Hari kemenangan tiba, keluarga Hanung juga sudah selesai melaksanakan salat sunah Aidul Fitri bersama istri, menantu, putri, dan para pegawai yang masih berada di rumah. Mereka sudah membagi tugas dan bergantian di setiap tahunnya. Kebetulan para bodyguard yang dipekerjakan oleh Hanung pun bukan hanya bekerja setahun atau dua tahun saja, melainkan ada yang sudah sepuluh tahun lamanya. Hanung bukan lelaki yang mudah menerima pekerja baru, dia menyukai pekerja yang setia padanya.
Di kediaman Kusuma, kini sedang ada acara makan-makan usai salat. Namun tetap saja, yang berada di meja makan hanyalah majikan. Para pekerja makan di meja makan khusus pegawai di area belakang dan menunya pun tidak dibedakan. Hanya tempat saja yang berbeda.
"Kalian mau langsung pergi ke rumahnya Mbak Luna?" tanya Vidya di sela-sela acara makan mereka.
"Terserah Indra saja, Ma." jawab Tasya seraya memasukkan lontong sayur hasil masakan Inem semalam ke dalam mulut.
Vidya dan Hanung merasa heran akan tingkah Tasya. Putrinya itu dari kemarin setiap ditanya selalu jawabannya terserah Indra. Barusan mereka juga mendengar jawaban yang sama.
"Kamu ada masalah, Sya?" Hanung menyadari anak perempuannya itu tidak seperti biasanya.
"Ah... Mungkin Tasya lagi capek saja, Pa." Indra menyela agar Hanung tidak bertanya-tanya lebih jauh yang mungkin bisa membuat Tasya tidak nyaman.
Jawaban Indra membuat Hanung mengalah. Dia membiarkan saja Tasya dan Indra, karena bagaimanapun dia tidak ingin mencampuri urusan sepasang pengantin baru.
"Kalian langsung ke rumah Papa Farhan saja, pasti beliau menunggu kedatangan kalian." saran Hanung.
Tasya hanya diam, tidak ikut menyahut atau mengatakan apa pun. Karena jujur saja, dari kemarin dia sedang meratapi nasibnya. Otaknya terus berpikir, bagaimana caranya keluar dari ikatannya dengan Indra.
"Maaf, tapi apa tidak di sini saja dulu. Nanti kalau ada keluarga datang, bagaimana?" Indra penasaran, kenapa dia belum pernah bertemu atau dikenalkan kepada keluarga besar kedua mertuanya.
Pertanyaan Indra barusan membuat Vidya menghentikan gerak tangannya. Dia tahu, cepat atau lambat juga Indra akan menanyakan hal ini. Sedangkan Hanung, lelaki paruh baya itu hanya tersenyum ke arah sang menantu.
"Para pekerja di rumah ini adalah keluarga Papa." jelas Hanung.
Meski jawaban Hanung tidak memuaskan bagi Indra, tapi dia berusaha mengerti. Kepalanya mengangguk dan memilih lanjut makan. Hidangan seenak itu tidak boleh dilewatkan begitu saja. Lagi pula, nanti seiring berjalannya waktu juga Indra akan paham lebih jauh tanpa dia harus meminta.
Usai makan, Indra menuruti apa mau Hanung yang memintanya agar segera pergi ke rumah Farhan. Tasya pun menurut saja, tidak membantah atau protes.
"Akan ada beberapa bodyguard Papa yang akan mengawal sampai rumah Papa Farhan." ujar Hanung mengiringi langkah kaki Indra dan Tasya.
Untuk Indra, dia sedikit kurang nyaman kalau harus dijaga oleh bodyguard. Karena dari dulu, dia tidak pernah mengalami hal seperti ini. Indra mulai dijaga oleh bodyguard di hari-hari tertentu adalah dari Farhan mengatakan bahwa dirinya akan dijodohkan. Berbeda dengan Tasya yang merasa sudah sangat biasa dikawal oleh bodyguard sejak dia memilih ikut bersama kedua orang tuanya ke Palembang. Hanya saja bedanya, kalau dulu hanya tiga bodyguard. Sekarang lebih dari delapan bodyguard.
"Padahal tidak harus sampai seperti ini segala, Pa."
"Tidak apa-apa, Ndra. Papa cuma ingin kalian selamat di jalan sampai tujuan." Hanung tidak mendengarkan apa kata Indra yang bisa dibilang menolak.
"Ya sudahlah, enggak apa-apa dikawal juga." Tasya angkat bicara sekarang.
Keempat orang tersebut sampai di depan pintu utama. Namun ternyata, ada lelaki muda berusia 26 tahun baru saja datang seorang diri. Semua melihat lelaki itu sedang memperbaiki jas hitamnya sambil berjalan ke arah Hanung.
"Selamat pagi, Pak." sapa lelaki muda tersebut ramah.
"Pagi..." balas Hanung tak kalah ramahnya.
Lelaki dengan rambut potongan cacah dan sedikit berponi itu ganti menyalami Vidya. Terpampang jelas senyuman di wajahnya.
"Pagi Mbak Tasya, Mas." sapanya ganti kepada Tasya dan Indra.
Indra juga membalas secara sopan. Jika diingat-ingat, Indra seperti pernah melihat lelaki tersebut. Hanya saja Indra sedikit lupa, di mana dia melihatnya.
"Pagi Pak Refan, pagi ini lo norak pakai dasi itu." ucap Tasya tanpa berbasa-basi dan diiringi dengan nada humornya.
Ketiga orang di sana selain lelaki bernama Refan tadi sedikit heran dengan perubahan sikap Tasya. Padahal tadi mereka ingat betul kalau Tasya bad mood. Namun saat melihat Refan, perempuan berparas manis itu bisa sedikit terkekeh.
"Ah... Akan saya lepas dasinya. Dan jangan panggil saya Pak, cukup nama saja tidak apa-apa." Refan ikut terkekeh seraya memegang dasinya dan akan melepas.
"Tidak perlu dilepas, gue mau pergi ke rumah mertua gue kok." cegah Tasya sambil menutup mulutnya menahan tawa.
Refan pun menghentikan gerakan tangannya. Lelaki itu sedikit nyeri ketika mendengar Tasya akan pergi ke rumah mertuanya. Tanpa Tasya ketahui, Refan sebenarnya memiliki rasa untuknya. Hanya saja, Refan tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya kepada putri rekan kerjanya. Sampai akhirnya, Refan harus memendam dan merelakan Tasya menikah dengan Indra.
Tasya sendiri, dia hanya menganggap Refan seperti kakak sedari dulu. Refan sudah menjadi pengacara penasihat untuk Farhan dan Hanung yang tepatnya dia bekerja di Aloona.
"Saya baru saja pulang dari rumah Pak Farhan."
"Ah... Gue ingat, lo yang sering ke rumah buat ketemu sama Papa kan?" sedari tadi ternyata Indra mengingat-ingat di mana dia pernah melihat Refan.
"Benar, Mas Indra." sebagai rasa hormatnya kepada putra sang direktur, Refan juga bersikap sopan pada Indra.
"Ayo masuk, Tante sudah masak banyak. Pokoknya kamu harus makan yang banyak." ajak Vidya ramah, namun masih berdiri di depan pintu utama.
Tak menunggu lama lagi, Indra dan Tasya pamit pergi ke kediaman Mahardika. Tentunya diikuti kedua belas bodyguard yang tugaskan oleh Hanung.
Kalau Indra dan Tasya beranjak pergi, Vidya dan Hanung mengajak Refan ke meja makan. Wanita paruh baya itu menyiapkan makanan yang memang tidak disingkirkan dari meja makan.
"Dimakan ya yang banyak, pasti enak masakan Tante." Vidya memotongkan lontong ke piring kosong di depan Refan dan mengambilkan sayur opor serta yang lainnya.
"Mbak Inem kan yang masak, bukan Tante sendiri?" goda Refan sambil terkekeh.
"Yah... Ketahuan."
Kedua lelaki di sana tertawa mendengar pengakuan Vidya. Meski itu bukan masakan Vidya, Refan tetap memakannya. Vidya juga ikut duduk di samping suaminya.
"Saya minta maaf sama kamu, Ref." ujar Hanung secara tiba-tiba, membuat Refan berpikir sejenak.
"Karena tidak menjadikan kamu menantu di rumah ini." sambung Hanung.
"Pak..." Refan tidak tahu harus menjawab atau menyahut apa.
"Saya tahu, kamu menyukai Tasya. Tapi saya tidak bisa membiarkan Pak Farhan berjuang sendirian. Saya yakin, kamu lebih kuat dari apa yang dilihat." Hanung tidak ingin menutupi apa yang seharusnya dia katakan.
"Saya percaya, kamu orang baik dan setia. Saya mau, kamu menempatkan kesetiaan itu bukan hanya untuk soal cinta saja." pinta Hanung tulus dari hati.
Kata-kata Hanung seolah menjadi tamparan bagi Refan. Lelaki itu mengerti sampai sejauh ini. Dari awal Hanung bekerja, memang untuk Farhan dan tangan kanan direktur utama. Jadi sampai sejauh apa pun, Refan tidak akan mengkhianati majikan yang memberinya makan.
"Baik Pak." angguk Refan sopan.
***
"Anak Mama yang paling cantik sudah datang." sambut Luna saat Tasya dan Indra baru masuk rumah.
Di rumah Farhan, sudah ada beberapa keluarga yang berdatangan. Mereka semua mayoritasnya dari keluarga besar Luna. Keluarga Farhan sendiri, sudah jelas kalau lelaki itu hanya memiliki satu kakak dan kedua orang tuanya sudah lama meninggal.
Luna semangat 45 saat mengajak Tasya berkumpul dengan keluarga besarnya. Terlebih bagi mereka yang kemarin tidak bisa hadir di hari pernikahan Indra.
Indra sendiri pun langsung menyalami semua keluarganya. Jarang sekali bisa kumpul begini kalau tidak sedang hari besar atau ketika ada acara tertentu.
"Ora ape dolan neng ngomae Budhe? Opo wes lali dalane? (Enggak mau main ke rumah Budhe? Apa sudah lupa jalannya?)" goda seorang wanita tua yang Indra tahu dia adalah kakak Luna.
"Mengke mawon Budhe, nek mpun selo saget tindak mriko. Mboten supe kok, mung nembe kathah pegawean mawon. (Nanti saja Budhe, kalau ada waktu senggang bisa main ke sana. Enggak lupa kok, cuma lagi banyak kerjaan saja)." sahut Indra menggunakan bahasa Jawa yang menurutnya itu sudah Jawa kromo.
Semuanya lanjut bercanda. Luna juga menawarkan makan untuk Tasya dan Indra, tapi keduanya bilang sudah makan.
Tak terasa, waktu berlalu sangat cepat. Apalagi kalau sedang bersama keluarga begini, mau membicarakan apa saja juga tidak terasa.
"Sudah mau makan siang, ayo siap-siap ke rumah Budhe Olyn." ajak Farhan.
Mendengar bahwa harus ke rumah Olyn, seketika Indra merasa malas. Dia ingat apa kata Hanung tadi pagi yang bilang bahwa jam makan siang kali ini, mereka akan melangsungkannya di kediaman Nawawi.
Keluarga besar Luna sudah paham, kalau suami Luna adalah orang penting. Jadi mereka tidak tersinggung kalau sedang bertamu, mereka harus ditinggalkan.
"Aku harus banget ikut ya, Ma?" pandangan Indra pada Luna terlihat sayu, seolah lelaki itu enggan bertemu dengan kakak dari papanya.
"Harus dong, jangan sembunyi di balik punggung Papamu terus."
Bukan hanya Indra yang malas, tapi begitu pula dengan Tasya.
"Mbak, nikmati saja di rumah. Aku sama Luna dan anak-anak harus ke rumah Mbak Olyn. Jangan sungkan-sungkan kalau butuh apa-apa, tinggal minta saja ke pembantu di belakang." ujar Farhan kepada saudara-saudara istrinya.
Mereka mengangguk mengerti. Luna memang berasal dari keluarga sederhana dan memiliki banyak saudara. Namun mereka tidak seperti saudara pada dunia sinetron atau film yang kalau ada saudaranya menikah dengan orang kaya maka mereka akan memoroti saudaranya. Keluarga besar Luna cukup tahu diri dan tidak menuntut ini itu kepada Luna. Hal itulah yang membuat Farhan juga respect kepada mereka.
"Iya, sudah jangan khawatirkan kami." balas kakak tertua Luna.
Indra sudah turun dari lantai dua bersama Tasya. Mereka baru saja mengganti pakaian yang bisa dibilang semi formal. Tubuh Indra terbalut jas navy, senada dengan dress yang dipakai Tasya. Luna sengaja meminta Della menyiapkan itu untuk Indra dan Tasya.
"Ndra, enggak bisa ya gue di rumah saja?" bisik Tasya di dekat telinga Indra, takut kalau Farhan mendengar.
"Aku juga harus ikut, ya jelas kamu wajib mendampingi." Indra tak kalah berbisiknya saat mengatakan hal berikut.
Tak lama, ada empat mobil datang dan berhenti di depan kediaman Mahardika. Tasya mengenali mobil tersebut, karena itu milik papanya dan ada mobil milik Refan serta kedua lainnya berisi bodyguard bayaran Hanung.
Farhan dan Luna sudah masuk ke dalam mobil yang berada di jajaran nomor dua. Kemudian disusul oleh Tasya dan Indra yang memasuki mobil nomor tiga. Mobil pertama sudah melaju, diikuti mobil berisi Farhan kemudian nomor tiga ada mobil yang di dalamnya ada Hanung. Barulah mobil yang dinaiki Indra melaju, di belakangnya ada Refan dan diakhiri oleh keempat mobil berisi para bodyguard.
"Bakal lama enggak sih?" Tasya sudah pening sendiri mengingat mereka akan bertemu dengan Olyn.
Pertemuan pertamanya yang mendapat kesan kurang mengenakkan waktu itu membuat Tasya kapok. Tapi dia tidak bisa menghindar atau membantah apa kata Hanung.
"Aku juga enggak tahu." desah Indra.
Tidak lama, sepuluh menit kemudian mereka sampai di pelataran rumah yang dihuni oleh Tora sekeluarga. Para penjaga membukakan pintu untuk mobil yang berdatangan.
Farhan memandu jalan, diikuti Hanung dan formasi masih sama seperti urutan mobil tadi. Beberapa bodyguard juga ikut masuk dan ada yang berjaga di luar.
"Sya, jangan lupa matikan ponsel." Hanung menoleh sebentar ke arah putrinya hanya untuk mengatakan hal berikut.
Tasya mengangguk lalu menuruti apa kata Hanung. Begitu pula dengan Indra yang melakukan hal sama. Dua orang pelayan membukakan pintu untuk tamu majikan mereka. Kediaman Nawawi ini mirip seperti kediaman di istana kerajaan yang di satu lorongnya memiliki berlapis-lapis pintu. Jadi untuk masuk pun, mereka harus melewati pintu tersebut. Untung saja, Olyn memperkerjakan banyak pelayan untuk menjadi jasa pembuka pintu. Jadi kalau ada tamu penting, tamunya tidak perlu susah payah membuka semua pintu.
Hanung maju saat mereka sampai di depan meja sekretaris yang ada di sebelah pintu inti. Walaupun mereka sudah melewati banyak pintu, tapi mereka belum sampai di dalam rumah yang sebenarnya. Mereka akan sampai, setelah melewati pintu yang ada di depan mereka sekarang.
"Sudah membuat janji dan mendapat izin temu." Hanung memperlihatkan bukti kepada wanita muda berpenampilan sopan tadi.
"Baik Pak, tunggu sebentar. Saya akan memberi tahu Ibu Olyn terlebih dahulu." ujarnya sopan.
Kadang Farhan berpikir, dirinya yang menjadi direktur utama saja penjagaan rumah tidak sampai seperti ini. Lalu Olyn, sebagai direktur eksekutif malah sangat over protektif dalam menjaga diri. Memang tidak ada salahnya, tapi membuat rumah sebegini mewah itu tidak mengeluarkan modal yang sedikit. Namun Farhan berusaha positif, mungkin saja Olyn menerima harta warisan yang lain dari kedua orang tua mereka.
"Bisa masuk, Pak." ujarnya.
Pintu terbuka secara otomatis karena pintu tersebut menggunakan sandi yang dipegang oleh asisten dalam. Bahkan sekretaris tadi pun tidak tahu apa sandi pintu tersebut.
Setelah masuk, mereka disambut oleh Olyn dan Tora. Seperti biasa, Olyn tampak anggun mengenakan dress sebatas lutut dihiasi banyak sekali perhiasan yang menempel di tubuh. Usia senja tidak membuat aura kecantikan di diri Olyn sirna begitu saja.
"Selamat datang di gubukku ini, adikku tersayang." sambut Olyn seraya tersenyum semringah menatap adik satu-satunya.
"Selamat siang, Mbak." sapa Farhan sopan, karena dia masih menghormati Olyn sebagai kakaknya.
"Gubuk dia bilang? Rumah kayak begini masih enggak bersyukur saja jadi orang. Kalau kayak begini gubuk, terus yang dibilang rumah itu kayak gimana? Yang berlantai lima? Rumah sakit kali ah." Gerutu Tasya di dalam hatinya.
Walaupun Tasya tidak menyukai pernikahannya dengan Indra, tapi dia sangat bersyukur Indra masih memberikan tempat tinggal yang jauh dari kata layak untuknya. Hal ini membuat perempuan itu jadi berpikir yang tidak-tidak tentang Olyn.
"Kenapa bengong, menantunya Pak Farhan?" Tora menggoda Tasya yang sedari tadi diam dengan tatapan kosong.
Indra meremas jemari Tasya agar istrinya sadar, dan Tasya langsung terkesiap saat Tora berdiri di depannya.
"Sepertinya kamu tidak senang berada di sini?" tatapan Tora pada Tasya, tak terbaca oleh Indra.
"Ah... Enggak kok, mana ada sih orang tidak senang berada di istana semegah ini." sahut Tasya seraya mengembangkan senyum manisnya.
"Tasya hanya tidak pernah melihat rumah sehebat ini, jadi wajar saja kalau dia sampai bengong." bela Hanung agar Tora tidak menyudutkan putrinya.
"Sudah-sudah, kita langsung ke ruang makan saja. Ini kan hari lebaran, kita harus saling memaafkan." Olyn melerai, dia tidak mau kalau sampai ada keributan atau apa saja yang membuat kurang nyaman.
Mereka langsung berjalan mengikuti ke mana Olyn mengajak mereka. Sungguh, rumah itu sangat luas sekali dan banyak barang-barang mewah nan mahal di dalamnya. Hanya sepintas melihat saja, Tasya sudah tahu itu barang mahal atau murah dan asli atau tidak. Kebetulan, barang di sama semuanya mahal, mewah dan asli.
"Kamu kenapa?" tanya Indra heran saat Tasya semakin mengeratkan tangannya di lengan Indra.
"Gue enggak suka sama tatapan suaminya Budhe lo." bisik Tasya.
Indra langsung menggamit pinggang Tasya agar istrinya tidak terlihat sedang ketakutan. Untuk kali ini, Tasya mengalah dan membiarkan Indra melakukan apa saja padanya.
***
Next...