronica tidak pernah menyangka bahwa dia akan menikahi seorang pria dari keluarga kaya raya seperti Brandon. Namun, kekayaan materi tidaklah selalu sebanding dengan kekayaan hati. Keluarga Brandon, terutama ibu mertuanya, tidak pernah menyukai Veronica. Mereka merasa bahwa Veronica bukanlah wanita yang pantas bagi Brandon, seorang pria dari latar belakang yang terhormat dan berada. Mereka merendahkan Veronica, menempatkannya dalam posisi rendah dan memaksa dia untuk melakukan segala sesuatu dengan harapan untuk mengusirnya. Dalam tiga tahun itu, Veronica belajar menerima kenyataan yang pahit. Dia dipaksa untuk melakukan segala pekerjaan rumah tangga seorang diri, tanpa pernah mendapatkan ucapan terima kasih. Bahkan, lebih menyakitkan lagi, dia menyadari bahwa dia tidak bisa memberikan suami yang dia cintai begitu dalam itu, kebahagiaan yang dia inginkan. Namun, di tengah semua penderitaan itu, cinta Veronica kepada Brandon tetap bersemi. Setiap hari, dia bangun dengan harapan bahwa suaminya akan akhirnya membalas cintanya, bahwa suatu hari keluarga Brandon akan menerima keberadaannya dengan tulus. Namun, seiring waktu berlalu, harapan itu semakin pudar. Hingga pada suatu malam, ketika bulan terang bercerita tentang kesedihan yang tak terucap, Brandon dengan dinginnya melemparkan surat perceraian di hadapannya. Itulah titik balik yang mengguncangkan dunia Veronica. Dia menyadari bahwa cinta yang dia berikan selama ini tidak pernah dihargai. Dan dalam kegelapan yang mendalam itu, dia menyadari bahwa hidupnya harus kembali ke titik awal. Kembali ke keluarganya, kembali menemukan siapa sebenarnya dia, dan mungkin, menemukan kembali arti sejati dari kebahagiaan yang telah lama hilang dalam bayang-bayang penderitaan. ** Setelah malam yang gelap dan memilukan itu, Veronica kembali ke rumah keluarganya dengan hati yang hancur dan semangat yang terguncang. Namun, di balik lapisan duka yang dalam, terpendam sebuah kekuatan yang tak terduga, kekuatan yang telah lama terpendam dalam dirinya. “Tidak bisa! Sudah cukup, Veronica. Kau telah membuatku emosi! Keluarga mantan suamimu itu benar-benar membuat emosiku mendidih!” Samara—sang ibu begitu sakit hati mendengar kabar perceraian anaknya itu. Kembali ke rumah keluarganya, Veronica menemui dukungan dan kasih sayang yang telah lama dia rindukan. Sementara itu, di dalam keheningan rumah besar keluarga, Veronica memikirkan ucapan sang ibu untuk mengungkapkan identitas dia sebenarnya. “Lusa, akan ada pesta dansa. Kau harus datang dan tampil dengan elegan di sana, Veronica! Tunjukkan siapa dirimu sebenarnya, terutama di hadapan keluarga mantan suamimu itu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD