15. Kita Lihat

2227 Words
Di atas ranjang, Tasya terus melihat celengan dari tanah liat yang berbentuk pengantin wanita memakai gaun putih dan memegang buket bunga sambil tersenyum manis. Tadi, dia sudah memasukkan beberapa koin lima ratus dan seribu ke dalamnya. Televisi saja kalah dengan celengan bagi Tasya sekarang. Sebenarnya di atas ranjang, tidak hanya ada celengan saja. Tapi juga ada seprai, baju tidur, dan ada satu cincin emas sekaligus tempatnya. Namun yang menarik perhatian Tasya, ialah celengan dari tanah liat tersebut. Semua itu pemberian beberapa keluarga besar Indra yang tidak bisa hadir di hari pernikahannya kemarin. Wajah Tasya dihiasi senyuman. Flashback On. "Ini kado dari Budhe buat pernikahan kalian. Memang tidak besar atau mahal, tapi ini Budhe buat dengan tangan Budhe sendiri." ujar Denok, kakak tertua Luna. Tasya menerima celengan sepasang pengantin, ada bentuk pengantin laki-lakinya yang mengenakan jas dan pengantin wanitanya memakai gaun. Melihatnya saja sudah membuat Tasya tersenyum. "Aku tidak butuh hadiah mahal yang hanya sebatas hadiah, Budhe. Meski tidak mahal, tapi kalau di dalam hadiah itu ada rasa sayang dan ketulusan, aku sangat suka." angguk Tasya tanpa bohong. Sepulang dari kediaman Olyn, mereka memang kembali ke rumah Farhan. Luna ingin makan bersama dengan Indra juga Tasya di hari lebaran bersama keluarga besar. "Makasih ya, sudah mau menerima." Denok merasa terharu dengan kata-kata Tasya barusan. Suasana haru terjadi di antara dua wanita tersebut. Mereka hanya berdua, tidak ada siapa-siapa di sana. "Harusnya aku yang bilang makasih, sudah diberi kado seperti ini." Denok memeluk menantu adiknya langsung, dia mengusap kepala belakang Tasya layaknya putrinya sendiri. Tidak lama, hanya sebentar lalu Denok kembali melepaskan pelukan itu lagi. "Celengan ini melambangkan, namanya orang hidup terlebih seorang istri itu harus pintar-pintar mengatur uang dan wajib memiliki tabungan. Intinya, sisihkan uang belanja yang diberikan suamimu setiap bulannya." ujar Denok lagi. Perempuan itu kembali mengangguk, kurang lebihnya Tasya paham apa yang dimaksud oleh Denok barusan. Flashback Off. Wajah Tasya masih tersenyum melihat celengan dan beberapa kado di depannya. Seolah tak bisa luntur untuk saat ini. Ingatannya kembali memutar saat tadi makan malam di rumah Farhan bersama keluarga besar Indra. Bisa Tasya rasakan, Farhan tampak berbeda ketika mengenakan jas dan kaos biasa. Acara makan malamnya di rumah mertua tadi dipenuhi canda tawa dan kehangatan keluarga. Hal itu membuat hati Tasya menghangat. "Itu semua apaan?" suara Indra barusan membuat senyum Tasya sirna seketika. Indra langsung duduk di sebelah Tasya dan melihat semua barang yang ada di atas kasur. Indra melihat satu persatu, ada cincin, baju tidur, seprai dan terakhir celengan. "Itu kado dari keluarga lo tadi." kata Tasya seadanya lalu membereskan semua barang tadi ke atas meja dan kembali duduk di tempatnya semula. "Mereka kasih kamu kado? Kok enggak bilang-bilang ke aku sih?" heran Indra. "Itu punya lo celengan laki di atas meja." tunjuk Tasya pada satu celengan lagi yang masih dibungkus plastik seperti sebuah parsel. Lelaki hitam manis itu hanya mengangguk mengerti. Mereka lalu terdiam, saling bergelut dengan pikiran masing-masing. "Kamu tadi kelihatan beda banget pas sama keluarga Mama di rumah." Indra membuka obrolan yang entah akan ditanggapi atau tidak oleh Tasya. "Keluarga lo asik ya ternyata. Ternyata seperti itu rasanya bercanda bareng sama sepupu, sama keluarga besar." mood Tasya tiba-tiba berubah lagi, dia tampak senang saat Indra membahas tentang keluarga. Dari tempatnya, Indra hanya melirik ke arah Tasya. Sedikit heran dengan reaksi Tasya tentang keluarga. "Gue belum pernah merasakan bercanda sama sepupu, sama Om sama Tante, makan bareng keluarga besar atau apa yang gue dapatkan tadi waktu kumpul sama keluarga besar lo." ungkap Tasya lagi, tanpa sadar dia mengatakan apa yang dia rasa di hatinya kepada Indra. Indra yang awalnya menganggap apa yang dikatakan Tasya itu hal biasa saja, kini jadi berubah tertarik. Lelaki itu semakin mendekatkan duduknya dengan Tasya. "Kamu belum pernah bercanda sama keluarga besar?" heran Indra. "Belum..." "Jalan sama sepupu?" "Enggak pernah." "Makan bareng sambil bercanda?" "Enggak ngerasain juga." Untuk sejenak Indra terdiam, dia jadi teringat pertanyaannya pada Hanung tadi pagi saat dia menanyakan keluarga istrinya. "Kalau Kakek sama Nenek, pasti kamu sudah pernah ketemu kan?" Ke sekian kalinya Tasya menggelengkan kepala. Tak dapat dipercaya, Indra sampai kaget mendengar pengakuan Tasya. Apa mereka benar-benar tidak memiliki keluarga. "Jadi setiap lebaran, enggak ada gitu yang datang ke rumah kamu atau kamu yang pergi ke rumah mereka?" Indra masih berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau apa yang dia dengar tadi mungkin saja salah. "Gue enggak pernah ngerasain itu semua, Ndra. Papa sama Mama selalu bilang, keluarga yang kita punya ya cuma pegawai setia Papa saja. Merekalah keluarga kita." Mulut Indra sampai menganga, jangan bilang kalau kedua mertuanya lahir dari batu atau dari dalam timun sampai-sampai tidak memiliki saudara meski hanya satu. Ah, mana mungkin. Ini bukan cerita timun emas yang lahir dari dalam mentimun. "Terus pegawai yang kerja sama Papa kamu itu, kebanyakan enggak pulang di hari raya. Apa mereka juga enggak punya keluarga?" ini pun menjadi bahan pertanyaan bagi Indra. "Mayoritasnya, para bodyguard Papa itu anak jalanan dulunya yang diberi pekerjaan sama Papa menjadi pengawal. Papa membekali mereka seni bela diri, mengajari mereka berbicara dan bersikap sopan, menjamin hidup mereka agar tidak menjadi gelandangan. Otomatis mereka yang memang tidak memiliki tujuan, mau bekerja sama Papa karena tidak perlu ijazah. Ada juga yang sudah berkeluarga, ada yang masih memiliki keluarga. Dan buat yang enggak pulang itu, itu pilihan mereka sendiri meski Papa sudah kasih jatah libur secara bergilir." Tasya menjelaskannya secara rinci, apa yang dia tahu dia katakan semuanya. Lagi-lagi Indra tidak dapat mengerti dan menebak jalan pikiran Hanung. Mertuanya itu berjiwa sosial juga ternyata. Tidak seperti kebanyakan orang kaya yang menghina gelandangan, tapi ini malah menarik mereka agar tidak hidup di jalanan. "Apa ini yang bikin Tasya bersikeras buat mendapatkan Virgo lagi? Karena Virgo pacar pertamanya, orang yang dulunya bisa memberi dia kasih sayang. Tasya berpikir, kalau dia sama Virgo lagi maka dia bakal merasa ada tempat untuk berbagi seperti dulu. Kalau gue ingat-ingat, Tasya memang enggak punya teman waktu dulu. Karena mainnya juga selalu sama Virgo dan teman-temannya Virgo yang enggak lain lagi ya gue, Rama, Bebby sama Helen." Batin Indra sambil menatap wajah Tasya lekat-lekat. "Sya..." "Lo apaan sih, enggak usah pegang-pegang!" darah tinggi Tasya naik seketika hanya karena Indra memegang tangannya. Suara Tasya sampai membuat Indra kaget, padahal dia sudah sering dibentak-bentak seperti ini oleh wanita di sampingnya itu. "Aku cuma mau bilang, ka..." "Ya bilang saja, enggak usah pakai pegang-pegang segala." perempuan itu sewot seperti wanita kedatangan tamu setiap bulannya. Bibir Indra berdesis karena kata-katanya terpotong oleh suara Tasya. Untung saja, Indra memiliki stock kesabaran lebih. "Kamu punya aku, kalau ada apa-apa cerita saja ke aku. Jangan sungkan, nanti aku dengerin kok." ungkap Indra membuat Tasya memicingkan sebelah matanya. "Berhenti mikirin gimana caranya buat dapetin Virgo lagi. Dia sudah enggak menganggap lo spesial, dia cuma mantan." secara hati-hati Indra mengatakan hal ini supaya bisa diterima oleh Tasya. "Enggak. Gue enggak mau berhenti. Gue bakal tetap mengusahakan segala cara supaya bisa dapetin Virgo." mata Tasya menatap Indra secara nyalang sekarang, sangat jauh berbeda seperti tadi. "Apa susahnya sih, menerima kenyataan kalau kamu itu sudah jadi istriku." decak Indra membuat Tasya yang ingin membaringkan tubuhnya jadi kembali duduk. Tatapan mereka saling bertemu, saling memancarkan aura kemarahan. Terlebih Tasya yang memang belum bisa menerima. Dadanya bergemuruh, amarahnya sulit sekali dikendalikan setelah dia menikah dengan Indra. "Lo boleh memiliki raga gue, tapi tidak dengan hati gue." suara Tasya terdengar mengerikan bagi orang lewat, tapi sayangnya tidak untuk Indra. Kekehan sumbang malah keluar dari bibir Indra. Dia melihat Tasya yang dipenuhi emosi. "Apa yang kamu bilang itu enggak sesuai kenyataan tahu enggak?" Indra secepat kilat melepaskan pakaiannya membuat Tasya gelagapan. Wanita itu menarik selimut secepatnya kemudian menurunkan sebelah kakinya dan berniat kabur. Belum sempat Tasya melangkah lebih jauh, Indra sudah lebih cepat menarik pinggangnya sampai Tasya terjatuh ke ranjang lagi. "Ndra, jangan." mohon Tasya. "Kamu bilang, aku boleh kan memiliki ragamu? Ya biarkan aku berbuat sesuka aku. Jadi buktikan apa yang barusan kamu ucapkan." smirk evil tercetak di wajah Indra, membuat Tasya menelan salivanya. Tasya masih menolak saat Indra membuka paksa baju tidurnya. Dia meringis karena kedua pergelangan tangannya terasa nyeri dipegang begitu kuat tangan kiri Indra. Tindakan berontak yang dia lakukan, tidak membuahkan hasil. Indra sudah berhasil melepaskan semua pakaian Tasya hingga wanita itu tidak lagi mengenakan sehelai benang pun. Segera Indra menarik selimut dan menutupi tubuh naked mereka. Kedua mata Tasya mengeluarkan air mata. Selalu saja begini, dia yang kalah dari lelaki yang masih bertahan di atasnya. Tubuhnya merinding saat Indra mulai mengecup leher dan dadanya. Bibir mungil Tasya mengerang pelan ketika dia merasakan Indra kembali bisa menyatukan tubuh mereka. "Kamu bilang kalau aku enggak bisa mendapatkan hatimu 'kan? Aku juga enggak butuh cinta dari kamu, Sya. Karena aku juga enggak cinta sama kamu." ucap Indra di sela-sela gerakannya. Tasya mencoba menghentikan tangisnya dan mengatur napasnya. Dia enggan menatap wajah Indra yang bisa dibilang sangat dekat dengan wajahnya. "Aku cuma butuh kamu menerima keadaan kita. Aku juga enggak masalah kalau kamu enggak bisa cinta sama aku. Karena aku juga enggak bisa berjanji buat kasih kamu cinta. Tapi aku mau, kamu sejalan sama aku. Menjalani apa yang ada dan saling menerima." lanjut Indra lagi kemudian dia mengecup leher istrinya. Lagi dan lagi, Tasya merasa geli dan merinding setiap kali Indra melakukan hal itu. Tangannya meremas seprai kuat-kuat dan hanya bisa menunggu sampai Indra selesai. Rasa gerah mulai mendera, tubuh mereka pun basah oleh keringat meski pendingin ruangan di kamar sudah menyala di suhu terendah. "Gue enggak suka kita sering-sering melakukan ini, Ndra. Ngerti dong." ungkap Tasya yang sudah berani menatap wajah Indra. "Gue takut hamil." lanjutnya. “Kenapa? Kamu hamil pun enggak dosa, ada aku sebagai Papanya." nafas Indra sedikit terengah-engah namun sebisa mungkin dia terus bergerak. "Tapi gue enggak suka." "Dan aku suka." Indra tetap tidak mau kalah. Rasa-rasanya percuma bicara dengan Indra tentang ketidaksukaannya atau ketidakmauannya. Karena lelaki itu tidak akan mengerti bagaimana menjadi Tasya. "Kamu itu perempuan, yang pegang kendali itu aku. Jadi ya terserah aku dong, mau melakukannya kapan saja. Perempuan enggak punya kendali dalam hal ini." Telak! Apa yang dikatakan Indra ada benarnya. Tasya tak bisa mengelak tentang kebenaran tersebut. "Gue bukan p*****r!" pekik Tasya yang sebenarnya dari tadi dia ingin berteriak. "Syut... Jangan kencang-kencang, nanti pengawal bayaran Papa kamu bisa dengar semua." Indra meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Tasya. "Hiks... Ndra sudah." tangis Tasya yang sempat berhenti kini datang lagi, air matanya kembali membasahi pelipis. "Ngomong-ngomong, aku enggak bilang kamu p*****r atau menganggap kamu pelacur." Indra tidak menghiraukan rengekan Tasya yang memintanya agar menyudahi gerakan di bawah. "Tapi lo paksa gue, seolah-olah gue wanita murahan." balasnya seraya menghapus air mata. Kecupan singkat Indra berikan di bibir Tasya, lalu lelaki itu merapikan anak rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Aku enggak akan memaksa kalau kamu nurut. Malah, seorang p*****r itu tidak akan menolak pelanggannya. Aku tidak mengatakan bahwa aku itu pelangganmu, tapi aku mau bilang kalau aku suami kamu." Indra kembali mendekatkan bibirnya ingin mencium bibir Tasya, namun perempuan itu menghindar hingga membuat Indra hanya mencium pipi Tasya saja. Tak berselang lama, Tasya merasakan ranjang mereka bergerak semakin cepat. Membuat Tasya semakin mengeratkan remasannya pada seprai. Dia mendengar nafas Indra semakin memburu. Pukulan keras dirasakan Tasya berulang kali di bagian bawahnya. Namun Tasya tetap tidak mengerti apa yang sedang Indra rasakan sekarang. Hingga akhirnya, entah untuk yang ke berapa kalinya Tasya merasakan perut di bagian bawahnya menghangat diiringi suara lenguhan panjang Indra. Dan selang beberapa detik, tubuh Indra ambruk di atasnya. Tasya hanya diam, menunggu sampai Indra menyingkir dari atasnya. Tapi wanita itu merasa kakinya sudah sangat pegal bermenit-menit terbuka lebar-lebar. "Ndra, lo sudah selesai?" tanya Tasya pelan. "Kenapa? Kamu mau sekali lagi? Tunggu bentar, masih lemes." gumam Indra tanpa menggeser tubuhnya. "Ih... Enggak mau, sudah sekali saja cukup." Indra bangun, namun masih berada di atas istrinya. Lelaki itu kini menatap wajah Tasya yang memerah seolah menahan malu padanya. "Kamu tidak merasakan apa pun selama ini?" heran Indra. Tasya hanya menggeleng beberapa kali, membuat Indra mendesah frustrasi. "Hah... Nanti besok-besok aku bakal bekerja dan berusaha lebih keras supaya kamu juga merasakan surga dunia ini. Enggak adil rasanya kalau cuma aku yang keenakan." kekeh Indra. Kening Tasya mengerut, dia tidak paham apa yang dimaksud Indra. "Surga dunia? Apaan? Kayak barusan lo bilang surga dunia?" heran Tasya. "Iyalah, kamu hanya belum pernah merasakannya. Kalau sudah, aku jamin kamu enggak berani nolak aku." kecupan singkat Indra hadiahkan kepada bibir Tasya lagi. "Ah... Atau kamu mau mencobanya sekarang? Kita ulangi lagi yang barusan, tapi aku akan berusaha membuat kamu merasakannya." tanya Indra seraya menaik turunkan sebelah alisnya. "Enggak. Apaan dua kali, sudah sekali saja cukup." tolak Tasya mentah-mentah. "Lo minggir dong, gue mau pakai baju." Tasya mendorong bahu Indra cukup kencang, dan akhirnya Indra menurut saja. Perempuan itu segera memakai baju tidurnya dan membawa celanya ke toilet kamar. Indra juga melakukan hal yang sama, namun bedanya dia tidak pergi ke toilet melainkan langsung memakainya begitu saja dan berbaring di atas ranjang. Dua menit kemudian, Tasya kembali dan sudah memakai bajunya lengkap. Perempuan itu berbaring di tempatnya semula lalu menarik selimut dan bersiap tidur. Baru saja Tasya memejamkan mata, dia merasakan Indra memeluknya dari belakang. "Ndra, gu..." “Jangan nolak, nanti aku paksa lagi kalau kamu nolak dipeluk." potong Indra sebelum Tasya menghentikan kata-katanya. Akhirnya Tasya menyerah, dari pada dia harus mengulangi apa yang barusan terjadi. Lebih baik, Tasya membiarkan Indra memeluknya selama tidur. "Kita lihat nanti Sya, kamu bakal jatuh cinta ke aku atau enggak." gumam Indra sambil melihat tengkuk Tasya. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD